PANGGUNG Ksirarnawa makin seru. Pertempuran demi pertempuran menderu. Serupa satu episode cerita Dyah Tantri yang meluluhkan keegoan raja. Satu babak yang panjang, dalam, merembet, melekat, mengisap dan menyebar cepat kemana-mana. Serupa kanker, bakteri dan virus dalam tubuh, yang dihidupkan, diharmoniskan, dibenturkan dan dimusnahkan dengan nafas. Ya, prana, nafas penanda hidup.
Ya, akupun bernafas. Nafas seorang wanita, seperti halnya raja yang ksatria , pendeta yang brahmana, waisya, sudra atau variasi dan tiruan-tiruan bakat dan kemampuan manusia. Nafas binatang yang kadang panas dan bergejolak atau nafas tanaman yang dominan lembut mendayu. Boleh sebut aku Dyah atau Tantri, hanya sebagai penanda wanita, tapi bukan permata persembahan untuk raja. Bukan pula sari, daksina pendeta sakti. Aku bukan orang penting, bukan siapa-siapa, karenanya aku bisa kemana-mana dan di mana-mana. Hanya debu, yang menyimpan pilu.
“Mari ke sini, lihatlah, perhatikan baik-baik, lihatlah ayam hitam di bawah pohon itu.”
Pendeta itu memanggil Nengah, lelaki yang mengantarkan koran setiap pagi. Nengah mendekat penuh hormat. Dengan jari kirinya pendeta kembali menunjuk ke arah ayam hitam di bawah pohon jambu itu. Nengah tercekat, Ayam hitam yang ditunjuk pendeta tiba-tiba terkapar, rebah tak berdaya. Nengah gemetar.
“Kamu mau kuajarkan ilmu seperti itu, ayo ajaklah teman dan saudaramu kemari, aku akan ajarkan ilmu-ilmu hebat dengan gratis, ” kata Pendeta.
Mata Nengah berbinar-binar, sungguh menyenangkan bila bisa punya ilmu seperti itu, ia pasti tak perlu khawatir lagi jika malam-malam berhadapan dengan para preman. Nengah merasa mendapat durian runtuh. Nengah yang polos tiba-tiba menjadi orang penting. Menjadi juru warta pendeta sakti, juga menjadi kunci penerima yang mau belajar. Nama Nengah menyebar kemana-mana juga kesaktian pendeta. Nengah dicari-cari, pendeta menari-nari.
Raja Keling tak terima, Nengah adalah abdi setia. Tak boleh dirampas begitu saja. Raja merasa terhina. Nengah dipanggil diberi hadiah dan diminta cerita. Nengah seperti menjadi makin penting, dalam situasi yang makin genting.
Nafas-nafas api menyebar di mana-mana. Kadang membuat ledakan besar saat bersentuhan dengan yang berseberangan. Pemantik-pemantiknya terpasang di mana-mana, pada persimpangan-persimpangan, pada tikungan-tikungan, pada pohon-pohon angker, pada sungai dan jurang, pada tempat-tempat lapang dan kosong di ujung dan batas-batas wilayah kerajaan Keling.
Sesungguhnya raja dan pendeta masih ada hubungan darah. Yang menjadi raja di kerajaan Keling adalah keturunan dari Ida Suci salah satu selir raja yang berdarah brahmana yang biasanya menjadi pendeta. Awalnya raja dan pendeta seia sekata. Permintaan raja dipenuhi oleh pendeta, nasehat pendeta diikuti oleh raja. Semuanya jadi renggang, karena uang. Semuanya makin tajam, karena tekanan, satu ingin menerkam, yang lain merasa ditikam.
“Sudah saatnya baginda membuat upacara pengukuhan sebagai raja yang besar. Semakin besar semakin menunjukan kewibawaan, pengaruh dan kekuasaan baginda. Raja secara material dan spiritual. Sudah saatnya kerajaan Keling menjadi kerajaan besar, menjadi pusat perhatian kerajaan-kerajaan lain,” Pendeta tersenyum.
“Ya, kita harus segera rancang dan tetapkan hari baik. Baginda sudah sangat terkenal dan disegani, dengan upacara pengukuhan raja, secara otomatis baginda juga menjadi penguasa alam spirit, penguasa mahluk dan kekuatan halus, hahahaha, ” kata seorang lelaki yang selalu berada diantara raja dan pendeta.
Raja tercenung, istrinya melintas dan memperlihatkan senyum kecutnya, sambil dengan keras menggoyangkan pinggulnya.
“Janji beli mobil terbaru belum terlaksana, untuk apa jadi raja, menghabiskan biaya saja.”
Istri raja ngomel-ngomel tak setuju. Raja menoleh istrinya, dalam pikirannya berkelebatan jumlah dana yang harus dikeluarkan jika harus membuat upacara penobatan besar. Biaya besar berarti ia harus menjual tanah warisan lagi, sementara selama ini ia seringkali melarang warganya untuk menjual tanah warisan.
“Saya ingin menjadi raja yang biasa-biasa saja. Gelar raja itu tak perlu diada-adakah, penghormatan itu biarlah berjalan secara alamiah. Lebih baik tanpa upacara penobatan tapi dihormati sebagai raja, dari pada dinobatkan sebagai raja dan disebut sebagai raja hutang, atau raja pembunuh, ” kata raja tegas. Raja merasa menang, dalam hatinya ia senang, bisa mengalahkan akal para pengeruk uang.
Pertemuan hari itu berlangsung singkat, tapi padat. Menjadi awal cerita memikat, yang laknat. Seperti api dalam sekam, menunggu angin menghantam. Ya, sejak itu, raja dan pendeta saling intip, dalam kelihaaian berusaha saling salip. Keduanya memang cerdik dan licik, seperti seekor kancil. Anehnya keduanya memainkan peran yang berbeda dan bertolak belakang. Raja kancil menjadi Harimau penguasa. Pendeta kancil menjadi sapi suci. Yang di tengah-tengah tetap menjadi srigala, mencari celah, menunggu keduanya lengah.
Korban berjatuhan. Raja menjaga benteng-benteng kekuasaan raja, pendeta mempertahankan konsep-konsep keyakinan berupacara.
Masing- masing kecolongan, masing kebobolan. Raja mensomasi sistem kependetaan, pendeta mengugat keabsaan raja.
Gada-gada api memukul membabi buta. Anak panah-panah api melesat, bersliweran, mengejar daftar nama-nama.
Cakra-cakra api berputar-putar di langit, mengusir mendung, meniadakan hujan. Suasana panas makin panas. Panas api bersenyawa dalam mantra dan genta, menyebar di udara, menyusup dalam telinga, memukul dan menyesakkan dada.
“Keluarga kerajaan Keling harus enyah, harus musnah.” Perkutut bersahutan mengingatkan, bercengkrama di atap rumah.
Aku Tantri, hanyalah debu, merasakan hatiku pilu. Hanya ibu, kupanggil selalu, untuk melindungi yang perlu.
Sebagai debu, aku bisa menempel di tongkat pendeta, atau bersembunyi di kursi empuk sang raja. Aku tak ingin keduanya beradu, tapi caranya aku tak tahu. Sedang bisikkan diangapnya angin lalu.
Ini perang panjang melelahkan, penuh intrik dan taktik. Ada penonton bertepuk tangan, kadang membantu memberi ilmu yang jitu.
Kekesatriaan raja, kesucian pendeta diuji. Ternyata keduanya bukan berjiwa sesungguhnya. Tak ada ketangguhan membela warga, tak ada kesungguhan menegakkan kebenaran. Raja dan pendeta sama, gila arta dan kuasa. Korban berjatuhan tak apa, yang penting bukan keluarga.
Permainan masih seru, walau tubuh keduanya makin kuyu dan layu. Tapi alam punya cara, tak ada yang bisa menduga. Juga raja dan pendeta. Dua cucu kesayangan raja, anak dan istri pendeta, menghadap Hyang Kuasa. Lalu besok siapa?
Kekuatan kancil adalah akal pikirannya. Perang antara raja dan pendeta kancil memporak porandakan segalanya. Pikiran adalah api, nafas api membakar wilayah-wilayah kekuasaan materail, memanaskan konsep-konsep kesucian spiritual. Perang antara raja dan pendeta kancil adalah perang nafas yang memusnahkan. Kesucian prana pun laya, meniada. [T]