6 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Seorang Nelayan Mengambang Sepanjang Sungai Ijo Gading | Cerpen I Putu Agus Phebi Rosadi

I Putu Agus Phebi RosadibyI Putu Agus Phebi Rosadi
November 28, 2021
inCerpen
Seorang Nelayan Mengambang Sepanjang Sungai Ijo Gading | Cerpen I Putu Agus Phebi Rosadi

Ilustrasi adalah salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran seni rupa di Kampus Undiksha Singaraja, Januari 2020

Ini hari pertama aku pindah tugas. Sebagai wartawan harian, sebenarnya aku cukup betah di Jakarta dengan kebisingan kota yang nampak selalu krodit. Tapi seminggu lalu, seorang karib wartawan di Bali memutuskan untuk berhenti hidup menjadi wartawan karena satu dan lain hal. Maka aku diutus menggantikkannya. Dan tentu, aku tak menolak. Pulang ke kampung halaman setelah sekian lama toh bukan dosa.

Sebelum kesibukan kerja melanda, kusempatkan mengunjungi kampung halaman di Jembrana barang sebentar. Sekiranya dua puluh tahun aku tak menginjakkan kaki di tempat ini. Bertahun-tahun belakangan, kabar tentang kampungku hanya kudengar dari cerita-cerita bapak dan saudaraku. Mereka hanya mengabariku lewat telepon dan surat-surat yang diantar tukang pos.

Aku merindukan Sungai Ijo Gading. Ingin juga kupastikan bahwa aliran sungainya masih jernih dengan riang kecipak ikan. Ingin juga kulihat sampan tertambat anggun di pelabuhan kayu sepanjang bantaran. Dan pada malam hari, sampan-sampan itu akan bertolak ke sepanjang sungai dengan kelip lampu petromak. Sungai ini benar-benar tak pernah berhenti berdenyut bahagia.

Aku menghampiri jembatan kayu. Satu-satunya jembatan yang membelah sungai ini. Angin pelan dan sedikit dingin kakiku yang menjuntai. Segalanya memang nampak utuh. Barangkali memang benar yang bapak katakan bahwa mungkin di luar sana, orang tak bisa menemukan sungai yang sama dua kali. Tapi di sini, orang bisa melihat sungai yang sama berkali-kali. Di sungai ini, hampir seperti tak ada yang terjadi. Waktu tak merebut apapun, kecuali usia. Sama seperti yang kubayangkan dari kejauhan. Desir angin dan pasang air menawarkan riak ke hulu ingatan. Membawakan setangkup masa kecil.

Anak-anak bergembira bermandian di bening air di bawah teduh pohon waru. Begitu kokohnya pohon waru itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke tengah sungai membentuk semacam titian. Dahan pohon waru itu dahulu menjadi tumpuan kami untuk bermain dan melompat ke tengah sungai. Aku ingin memotretnya. Dengan kamera yang bergayut di leher, ingin kutangkap khayalan masa kecilku yang hanya sebentar. Sebagian kebahagiaan masa kecilku kemudian kuserahkan kepada Jakarta.

Bapakku dengan kehidupan pas-pasan tak pernah sanggup menyekolahkanku dari hasil tangkapan ikan sungai yang harganya selalu jatuh di pasaran. Meski demikian, tak sekalipun ia pernah mengeluh perihal keuangan keluarga. Maka dengan cita-cita besar, ia menitip anak semata wayang kepada adiknya di Jakarta.

“Agar hidup tak bernasib sama, pergilah dengan tekad yang kuat, sebab tekad yang lemah, tak akan memberikanmu sesuatu.” Pesan terakhir yang selalu kuingat. “Anak nelayan tak harus jadi nelayan. Ia tentu boleh perpendidikan tinggi, jadi dokter, polisi, atau pengusaha,” katanya. Dan aku tak memilih pilhannya. Aku menemukan pilihanku sendiri: menjadi wartawan.

Dalam ingatanku yang terus susut ke masa kecil, tiba-tiba aku tercengang. Di kejauhan, di sepanjang tanggul sungai banyak orang berlarian seperti melakukan arak-arakan. Di tengah sungai, kulihat sebuah mayat mengambang di air pasang. Dan di belakangnya, seekor buaya mengawal. Ia terus menuju hulu lalu kembali ke hilir. Begitu berulang-ulang bersama air yang perlahan menjelma merah darah. Aku yang belum sempat memotret masa kecilku segera bergegas dan menghampiri kerumunan.

“Ada apa bapak-bapak?”

Tiba-tiba wajah mereka tercengang. Barangkali penampilan dan wajahku asing baginya. Melihat kamera di leherku, salah seorang darinya langsung menduga dan bertanya.

“Wartawan ya?” Aku tak mngiyakan, hanya membalas dengan senyum.

“Pan Putra mati diantar Buaya Gading.” Warga lain kemudian menimpali.

Mendengar nama itu, aku sempat menelan ludah. Terkejut. Tapi aku berusaha tenang dan mengulik informasi lebih jauh. “Dimangsa buaya?” Tanyaku. Diam-diam, dengan kebiasaan kerja, kutekan tombol perekam suara pada gawaiku.

“Ngawur! Saya juga tidak tahu. Yang jelas bukan dimangsa buaya. Tidak mungkin. Buaya itu sahabat kami. Sudah seminggu memang Pan Putra tak pulang ke rumah. Kami sudah melakukan beberapa upaya pencarian, mulai dari menyusur sungai hingga ke semak, mengaturkan sesajen dan memohon petunjuk kepada penunggu sungai, sempat juga bertanya kepada orang pintar. Katanya Pan Putra tak kemana, ia masih di sungai. Tapi kami tak menemukannya. Tapi hari ini mayatnya tiba-tiba mengambang diantar Buaya Gading.”

Ada rasa sakit tiba-tiba menghujam dada ketika seorang warga menceritakan lebih jauh tentang siapa mayat yang mengambang itu. “Dia adalah Pan Putra. Seorang nelayan Sungai Ijo Gading sekaligus tetua kampung yang dihormati. Dia punya anak laki-laki. Tapi sejak kecil pergi dari kampung ini. Barangkali itulah yang membuat Pan Putra mengisi kekosongan seorang ayah dengan berteman dengan sungai. Baginya sungai adalah hidup dan hidup adalah sungai.  Sepanjang hari, kalau tidak ada acara adat,waktu hidupnya ia habiskan bersama sampan dan sungai. Ada saja yang ia kerjakan. Entah itu menanam pohon penahan tebing atau membersihkan sampah.

Ia juga menentang perburuan satu-satunya buaya yang hidup di Sungai Ijo Gading. Buaya yang mengantar kematiannya hari ini. Pan Putra menyebutnya sebagai Buaya Gading, buaya Duwe, milik wong gaib. Sepanjang buaya itu tak menyakiti, maka ia tak perlu diburu. Awalnya warga tak begitu percaya dengan ucapan Pan Putra, tapi melihat apa yang dilakukan Pan Putra membuat penjelasannya terdengar masuk akal. Menghadapi kemunculan Buaya Gading, lelaki yang bertubuh legam itu memang seperti pawang buaya.

Setiap Buaya Gading mengambang dan dirasakan mengancam warga, ia turun tangan. Hanya dengan sebuah tongkat bambu, buaya itu seolah menuruti perintahnya dan menjauhi warga. Kadang juga ia berlaku seperti orang sakti. Ia bersila di atas punggung buaya yang berenang ke hulu dan ke hilir. Dengan adanya keyakinan yang diberikan Pan Putra, akhirnya tak ada warga yang terusik atas keberadaan buaya itu. Buaya Gading itu perlahan dibiarkan mendatangi rumah warga. Tak ada yang terusik, bahkan sebaliknya, warga memberinya buah-buahan, sayuran, atau daging sekadarnya yang mereka punya tanpa rasa takut sedikitpun. Mereka memberikan kasih sayang dan merawat buaya itu seperti hewan peliharaan.”

“Bagi kami,” salah seorang tua di antara kerumunan itu melanjutkan cerita, “Pan Putra lebih dari sekadar seorang nelayan dan warga Sungai Ijogading. Sebagai tetua kampung, Pan Putra telah membuat hidup kami jauh lebih baik. Ia mengajak kami menanam sayur-mayur sepanjang tanggul sungai. Sayur-mayur yang bisa kami petik kala tangkapan sedikit di musim angin. Pan Putra juga menggagas kelompok perajin miniatur sampan. Sekarang, hidup warga sepanjang sungai ijogading jauh lebih baik.

Pan Putra telah mengubah kampung ini menjadi lebih bahagia. Bagi siapa saja yang sempat menyusuri kampung ini akan terpana melihat emper-emper rumah warga dengan pemandangan ibu-ibu memoles miniatur sampan kayu dan menyulam jaring di bawah rindang beranda halaman. Ibu-ibu muda menghidangkan teh dan jajan basah dan ibu-ibu tua mengunyah sirih pinang sambil sesekali menyurai handuk yang menyampir di kepala.

Wajah mereka jauh dari murung. Di bulan Agustus, sepanjang Sungai Ijo Gading, Pan Putra selalu menggagas hiburan rakyat dengan keramaian yang kadang tak terkira. Segala macam perlombaan riang gembira digelar. Ada pula menggelar dagangan, mulai dari pasar ikan sampai pasar oleh-oleh khas kampung. Dalam keadaan seperti itu, kampung kami terlihat alangkah makmur dan bahagia.

Tapi, sebagai orang yang dianggap memiliki pengaruh, Pan Putra telah memikul tanggung jawab yang penuh dengan kecemasan. Di bulan-bulan menjelang Pemilihan Bupati seperti sekarang ini, ia kerap didatangi tokoh politik dengan dalih ingin menyumbang uang atau barang. Dan tak jarang, setiap yang datang memikul rasa kecewa. Pan Putra selalu menolak. Dengan tegas, Pan Putra memberitahukan kepada warga agar kampung ini tak pernah terlibat politik.” Berpolitik adalah mendaki curam tebing, sedikit meleset, kita celaka.” Begitu selalu perkataan terelontar dari mulut Pan Putra. Dan seperti sihir, setiap kata yang jatuh dari mulut Pan Putra dituruti senantiasa.

Saban malam, ada saja yang datang ke rumahnya. Ketika tokoh politik tak mempan, maka mereka mengirim preman bertubuh besar. Tapi Pan Putra tak pernah gentar. Ia selalu melindungi kebebasan warga desa dari ikatan politik. Dan para preman yang diutus tokoh politik itu konon tak jarang juga mencelakai bila tak mendapatkan kesepatakan.

Cara-cara yang dilakukan politik memang sangar dan berlumur dengki. Tapi orang-orang kampung tak pernah mencemaskan Pan Putra. Jangankan berniat mencelakai, biasanya orang yang bertemu dengan Pan Putra untuk pertama kali bahkan kerap takut salah bertutur melihat perawakan dan wibawa di wajahnya.”

Cerita-cerita tentang Pan Putra mungkin masih panjang. Bagaimanapun, mendengarkan cerita-cerita mereka tak akan membuat nyawa lelaki yang terbaring di atas air itu kembali hidup. Langit telah susut dan senja hampir pudar. Burung-burung gagak berdatangan. Mengintip di atas pohon waru. Kicaunya tak beraturan. Mengabarkan kematian. Beberapa burung kecil menimpali. Hinggap di dahan-dahan, kemudian terbang lagi. Kumatikan gawai yang sedari tadi merekam cerita demi cerita tentang Pan Putra. Aku terlanjur bersedih.

Kutinggalkan kerumunan itu. Aku ingin mencari sudut foto terbaik. Aku ingin menangkap moment itu dengan sempurna. Di kejauhan, kerumunan itu yang terus melambai minta dipotret. Ada yang memasang gaya dan senyum sumringah. Aku tak peduli. Kuarahkan kamera ke tengah sungai. Seorang lelaki tua tengadah di atas air. Tak memakai baju. Kulitnya matang diperam cahaya. Dalam keadaan tak bernapas, wajah nelayan itu tetap berusaha tersenyum. Kupikir ini adalah berita pertamaku yang menarik sekaligus menyedihkan. Besok, sebuah koran akan mengabarkan:

SEORANG NELAYAN MENGAMBANG SEPANJANG SUNGAI IJO GADING.

Dan tentu, Tak ada yang perlu tahu, nelayan yang mengambang itu adalah ayahku. [T]

_____

KLIK UNTUK BACA CERPEN LAIN

Tunas | Cerpen AA Ayu Rahatri Ningrat
Tags: Cerpen
Previous Post

Untuk Apa Kehidupan Ada?

Next Post

Puisi-puisi Made Adnyana Ole | Peristiwa Biasa Pada Hari-hari Bahagia

I Putu Agus Phebi Rosadi

I Putu Agus Phebi Rosadi

Setelah menempuh pendidikan di Singaraja, ia kembali ke kampung halamannya di Jembrana untuk menjadi petani sembari nyambi jadi guru. Selain menulis puisi, ia juga menulis esai dan cerpen.

Next Post
Puisi-puisi Made Adnyana Ole | Peristiwa Biasa Pada Hari-hari Bahagia

Puisi-puisi Made Adnyana Ole | Peristiwa Biasa Pada Hari-hari Bahagia

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas
Khas

Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

“Kami tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus kesalahan kami, tak ada air mata yang bisa membasuh keburukan kami,...

by Komang Sujana
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co