KEMESRAAN Pyongyang dan Moskow yang dituangkan dalam penandatanganan Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif pada 19 Juni 2024 menambah daftar panjang sejarah perseturuan antara blok timur dengan blok barat. Beberapa hari setelah perjanjian itu, blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat bersama Korea Selatan dan Jepang mengadakan latihan militer bersama bernama Freedom Edge di perairan internasional dekat Pulau Jeju Korea Selatan.
Dalam pertemuan trilateral tersebut, Washington menurunkan kapal induk nuklir USS Theodore Roosevelt, Tokyo mengeluarkan kapal perusak berpeluru kendali JS Atago, dan Seoul mengerahkan jet tempur KF-16. Blok barat menyalakan alarm kewaspadaan akan potensi ancaman dari aliansi Korea Utara dan Rusia yang dianggap sebagai tantangan serius terhadap stabilitas regional.
Freedom Edge menjadi babak lanjutan dari Freedom Shield atau latihan musim semi tahunan yang dilakukan bersama antara militer Amerika Serikat dan Korea Selatan. Latihan yang dilaksanakan selama 11 hari tersebut merupakan latihan terbesar sejak Pyongyang membatalkan pakta militer yang pernah mereka sepakati pada 2018 untuk meredam ketegangan. Pihak Korea Utara menyebut latihan itu sebagai invasi dan rencana perang nuklir sementara pihak Korsel mengatakan bahwa latihan itu adalah bagian dari upaya defensif sebagai respons atas ancaman Korea Utara. Dinamika yang fluktuatif di Semenanjung Korea menunjukkan betapa wilayah tersebut sangat rentan dan bisa pecah sewaktu-waktu.
Ketegangan yang meningkat ini memicu kekhawatiran akan kemungkinan eskalasi menuju konflik berskala besar, termasuk risiko perang nuklir. Jika aliansi Pyongyang dan Moskow semakin kuat dan memperlihatkan demonstrasi kekuatan militer, termasuk kemampuan nuklir, maka potensi terjadinya konfrontasi nuklir akan menjadi lebih nyata.
Dalam menghadapi situasi yang semakin memanas ini, Indonesia hadir dengan pendekatan kampanye perlucutan senjata dan nonproliferasi nuklir di tengah krisis kepercayaan dunia. Sebagai negara yang memiliki tekad kuat terhadap prinsip-prinsip keamanan global dan perdamaian, Indonesia terus memainkan peran aktif dalam mendorong kebijakan nonproliferasi dan perlucutan senjata nuklir.
Hal ini sejalan dengan amanah Pembukaan UUD RI 1945 yang menekankan urgensi keterlibatan Indonesia dalam menjaga dan mempromosikan perdamaian serta ketertiban dunia sebagai bagian dari tujuan nasional.
Kiprah Indonesia dalam Mewujudkan Perlucutan Senjata dan Nonproliferasi Nuklir
Indonesia, sebagai anggota Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan pendukung Traktat Zona Bebas Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ), memilih menghindari proliferasi senjata nuklir. Dalam konteks ketegangan yang berkembang, peran diplomatik Indonesia sebagai negara nonblok semakin mendapat perhatian dunia.
Pengamat hukum internasional Dhey Wego Tadeus menyebut Indonesia bisa menjadi penengah dalam konflik saling unjuk gigi senjata nuklir antar kedua blok. Indonesia memiliki hubungan bilateral yang cukup baik dengan Korea Utara maupun dengan Rusia, di sisi lain Indonesia juga menjalin kerja sama yang kuat dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan.
Indonesia secara konsisten menyerukan perlunya dialog dan kerja sama internasional untuk mengatasi ancaman proliferasi nuklir dan mencegah potensi konflik nuklir di kemudian hari. Selama ini keberadaan lima negara yang dianggap boleh memiliki senjata nuklir—Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, dan Inggris—memicu negara lain untuk turut menggunakan senjata nuklir.
Fisikawan Amerika Serikat Theodore B. Taylor, dalam tulisannya berjudul Proliferation of Nuclear Weapon, menjelaskan bahwa proliferasi senjata nuklir menyebar sangat cepat seperti epidemi. Negara-negara lain seperti India, Pakistan, Iran, Israel, dan Korea Utara ikut berlomba-lomba mengembangkan senjata nuklir karena mereka merasa perlu melakukannya sebagai bentuk antisipasi perang. Kondisi semacam ini akan merusak tingkat kepercayaan dalam hubungan internasional dan mempertebal tembok prasangka antarnegara. Walhasil, dialog dan kerja sama global akan mandek karena masing-masing negara menomorsatukan ego pribadinya di atas kepentingan bersama.
Dalam berbagai ajang forum internasional, Indonesia selalu aktif menyuarakan pentingnya kepatuhan terhadap perjanjian nonproliferasi dan perlucutan senjata. Melalui partisipasinya dalam Presidensi Konferensi Perlucutan Senjata (CD) selama satu bulan dari 26 Februari sampai 1 Maret 2024 di Markas PBB di Swiss, Indonesia berupaya memfasilitasi pembicaraan yang konstruktif antara negara-negara pemegang senjata nuklir dan negara-negara nonpemegang senjata nuklir.
Indonesia mendesak perlunya revitalisasi kemauan politik, pembangunan kepercayaan, pengurangan ketidakpercayaan antarnegara, dengan cara menjembatani perbedaan dan polarisasi antar pihak-pihak yang bertikai. Indonesia meminta negara pemegang senjata nuklir untuk selalu memastikan bahwa teknologi nuklir yang mereka kembangkan digunakan hanya untuk tujuan damai, begitu pula dengan negara yang baru mau memulai bereksperimen atau memperkuat sistem pertahanan senjata nuklirnya. Upaya ini menunjukkan bagaimana Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia menjadi contoh dalam pengelolaan dan perlindungan bahan nuklir.
Lebih lanjut, Indonesia mengutamakan dialog terbuka ketimbang adu senjata. Six Party Talk—dialog terbuka antara Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Korea Utara, Rusia, China—adalah kunci utama dalam membawa pihak-pihak yang terlibat untuk mau mengawali niat baik dengan membuka pintu kepercayaan meski mereka kerap kali berbeda pandangan. Tidak mudah memang menyatukan isi kepala yang bervariasi, satu pihak merasa terancam sementara pihak lain tidak mau buntung. Tembok-tembok kecurigaan antarnegara sudah terlanjur menebal, diperlukan sebuah komitmen tulus untuk menghancurkan tembok-tembok yang dibangun sejak Perang Dingin meletus beberapa dekade silam.
Dengan mengedepankan dialog, kerja sama internasional, dan kepatuhan terhadap perjanjian nonproliferasi, Indonesia berusaha keras untuk mengurangi ancaman nuklir. Jika perang nuklir sampai terjadi, bencana yang datang tidak hanya berakibat fatal bagi umat manusia namun juga tempat tinggal beserta seluruh penghuni di dalamnya.
Apa yang dilakukan Indonesia ini cukup krusial, tujuan jangka panjangnya adalah mencegah eskalasi ketegangan dan memastikan bahwa perubahan geopolitik tidak berujung pada konflik besar yang dapat mengancam perdamaian dunia. [T]