MANUSIA mestinya memahami prinsip dan cara kerja kemanusiaan terlepas dari jabatan, golongan tertentu, atau derajat. Manusia sebagai makhluk yang mendominasi di muka bumi disebut-sebut sebagai makhluk sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, manusia merupakan Zoon Politicon yaitu makhluk yang selalu ingin berinteraksi dalam masyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial tentu berhubungan dengan manusia lain dan untuk untuk itu perlu memahami prinsip-prinsip kemanusiaan agar terjalin kehidupan yang harmonis. Pada era saat ini justru banyak manusia melupakan prinsip kemanusiaan dalam kehidupan.
Tidak heran apabila banyak yang menyuarakan hak-hak kemanusiaan bagi para korban penyelewengan hak seperti korban penggusuran. Penggusuran bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat. Bahkan dalam kegiatan demonstrasi hal ini disuarakan, inilah yang disebut dengan aksi kemanusiaan. Aksi kemanusiaan ini bertujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan, dan menjamin rasa hormat terhadap umat manusia.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa nilai kemanusiaan adalah sesuatu yang menyangkut kelakuan dan perbuatan manusia sesuai dengan norma dan menghormati martabat manusia. Nilai kemanusiaan rasanya mulai terkikis seiring perkembangan dan pembangunan. Pemaknaan kemanusiaan menjadi hal yang kurang diperhatikan dalam berbagai hal seperti penggusuran.
Hal ini dapat terjadi karena manusia lebih memilih mengabaikan hakikat kemanusiaan. Penggusuran tidak salah demi perkembangan dan pembangunan tapi dengan melupakan nilai kemanusiaan, itulah yang menjadikannya salah.
Cerpen berjudul “Dongeng Sebelum Tidur” karya Seno Gumira Ajidarma mengisahkan sesuatu yang mewakili para korban penggusuran yang tidak mendapatkan perlakuan layak. Cerpen ini terbit pada 1995 di harian Kompas dan kemudian turut disertakan dalam buku antologi cerpen berjudul “Iblis Tidak Pernah Mati”. Cerita ini melukiskan tokoh Sari, seorang anak berusia 10 tahun sebagai perwakilan manusia yang hatinya masih memiliki rasa kemanusiaan.
Sari memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Ibunya. Setiap malam, Ibunya akan menceritakan sebuah dongeng sebelum tidur. Sejak Sari berusia lima tahun, sang ibu mengisahkan cerita yang berbeda-beda. Meskipun ibunya sangat sibuk karena bekerja, tetap tidak lupa untuk menyiapkan cerita untuk Sari.
Hal ini menggambarkan sebuah hubungan yang baik antara orang tua dan anak atau malah hubungan antara sesama manusia yang mengasihi. Sebab selalu menghadirkan cerita berbeda selama lima tahun kepada Sari, suatu ketika sang ibu telah kehabisan cerita. Dari sinilah dasar penulis mewujudkan nilai kemanusiaan melalui tokoh Sari.
Sembari masih menggendong, ibunya menyambar koran di meja. Entah koran kapan. Selintas saja disambarnya judul-judul berita. Ketika ia meletakkan sari di tempat tidur, sambal mencopot sepatu tinggi, dan membuka blazer-nya, sebuah berita menempel di kepalanya. Ia masih mempertimbangkan, apakah berita itu akan disulapnya menjadi sebuah cerita.
“Cerita tentang apa sekarang Mama?”
Ibunya menghela nafas. Di manakah batas antara dongeng dan kenyataan?
“Dengarlah Sari, cerita ini dimulai dengan pengakuan seorang Ibu.”
Lantas ibunya membaca berita itu.
Saya sudah tinggal di sini sejak usia delapan tahun sampai memiliki tiga anak dan seorang cucu. Tiba-tiba saja, pada usia yang ke-39 sekarang ini – jadi setelah 31 tahun hidup di sini, setelah saya makin merasa bahwa inilah kampung halaman saya, kampung halaman anak-anak dan cucu saya- saya dipaksa pindah dan hanya diberi uang Rp 400.000. siapa yang tidak marah diperlakukan seperti itu? adilkah ganti rugi dengan nilai sekecil itu?
Saya bersama suami saya memang tinggal di atas tanah negara. Tapi saya punya KTP, taat membayar PBB dan tak pernah melawan pemerintah. Kini, setelah rumah saya terbakar dan dibongkar, setelah barang-barang kami rusak semua, kami tidak memiliki apa-apa lagi.
Seharusnya mereka tidak membiarkan kami seperti ini. kami juga tidak tahu harus ke mana setelah ini.
Apa yang bisa saya lakukan hanyalah mengungsikan Sebagian anak-anak saya. Saya kini menunggu kepastian. Uang Rp 400.000 untuk kontrak sebuah keluarga yang layak, sangat tidak cukup. Uang sebesar itu hanya bisa dipakai untuk kontrak rumah ala-kadarnya selama tiga bulan. Ini pun kalau belum naik, dan jika uang itu hanya dipakai untuk kontrak rumah saja. Bagaimana jika kami menyewa truk untuk mengangkut sisa barang kami? Saya juga meragukan bisa tinggal di rumah susun. Untuk membayangkan saja belum pernah, apalagi mempercayai janji bahwa kami bisa hidup lebih baik di rumah susun itu nanti…*)
Lantas ibunya mencoba bercerita berdasarkan foto-foto yang ada di koran itu, begitu asyik, sampai tak tahu betapa Sari terperangah.
Cerita yang tidak menyenangkan bagi seorang anak-anak. Melalui cerita “nyata” yang disulap menjadi sebuah “dongeng” pengantar tidur, membuat Sari justru tidak bisa tidur. Bagaimana bisa seorang anak mendengarkan kisah tragis yang belum didengarnya selama lima tahun terakhir? Cerita yang dilayangkan sang ibu membuat Sari mengetahui sebuah kepahitan seseorang dalam hidup yang bernama “kemanusiaan”.
Persoalan kemanusiaan dalam kisah ini bukan melihat yang benar dan yang salah, melainkan sikap dan tabiat manusia yang seharusnya dalam bertindak. Pengakuan seorang ibu dalam “dongeng” menggambarkan bagaimana nilai kemanusiaan itu dilupakan. Tanah di atas bumi ini sudah memiliki klaim dan menjadi hak masing-masing orang atau negara. Sudah tidak ada lagi tanah yang dapat ditinggali seseorang secara bebas dan damai. Penggusuran tentu tidak salah apabila memang seseorang menempati yang bukan miliknya. Namun demikian, penggusuran tanpa rasa kemanusiaan adalah kesalahan besar.
Dongeng-dongeng sebelum tidur yang diceritakan ibunya biasanya sangat romantis, indah, dan membayangkan suatu alam yang tenang. Tapi kini debu mengepul dalam bayangan Sari, bulldozer menggasak tembok-tembok rumah penduduk, dalam waktu singkat satu kampung menjadi rata dengan tanah. Ibu-ibu diseret, anak-anak menangis, dan bapak-bapak berkelahi melawan para petugas. Sari memejamkan mata,, namun ibunya terus bercerita tentang kebakaran yang berkobar-kobar, jeritan orang-orang yang kehilangan rumah, dan terik matahari yang seakan menjadi lebih menyengat dari biasanya.
Ketika mengakhiri ceritanya, dengan gambaran matahari senja yang bulat, merah, dan besar turun perlahan-lahan di balik siluet jalan-layang yang berseliweran, ibunya merasa Bagai habis berlari lama sekali dan kini terengah-engah.
“Jadi, mereka tidur sambal memandang rembulan, Mama?”
Tokoh ibu membawa pembaca membayangkan berada di posisi Sari (anak 10 tahun) dengan kisah yang keras. Tentu kisah itu tidak akan begitu menyakitkan bagi orang dewasa, namun bagi seorang anak kecil yang lugu, tidak bisa dibayangkan seperti apa reaksi dalam batinnya. Kisah penggusuran dari ibu untuk Sari menyiratkan nilai kemanusiaan yang besar. Kembali melihat hakikat dari nilai kemanusiaan itu sendiri yaitu sesuatu yang menyangkut kelakuan dan perbuatan manusia sesuai dengan norma dan menghormati martabat manusia.
Mendengar kisah penggusuran yang begitu keras membuat anak berusia 10 tahun itu memiliki perasaan yang lembut. Sari tidak melupakan cerita itu, justru merenungkan sesuatu dengan melihat rembulan
“Jadi, mereka tidur sambal memandang rembulan, Mama?”
Ibunya hanya tersenyum, memandang keluar jendela. Ada rembulan di luar sana.
“Kututup gordennya Sari?”
“Biarkan begitu Mama, aku ingin memandang rembulan itu, seperti mereka”
Kutipan ini terletak pada bagian awal ini akan membuat bingung pembaca. Akan tetapi, tidak menjadi masalah. Penggambaran perasaan Sari dapat dirasakan oleh pembaca dengan baik dalam cerita ini. Sari mengungkapkan sesuatu yang menyentuh pembaca Biarkan begitu Mama, aku ingin memandang rembulan itu, seperti mereka. Mereka yang maksud sari adalah para korban penggusuran yang tidak diberikan hak kemanusiannya. Sari yang merupakan seorang anak kecil secara tidak langsung digambarkan memiliki empati yang besar, perasaan sedih, dan memiliki rasa kemanusiaan dalam dirinya. Mendengarkan kisah yang demikian membuat Sari mengetahui penderitaan orang-orang itu.
Cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” bukan sebuah cerpen yang sesederhana judulnya. Penyajian nilai kemanusiaan dalam cerita ini membuat pembaca terenyuh dan memahami arti kemanusiaan melalui tokoh anak kecil bernama Sari. Rasa kemanusiaan dimunculkan dari seorang anak kecil melalui “dongeng” pengantar tidurnya.
Menyikapi hal ini, sebenarnya memiliki nilai baik dan kurangnya. Seorang anak kecil digambarkan mendapatkan kisah yang kasar dari seorang ibu yang mengubah kisah nyata menjadi dongeng adalah ketidakbenaran dalam sastra anak. Akan tetapi, ini hanyalah cerita yang memungkinkan semua hal terjadi. Selain itu, dengan menghadirkan cerita penggusuran melalui Sari menjadi contoh pentingnya seorang anak mendapatkan pengetahuan mengenai rasa kemanusiaan.
Penulis menggambarkan cerita dalam cerita dengan baik sehingga pembaca dapat mengimajinasikan suasana batin, latar kejadian, peristiwa yang terjadi, dan lainnya. Menggunakan pola alur maju mundur yang sederhana menjadikan cerita ini unik dan berbeda.
Ketika membaca pada bagian awal, pembaca tidak akan mengerti maksud dari percakapan awal Sari dan ibunya. Akan tetapi, setelah selesai membaca cerita secara keseluruhan pembaca akan tertarik membuka bagian pertama dan kembali membaca untuk merasakan lebih dalam suasana batin Sari.
Cerita ini dapat dibaca sebagai bahan koreksi diri mengenai kepedulian terhadap sesama. Pembaca akan menemukan perasaan yang berbeda ketika membaca cerita ini. “Dongeng Sebelum Tidur” bukan mengenai dongeng indah dari ibu untuk sang anak. Justru menyinggung pembaca mengenai rasa kemanusiaan yang bahkan dimiliki oleh seorang anak kecil. [T]
- Ilustrasi artikel ini diambil dari ilustrasi cerpen Dongeng sebelum tidur, Kompas, 22 Januari 1995, karya SN Rahardjo
- BACA artikel lain dari penulisKARISMA NUR FITRIA