PERAHU itu tidak bisa bergerak. Pemia kecewa. Perahu yang ia buat dengan susah-payah itu hanya mengapung di sebuah kubangan air, sebuah kubangan air yang memang sengaja ia buat untuk bermain-main.
Terpaksa Pemia mendorong perahu itu dengan ujung telunjuk sehingga air di kubangan itu bergerak. Gerakan itu membuat warna air yang kecokelatan oleh lumpur menjadi tampak lebih pekat. Hujan baru saja reda.
Baru saja Pemia mengembangkan senyum saat perahu kertas putih itu bergerak perlahan, tiba-tiba perahu itu langsung ambruk, terbenam dalam kubangan air lumpur. Cipratan air juga mengotori roknya. Pemia berteriak kesal, sampai hampir menangis. Ia tahu siapa yang sudah membuat perahunya terbenam dan roknya terciprat lumpur.
Dari tawa yang didengarnya, ia tahu siapa yang sedang mengganggu kesenangannya.
Pemia bangkit, mengusap wajahnya, dan menatap nyalang ke arah bocah lelaki yang sedang cekikikan di atas sepeda. Bocah itu baru saja melemparkan batu, tepat mengenai perahunya.
“Aku minta maaf, sebenarnya … Ah, sini, sini, biar aku bersihkan wajahmu!” Bocah lelaki itu menjatuhkan sepedanya tepat di dekat Pemia berdiri.
Namun Pemia tidak mudah dibujuk kalau sedang ngambek. Gadis itu berjalan ke arah rumah. Bocah lelaki itu mengikuti dan berusaha menyamai langkah Pemia.
Gerbang rumah berderit, terbuka, ketika langkah-langkah lebar Pemia membuatnya tiba lebih cepat di depan pintu. Ia berhenti, namun seketika ia merasakan bocah lelaki itu menubruk punggungnya.
“Wili!” Pemia geram. Ia mengepalkan kedua tangannya. Ia berbalik dan mendapati Wili mengangkat sebelah alisnya.
“Apa?” tanya Wili. Ia menggaruk-garuk pelipisnya. “Aku sebenarnya lapar,” kata Wili. “Kamu pasti sudah hapal, kalau lapar mendadak aku akan pulang ke sini. Masakan Ima ….”
Bocah lelaki itu berhenti berbicara karena Pemia memandangnya sambil melotot. “Masakan Ima sangat enak. Membuatku ingin terus menyuap-menyuap sampai tak mau berhenti. Begitukah?”
Wili mengangguk.
“Yah, bahkan aku sudah hapal soal itu!” Pemia berkata tajam sambil menekankan telunjuknya di bahu Wili sampai-sampai bocah itu terdorong ke belakang.
“Dan satu lagi …, jangan panggil-panggil ibuku dengan sebutan khususmu itu?” kata Pemia.
“Ima?” tanya Wili.
Pemia enggan menanggapi Wili.
“Ima itu kan singkatan dari Ibu Pemia. Lagian kamu saja yang tidak bisa memastikan ibumu yang terbaik,” kata Wili.
Pemia memutar bola matanya. Ia tiba-tiba menguap. Cuaca dingin sehabis hujan membuatnya mengantuk.
Wili berusaha melewatinya dengan menjangkau tuas pintu gerbang. Namun, Pemia berusaha mencegah.
“Tidak bisa. Tidak ada makanan hari ini. Pulang saja kamu. Nenek pasti memasak. Jangan aneh-aneh, ibuku masih tidur,” sergah Pemia.
“Bohong! Ima …, maksudku Tante, pasti sudah memasak jam segini. Aku yakin. Ah, kamu memang tidak mengenal ibumu, kalah sama aku,” ujar Wili.
Pemia lebih geram lagi. “Maksudmu apa?”
“Aku mau masuk!”
“Aku bilang tidak! Dasar, tidak punya ibu!”
Wili tampak kaget mendengar kalimat terakhir Pemia. Ia pun melengos. Dan sejak kalimat terakhir itu meluncur dari mulut Pemia, Wili tidak kelihatan lagi di sekitar rumah Pemia.
Bahkan saat Pemia berkunjung ke rumah neneknya yang tidak jauh dari rumahnya, bocah lelaki itu tidak ada. Lalu ia pikir Wili memang bersembunyi karena sakit hati.
Wili adalah sepupu Pemia. Sepupunya itu memilih tinggal bersama nenek. Ia memang tidak memiliki sosok ibu. Sebelumnya ia hanya tinggal pamannya seorang.
Sejak kepindahan Wili yang memilih tinggal bersama nenek, ia dipaksa terbiasa dekat dengan bocah lelaki itu meski ia enggan.
Tidak ada yang bisa ia sukai dari Wili. Tubuhnya gendut karena suka makan. Suka menyita perhatian ibunya karena gemas dan lahap ketika makan, beda dengan dirinya yang selalu makan tanpa gairah. Neneknya juga amat sayang dengan menyebut-nyebut nasib Wili tidak beruntung karena ibunya sudah tiada.
Belum lama ini, kakek menghadiahi Wili sepeda karena menang olimpiade di sekolah. Pemia memang jauh lebih pintar, cuma ia tak mau menunjukkannya karena ia tidak mendapat perhatian lebih dari kakek dan neneknya.
Baginya, hadiah dari kedua orang tuanya terlanjur biasa saja. Agak berbeda ketika dia melihat Wili.
Nenek menyalahkan Pemia setelah berkata jujur bahwa ia telah bertengkar dengan Wili. Ia pulang dengan perasaan dongkol lalu saat membuka pintu, kedua orang tuanya sedang bertengkar.
Keduanya saling berteriak tetapi tidak tahu kalau Pemia sudah pulang. Pemia bersembunyi di balik pintu sambil terus mendengarkan teriak-teriakan mareka soal kata perpisahan yang disebut berulang. Pemia menggigit bibir bawahnya menyambungkan kemungkinan yang bakal terjadi. Ia menangis tanpa suara sambil memeluk diri sendiri.
Pemia berlari ke belakang rumah dan menemukan Wili sedang makan roti. Saat mengunyah roti, pipinya tampak lebih bulat dari aslinya. Pipi itulah yang membuat ibunya gemas. Mengingat itu, Pemia makin cemburu. “Mau roti?” Wili menyodorkan roti kepada Pemia.
Pemia menggeleng, ia memunggungi Wili dan menangis. Lalu Wili mendekat. Suaranya bisa ia rasakan lewat lengan Wili yang bersentuhan dengan lengannya.
“Ibumu yang memberikan ini,” kata Wili.
“Makan saja. Aku tidak laparan sepertimu.”
Wili bergumam sambil mengunyah. “Kau tahu, mereka bertengkar setelah aku keluar rumahmu dengan membawa roti ini.”
Wili mengunyah potongan terakhir lantas bersendawa. Pemia bergidik ketika mendengarnya.
“Orang dewasa memang suka bertengkar melebihi anak-anak seperti kita. Namun, mereka seperti tidak mudah melupakan permasalahan. Maka dari itu, Mia, jangan seperti orang dewasa dan menghadaplah ke arahku. Aku sedang bicara.”
Pemia sungguh tidak mau bertengkar, jadi dia menurut.
“Dulu orang tuaku juga sering bertengkar,” kata Wili.
Pemia tidak benar-benar mendengarkan. Ia hanya mencabuti rumput dengan raut kesal.
“Ibuku akan berhenti bertengkar ketika sibuk memasak dan ada teman-temanku di rumah. Dia juga tidak akan marah-marah begitu pun Ayah.”
Pemia mengangkat kepalanya yang ditumpu lutut. Lalu menatap Wili dengan kening mengerut. “Jadi, apakah itu solusi?”
“Kata orang dewasa, ini pemecahan masalah!” Wili berlagak percaya diri dengan mengangkat kerah bajunya.
Pemia akhirnya mencoba solusi yang diberikan Wili. Ia berteman dengan sepupu yang awalnya dirasa sangat menyebalkan itu, dan keadaannya tidak seburuk pikiran Pemia. Wili sering berkunjung dan ibunya lebih sering memasak dengan beraneka ragam.
Ibunya juga sudah jarang kelihatan berdebat dengan sang ayah. Sang ayah, ketika pulang kerja, lebih sering menemui Pemia dan Wili yang sedang belajar di ruang tengah. Bahkan ayah sering bergabung menonton televisi ketimbang berkutat dengan laptop dan pekerjaannya.
Pemandangan tidak biasa juga terlihat ketika ayahnya membantu memperbaiki sepeda Wili yang putus rantainya. Sepertinya ayahnya kini sudah punya waktu luang di hari Minggu dan Pemia tidak merasa cemburu akan hal itu.
“Ternyata resepmu benar. Mereka sudah kelihatan betah di rumah,” kata Pemia.
Wili menyedot jus jambunya sambil memperhatikan Pemia yang melipat kertas menjadi perahu. Mereka berencana akan bermain perahu bersama dalam kubangan air. [T]