BAGIAN tengah panggung Ksirarnawa berbentuk teratai kelopak delapan berwarna putih. Seorang lelaki memainkan lakonnya di pusat kelopak, ia menari, ujung telunjuk tangannya seperti sedang menggurat aksara-aksara di udara.
“Padma berkelopak delapan, sari mengikat kelopak-kelopak yang menjadikannya bunga, padmaksara, “suara narator.
Yang agak mengagetkan penonton adalah dari guratan aksara-akasara di udara itu menjelma sosok laki perempuan dalam berbagai sikap. Ada dalam posisi tidur, bersiap lari, jongkok, terbang, bahkan ada yang ada samar antara ada dan tiada.
Pada sari bunga muncul sesosok kecil, seperti kanak-kanak yang dewasa. Dinding sari bunga yang melingkar itu terhubung dengan kelopak-kelopak bunga warna warni berbagai bentuk dan posisi yang ditempati sosok yang berbeda-beda. Sesosok sedang yang berbusana putih transfaran, berkeliling menyundul-nyundul sosok lain yang menempati bidang kelopak masing-masing. Anehnya masing-masing sosok seperti tak merasakan kehadiranmu sosok sedang berkaca mata itu.
“Ke mana aku, di mana aku, sama saja, berputar, tak berumah, tak berasa rumah, tak memiliki, tak dimiliki,” gumamnya.
Tertangkap seperti keluhan, sekaligus kebanggaan.
“Rumah istriku, tujuan anakku, akulah perjalanan-perjalanan, Astapaka,” lelaki sedang berkaca mata itu bergerak lagi, menyundul-nyundul lagi. Di tanah, dia hadir menjadi pemikir, kadang jelas dan tegas, tapi kadang buta tanpa kaca mata. Di air tubuhnya mengalir kadang muncul, kadang tenggelam. Di api ia menjadi bara, menghangatkan membakar, lenyap menjadi temperatur, di udara ia meniada.
“Kenapa aku, dimana aku, kemana aku…, ” teriaknya di gelap malam.
Sosok kecil bergerak lincah, di antara rak buku-buku perpustakaan. Buku kuno menyimpan peradaban halamannya terbuka. Diantara aksara-aksara yang berdebu, tangannya mengipas-ngipas, kerajaan kuno, alam bawah, alam tengah, alam atas, ditembusnya dengan tatapan mata.
“Apa ini, jelas saya hanya pemain yang diatur sutradara, saya hanya sutradara, yang merangkap pemain teater remaja SMA yang berlakon konyol. Inem, Otong… ” Lelaki kecil tersentak.
Ingatannya kembali ke masa 25 tahun silam. Ia terkekeh, mengingat kelucuan-kelucuan yang lugu, bersama Inem si pelayan seksi.
Selama ini ia telah menyutradarai hidupnya dengan rapi dan penuh perhitungan. Kepulangannya dari luar negeri, juga divisi yang akan dia pimpin juga telah diatur dengan sempurna. Tiba-tiba ada kabar, pimpinnya berpulang, ia merasa gamang. Menjadi semakin gamang saat seminggu jelang kepulangannya menerima surat dari Pimpinannya yang telah berpulang.
Tetapi kelucuan dan kelucuannya menemukan cara untuk bergembira, menikmati hidup.
“Hidup adalah teka-teki, menanggapinya sebagai kelucuan akan melahirkan kebahagiaan,” simpulnya.
Keluguan dan kelucuan-kelucuan membuatnya dengan mudah menghadapi peristiwa. Puncaknya adalah saat pesawat yang ditumpanginya terjatuh dan menewaskan orang-orang yang berada di bagain ruangannya. Dengan jelas ia melihat bagaimana wanita berumur dihadapannya berubah menjadi muda, menjadi tua dan pecah menjadi-cahaya.
Dan dua lelaki berpakaian adat Bali menjemputnya membawa ke luar kabin pesawat dengan hanya menyisakan luka gores di kening dan bibirnya.
“Saya akan berusaha menjaga pikiran dan perkataan,” katanya dengan mimik serius, tapi nampak lucu.
Hahaha posturnya yang kecil, bibirnya yang selalu tersenyum, kata-katanya yang cerdas dan bernas memantulkan cahaya keriangan, mempesona yang mendengarnya.
Kekecilannya menyembunyikan kecerdasan, keluguan dan kelucuannya , mengusir kecurigaan. Membuatnya mampu mencairkan kebuntuan, kebekuan pikir. Dengan cekatan membuka pintu-pintu waktu, kesempatan, kesepakatan demi kesepakatan, demi keadilan kesejahteraan.
Seperti kisah raja Bali berabad-abad silam yang meremehkan brahmana kecil, Wamana, yang hanya meminta tiga langkah kekuasaan. Hingga akhirnya menguasai alam bawah, tengah dan atas.
Gratasamadha,dan para Gratasamadha, para antara yang mengisi ruang-ruang waktu demi perdamaian dan keharmonisan.
Seorang lelaki tinggi besar bermata sipit memuja, terus memuja, mengapai-gapai langit, mengabdi pada bumi, mengais-ngais esensi, Kuning.
“Saya hanya perantara umat untuk menggapai keagungan Tuhan, ” tekadnya.
Seorang lelaki berisi dengan sorot mata menyala menembus ruang-ruang rahasia, yang gelap, menjanjikan keadilan bagi manusia.
“Hukum harus ditegakkan untuk kenyamanan hidup bersama.” Pedang merahnya menyala-nyala, menebas-nebas.
Sosok lelaki sedang bertualang dari kafe ke kafe, dari diskusi ke diskusi, dari masalah ke masalah. Penglihatannya terang, pandangannya lapang. Para lelaki dan wanita berkumpul, mengidolakannya, menganggapnya guru, untuk ditiru.
Di remang malam, ia ada, menjadi mimpi juga ilusi, bagi para pencari yang merasa tak pasti.
Gratasamadha, dan Para Antara, ada dan tiada, di bumi tak merasa menginjakkan kaki. Datang dan pergi, menemui dan menghindari sampai ia bisa menyadari diri yang sejati. [T]
Penulis: Mas Ruscitadewi
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: