“Masih ada atau tidak Lekra, saya akan tetap menulis,” kata Pak Putu Oka sembari mendekatkan sepiring pisang rebus kepada saya.
Saya main ke Rawamangun, Jakarta Timur. Di tengah pelatihan ini itu selama beberapa hari, saya menyempatkan sore hari ke rumah Pak Putu.
“Juli, lewat sini,” tunjuknya membukakan saya pintu.
Ada dua pintu di depan rumahnya, satu pintu yang dekat dengan rak obat-obatan, satu lagi dekat dengan ruang kerjanya.
Kami ngobrol panjang lebar, Pak Putu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya soal GONG Kronik di Denpasar. GONG Kronik adalah satu kelompok di Denpasar yang pernah ramai ketika membuat Malam Drama dan Puisi “Mengganjang Malaysia di Denpasar”. Kelompok ini saya temukan setelah Risa, kawan saya di Jepang, mengirimkan saya beberapa arsip Harian Rakjat 1964.
Waktu itu, 2 Februari 1964, dalam menyambut dan melaksanakan Seruan Umum dari Komando Aksi Mengganjang Malaysia P.B Front Nasional dilangsungkan sebuah pementasan drama, deklamasi yang bertemakan Mengganjang Malaysia.
Pementasan itu dilakukan oleh organisasi kebudayaan yang baru saja didirikan yaitu GONG Kronik seni dan sastra yang bekerjasama dengan Front Nasional Daerah Bali, bertempat di Pendopo Balihotel Denpasar.
Drama-drama yang diangkat malam itu adalah Kemarau karya P.H. Muid, Lagu Subuh oleh Zubir A.A. dan Drama lima menit karya Multatuli.
Puisi Mengganjang Malaysia disusun oleh Putu Oka juga berisikan tentang kebangkitan rakyat Indonesia sejak Revolusi Agustus 45 sampa pada saat menyokong Perjuangan Kalimantan Utara dan mengganjang Malaysia.
Sajak-sajaknya adalah “Karang Berdarah”, “Risakota”, “Krawang Bekasi” (beberapa bait saja) Chairil Anwar, “Demokrasi” Agam Wispi, “Tak Seorang pun Berniat Pulang” H.R. Bandaharo dan “Kalimantan Utara” Putu Oka.
Juga dideklamasikan sajak-sajak dari Sutikno W.S., “Hermanus O Hermanus” Agam Wispi, “Latini” H.R. Bandahara, “Bara” S. Ananta guna, “Trikora” Budiman Sudarsono, “Djangan Djamah Kuba” dan “Salam Kaltar” oleh Putu Oka.
Pemain-pemain yang mendukung drama itu adalah Surjani, Lilik Djajaningsih, A.A. Gde Oka, I.N. Suta, G. Erkamaja, Raka, Ngurah, Djelata, Koo Kie Lin, Gesek sh, M. Chasan. Sedangkan pembawa-pembawa sajak adalah Rusniati, Tjok Manik, Siang Ngo, Suri dll. Sebagai sutradara Putu Oka dibantu oleh Permadi Lyosta, Gde Mangku, Pin Tjien, Raka Swasta.
Selain pementasan drana juga organisasi ini mulai mengisi ruang Sastra di RRI dengan pembahasan tentang sastra, kritik dan esai sastra ataupun tentang kesenian-kesenian yang lainnya seperti seni rupa, musik, dan tari.
Pak Putu menjawab pelan dan lengkap, dia juga menyebutkan beberapa nama yang bisa ditanya agar lebih lengkap informasinya dan dari sudut pandang yang lain. Dia mengambil telpon dan menelpon temannya di Bali, mengenalkan saya dan memintanya memberikan saya beberapa cerita dan informasi lalu menyusul jadwal untuk bertemu ketika nanti sudah di Bali.
Ingin rasa lebih lama tapi entah kenapa tiba di Jakarta saya bersin-bersin. Dia memberikan saya buku barunya dan sekotak obat, “Juli minum ini ya, hati-hati di Jakarta. Udaranya tidak bagus. Sekarang minum dua, nanti sebelum tidur minum lagi,” katanya sembari memberi saya sekotak tablet ekstrak temulawak.
Dia membungkuskan saya beberapa pisang dan makanan, sembari mengantar keluar rumah. Lalu saya mengucapkan terima kasih, berjalan menjauh dari pintu rumahnya. Saat menoleh, saya masih melihatnya berdiri di depan pintu, hingga saya menghilang di belokan gang Jalan Balai Pustaka. [T]