SETIAP karya patung yang hadir di ruang publik harus mendasarkan pada raison d’etre atau alasan kehadirannya.
Patung Trenggiling Sunda berjudul “Mother & Child” yang dipajang di Mandai Wildlife Singapura memiliki alasan khusus yakni terhubung dengan kesadaran ekologis. Sebagai pengingat ihwal pentingnya perlindungan satwa langka.
Dengan demikian, karya seni ini sesungguhnya diniatkan untuk mengabadikan sebuah pesan : Trenggiling Sunda penting dijaga keberlangsungan eksistensinya di tengah ancaman kepunahan.
Nama trenggiling berasal dari Bahasa Melayu yang berarti ‘sesuatu yang menggulung’. Yakni menggambarkan kemampuan trenggiling dalam menggulung tubuh seperti bola ketika datang ancaman predator.
Tenggiling Sunda, juga dikenal dengan nama Latin Manis javanica, penyebarannya meliputi wilayah Asia Tenggara : Indonesia, Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Struktur rangkanya kokoh dan ditunjang empat kaki pendek, yang masing-masing jarinya memiliki cakar panjang, lurus, kuat dan tajam.

Data petunjuk Patung Trenggiling Sunda berjudul “Mother & Child” yang dipajang di Mandai Wildlife Singapura | Foto: Dok. Putrayasa
Cakar pada kaki depan berperan penting dalam menggali sarang semut atau mengoyak gundukan rumah rayap, juga untuk memanjat pohon. Matanya kecil dan dilindungi kelopak mata tebal, yang dapat menjaga mata dari gigitan jenis serangga makanannya. Trenggiling Sunda dipenuhi sisik besar, keras, kokoh dan kuat.
Berbahan keratin berbentuk seperti lempengan, dengan berat 20 persen dari keseluruhan bobot tubuh. Tersusun menyerupai perisai berlapis sebagai alat pelindung.
Saat terganggu, satwa ini akan mengibaskan ekor hingga sisiknya melukai predator. Itulah sebabnya, pada masa lampau sisik trenggiling dijadikan sebagai bahan baju zirah atau baju perang bagi para prajurit. Diketahui baju pelindung perang jenis ini berada dalam koleksi bangsa Eropa.
Salah satunya diperoleh dari seorang pengelana Perancis akhir abad ke-17 akhir, yang bahannya disinyalir dari Kalimantan. Koleksi itu sekarang dilestarikan di Musee du Quai Branly di Paris (journals.oppenedition.org)
Mamalia purba yang telah bertahan selama 45 juta tahun ini, hidup di hutan hujan tropis dataran rendah dan semak-semak lebat. Dalam ekosistem hutan, Trenggiling Sunda memiliki peran ekologis yang cukup penting.
Perilakunya dalam berburu mangsa terhubung dengan kesuburan hutan. Menggali sarang semut dan rayap membuat tanah menjadi gembur dan melancarkan siklus biogeokimia hutan. Karena aktif di malam hari, maka tergolong jenis satwa nocturnal. Memakan semut dan rayap, menjadikannya turut berperan dalam menjaga proses regenerasi pohon.
Faktanya, seekor trenggiling dewasa dapat memakan sebanyak 70 juta serangga dalam setahun. Berkat nafsu makannya yang rakus, seekor trenggiling dapat melindungi area hutan seluas 41 hektar, atau 31 kali luas lapangan sepak bola, dari ancaman kerakusan rayap.
Hutan yang subur memproduksi limpahan oksigen, bukan? Hidup secara soliter (penyendiri), dan berpasangan hanya bila kawin. Sang betina biasanya melahirkan satu atau dua anak saja setiap tahunnya.
Saat ini keberadaannya dalam ancaman kepunahan karena habitat yang terganggu. Deforestasi yang terjadi di beberapa kawasan Asia Tenggara menjadi penyebabnya.
Jumlah Trenggiling Sunda di alam liar menurun drastis. Perdagangan satwa ilegal juga membayangi kepunahannya. Minat pasar internasional yang tinggi menyebabkan perburuan liar terjadi.
Bahkan satwa ini paling banyak diperdagangkan secara gelap di dunia. Sisik dan dagingnya diyakini memiliki khasiat penyembuh dalam pengobatan tradisional Tiongkok dan Vietnam.
Karena kelangkaannya, Trenggiling Sunda termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi. Sejak tahun 2016 semua species trenggiling di seluruh dunia dilindungi dan dikategorikan oleh Daftar Merah Species Terancam IUCN (International Union for Conservation of Nature), sebagai species yang rentan, terancam punah.
Menengok Khazanah Lampau
Pada prinsipnya melindungi hewan yang hampir punah tak lain untuk menjaga kestabilan dan keseimbangan ekosistem. Upaya konservasi terus dilakukan oleh beberapa negara dan kelompok masyarakat sipil.
Interaksi manusia dengan trenggiling yang menjadi topik utama dalam mempromosikan kesadaran ekologis, bisa dibuka kembali lewat khazanah kebudayaan yang menjadi ingatan kolektif berbagai suku atau masyarakat tradisi yang tersebar di belahan dunia.
Pada beberapa komunitas lokal, trenggiling dianggap sebagai mitos dan memiliki tempat unik dalam berbagai kebudayaan.
Sejumlah suku di Afrika Selatan meyakini bahwa trenggiling datang dari langit pada saat badai petir dan membawa keberuntungan bagi orang-orang yang menjumpainya.
Di Zimunya, Zimbabwe Timur, trenggiling dianggap sebagai satwa sakral dan simbol keberuntungan. Meyakini bahwa menyakiti akan mendatangkan kesialan, bilamana melindunginya akan mendapatkan berkah.
Bagi Suku Sapedi, membunuh trenggiling merupakan pantang karena menghambat musim penghujan penyebab kekeringan. Suku VaJindwi menerapkan kewajiban tradisional, bagi siapa yang menemukan trenggiling diharuskan menyerahkan kepada kepala suku untuk kemudian dilepaskan kembali ke alam liar.
Mitos-mitos semacam itu berlangsung sedemikian hingga menempatkan trenggiling sebagai satwa dalam kedudukan sakral, yang membuat masyarakat lokal pantang memburunya.
Siapa berani menggangu trenggiling, maka amarahnya mampu menyeret manusia ke lorong bawah tanah, begitulah Suku Mbuti di Afrika Tengah secara turun-temurun mempercayainya.
Di tempat lain di Afrika, mitologi trenggiling mencakup kepercayaan tentang mahluk dengan daya mistis. Kelangkaannya telah menyebabkan banyak dongeng yang menceritakan trenggiling sebagai penjaga hutan mulai diingat dan diangkat kembali.
Di luar Afrika, beberapa budaya Asia menempatkan mamalia bersisik ini pada makna spiritual. Dipandang sebagai simbol kemakmuran keberuntungan, dan kekuatan.
Legenda Tiongkok, misalnya, terhubung dengan simbol misteri kekuatan: trenggiling keliling dunia lewat bawah tanah. Di Sri Lanka (juga di Malaysia), masyarakat lokal menganggap trenggiling memiliki kekuatan supranatural.
Mereka percaya, trenggiling mampu membunuh seekor gajah dengan menggigit kedua kakinya, lalu melingkar pada belalai untuk mencekiknya.
Dalam cerita rakyat Melayu di Malaysia, trenggiling dipercaya sebagai reinkarnasi plasenta seorang ibu. Rahim ibu adalah sumber keberuntungan dan kemakmuran manusia semenjak janin, bukan?
Penggambaran trenggiling dalam tradisi Afrika dan Asia mencerminkan status mamalia bersisik ini lebih dari sekedar hewan, tapi mengangkat derajatnya hingga ke ranah penghormatan dan mistik.
Kearifan lokal semacam itu turut membantu dalam mempromosikan sikap dan kebijakan yang diorientasikan pada pelestarian. Mitologi pada kepercayaan berbagai komunitas lokal menyarankan peran etis manusia dalam melindungi eksistensinya.
Ingatan Yang Diawetkan
Sebagai bagian dari perluasan kebijakan di bidang ekologi, Singapura membangun proyek seni berupa patung ikonik Trenggiling Sunda.
Menjadikannya sebagai sarana dalam memperkenalkan satwa langka kepada masyarakat global demi meningkatkan kesadaran kolektif bagi kelestariannya. Karya seni patung”Mother & Child” dengan diameter 5 meter dan tinggi 3 meter ini dibuat oleh I Ketut Putrayasa, seniman asal Bali.

Patung Trenggiling Sunda berjudul “Mother & Child” yang dipajang di Mandai Wildlife Singapura | Foto: Dok. Putrayasa
Sebuah commission art di tengah keindahan lanskap Mandai Wildlife Singapura dan Lawrence Wong, Perdana Menteri yang baru, akan meresmikannya. Mandai Wildlife Singapura adalah cagar alam yang yang menjadi landmark ikonik. Sebuah kawasan dengan komitmen perlindungan bagi keanekaragaman hayati dan konservasi satwa liar global, utamanya pelestarian bagi species satwa yang terancam punah.
Pemerintah Singapura berambisi menjadikan kawasan ini sebagai andalan destinasi wisata terbesar se-Asia. Terbuat dari kuningan dengan kerangka stainless, patung ini dikerjakan sedemikian hingga menghadirkan paduan antara kelenturan dan kekokohan. Sisik-sisik kokoh bertumpang-tindih mengikuti posisi tubuh yang melingkar melahirkan “rasa gerak” elastis atau lentur.
Hal yang lain, warna kuningan menghadirkan suasana hangat. Kekokohan, kelenturan dan kehangatan merupakan kualitas nilai yang terhubung dengan sikap perlindungan, pemeliharaan dan kepedulian.
Induk Trenggiling Sunda tampak meringkuk sementara seekor anak menyembul keluar dari badannya adalah metafora tentang naluri keibuan yang secara alamiah terhubung dengan kualitas nilai di atas.
Lebih luas lagi, tentu saja naluri itu juga berlaku bagi setiap orang yang memiliki respek pada upaya pelestarian mamalia bersisik yang terancam punah itu.
Modernitas meminggirkan sesuatu yang dulu pernah ada di bumi, tapi seiring waktu modernitas pula yang merindukan kembali apa yang hilang.
Mandai Wildlife Singapura adalah sebuah proyek ambisius dengan visi ekologis: keseriusan sebuah negara modern dalam merawat kembali keanekaragaman hayati, termasuk tetumbuhan berserta satwa dalamnya.
Patung Trenggiling Sunda “Mother & Child’ berdiri kokoh sebagai ikon untuk mengabadikan visi tersebut. Dan, Singapura memahami soal itu.
Pada saat yang bersamaan, ada sebuah negeri berkudung hutan-hutan sedang bernafsu membabat lebatnya, dengan dalih modernitas. Negeri yang salah menyangka itu bernama Indonesia.[T]
Penulis: Tatang B. Sp
Editor: Adnyana Ole