3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Taru Bukit

Satia GunabySatia Guna
February 2, 2018
inCerpen

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

31
SHARES

Cerpen: Satia Guna

POTONGAN-POTONGAN kayu narbuaya, jati, dan eboni sudah tertumpuk di salon Man Gredeg. Pagi itu ia memandangi potongan-potongan kayu itu sembari menyeduh kopi pahit kesukaannya. Ia menghela kepulan-kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Pengotok, paet, dan meteran sudah berada disampingnya. Siap menemaninya membentuk bongkahan-bongkahan kayu yang ada.

Bongkahan-bongkahan kayu yang bergeletak di salon,menerbangkan ingatannya pada tumpukan masa lalu dimana kesehariannya tidaklah seperti ini. Dimana pohon-pohon tumbuh subur di tegalannya. Tubuhnya tak sekerempeng sekarang. Dulu tubuhnya tegap, gagah, dan berwibawa.

Setiap hari ia selalu membawa gergaji dan tali untuk menumbangkan pohon-pohon yang menjulang tepat berada di ujung bukit yang kini telah gundul. Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia membabat puluhan pohon-pohon di belakang bukit itu. Ia telah lupa, lupa pada ambisinya saat itu. Ia pula lupa bagaimana kebanggannya mengukir satu demi satu pohon menjadi patung dan topeng utuh.

Pada tahun 1989 tersiar kabar bahwa penebang pohon liar akan ditangkap, dikenai denda, dan dipenjara jika ketahuan sedang membabat pohon di hutan. Para pengangguran berlomba-lomba untuk mengikuti seleksi masuk kepolisian hutan. Saat Man Gredeg mendengar berita tersebut dari beberapa teman-teman penebang kayu, ia sontak berpikir keras dan mencari cara agar tak tertangkap oleh mereka. Sebab penghasilan utamanya adalah sebagai penebang pohon.

Ia sudah jadi penebang pohon sejak umur 15 tahun. Putus sekolah hanya untuk melanglang bhuana melewati bukit demi bukit hanya untuk mendapatkan kayu yang berkualitas dan menjanjikan bagi para investor. Ia tak pernah pulang. Rumahnya adalah bukit. Soal makanan, bila beruntung ia bisa menyantap kijang bakar bersama teman-teman, tapi kalau sedang lagi apes beberapa kalajengking dan ulat tanah pun tak jadi masalah.

Man Gredeg biasa berjalan bersama teman-temannya, bergerombol, bernyanyi di sepanjang perjalanan. Menyusuri kabut yang tanpa henti menghadang langkah dingin yang mereka tancapkan pada tubuh-tubuh bukit renta. Mereka bersorak seperti bajak laut seusai menjarah harta. Tatapan mereka dingin sedingin sapuan angin yang menyapu pohon-pohon cemara yang mereka lewati. Mereka takkan pulang sebelum memanggul tubuh-tubuh pohon yang telah mereka mutilasi.

Man Gredeg merupakan anggota terkecil dari puluhan anggota tersebut. Ia seorang pekerja keras. Ia merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Hanya ia yang dapat membiayai sekolah adik-adiknya.

Setelah menyusuri berbagai macam kelok-melok sungai dan bentang sawah yang berpetak-petak, sampailah mereka pada sebuah bukit dengan pepohonan yang aneh. Biasanya satu bukit menyediakan berbagai macam pohon. Tapi pada satu bukit ini hanya ada pohon pule. Mereka jadi sulit untuk menentukan arah, karena semua pohon sama, jalanan kelok melok pun sama. Mereka berputar, mengulang dan mengulang sampai malam menyingkirkan kabut yang menutupi penglihatan.

Man Gredeg menyeruput sisa-sisa kopi yang masih tersisa di gelas, sembari melontarkan lintingan puntung rokok yang tak habis ia hirup. Hembusan kepulan terakhir mengingatkannya akan semua rekan-rekannya yang lenyap di bukit itu. Termasuk pamannya yang paling disayang.

Pakis-pakis di sepandang bukit berlumuran darah lalu beberapa sabit yang menancap di pohon-pohon pule. Hanya Man Gredeg yang selamat. Hanya ia yang terbangun dan mendapati diri telah sendiri. Dari atas pohon tempat ia tertidur ia hanya melihat kumpulan kunang-kunang subuh yang hinggap di beberapa pohon pakis yang berlumuran darah.

Kunang-kunang itu berusaha membangunkan beberapa kejadian yang menimpa semua anggotanya. Ia melihat kepala yang tergantung di atas pohon lalu akar-akar pohon pule menyeruak dari timbul tanah mengikat semua anggotanya dan menggantung mereka pada beberapa batang yang kuat menahan berat badan mereka.

Lalu akar-akar tajam itu menusuk bertubi-tubi perut, leher, kepala, dan seluruh organ tubuh anggotanya. Malam itu pohon pule tak terlihat hijau seperti biasanya. Daun-daun berwarna merah dan tanah menjadi lautan darah yang dipenuhi potongan tubuh. Dalam termangunya Man Gredeg tak sadar air matanya mengalir membasahi pipinya. Ia tak berani turun dari pohon, seolah-olah akar-akar pohon pule siap menjadi duri panjang yang akan menusuk perutnya saat ia terjatuh dari pohon

Ia sangat ketakutan. Ia tak berani turun. Kakinya mengakar pada sebuah dahan pohon. Matanya hampa diterpa beberapa debu. Ia kehilangan kesadaran.

Daun-daun pohon pule berjatuhan menghantam kulitnya yang kasar. Ia tersadar, bangkit dan masih terduduk lemas di atas dahan pohon pule. Ditengoknya ke bawah memastikan kejadian semalam hanyalah mimpi yang larut menjadi bunga tidur. Matanya terbelalak, api unggun masih utuh, lalu tungku tak lagi hangat. Ditengoknya lagi sekeliling. Sepi siang itu membuatnya lebih takut ketimbang melihat kejadian semalam.

Sangat sepi. Semua kelompoknya menghilang. Tak ada jejak kaki, senyap, musnah. Ia menangis sejadi-jadinya sampai tak terdengar lagi desir angin yang selalu menerpa rambut dan sekujur tubuhnya. Sepi ini lebih gigil daripada rintik hujan dan kumpulan kabut. Sepi ini kubangan masa lalu yang tak ingin ia ingat kembali. Dan sepi ini adalah alunan nada penjerit yang memekikan hati dan air mata.

Man Gredeg turun dari pohon pule, setelah lelahnya henti menghinggapi. Dirabanya semua daun-daun pakis berharap ada beberapa jejak yang dapat membuatnya sadar kalau ia tak sendirian di tengah hutan pohon pule. Ia harus menemukan jejak sekecil apapun, kalau tidak, malam akan menjemput segala macam sepi yang ia miliki.

Beberapa kumbang pohon bersuara. Saling bersautan menandakan pencarian Man Gredeg akan segera berakhir. Hujan turun malam itu menyibak barisan kabut yang mengitari bukit. Man Gredeg naik lagi ke atas pohon pule, ia tak bisa tidur, ia takut saat tertidur pohon pule menjeratnya lalu menelannya ke dalam tanah. Ia mulai memikirkan tragedi-tragedi aneh yang memacu kecemasannya.

Hujan semakin deras. Ia teringat dengan beberapa kelompoknya yang sempat disebut-sebut sebagai anggota PKI, Man Gredeg mengira PKI itu adalah sebuah partai politik yang akan maju ke pilkada. Tapi alangkah terkejutnya ia setelah salah satu dari anggota penebang pohonnya diketahui mengambang terbungkus karung ditemukan di sungai dekat sawah ayahnya.

Ia berpikir, mungkin hal tersebut karena perseteruan antar politikus. Ia masih menanggapinya dengan santai. Seminggu kemudian giliran saudaranya yang juga penebang kayu yang diiusukan masuk PKI tergantung di atas pohon kelapa depan rumahnya. Rentetan itu berlangsung sampai sebulan kemudian satu persatu penebang kayu tewas secara misterius. Sampai akhirnya rombongan penebang kayu pun berencana untuk pergi mencari kayu di sebuah bukit di bagian utara.

Melayang-layang, tubuh teman-teman dan saudaranya bergelantungan digantung pohon pule. Ia menyaksikannya lagi. Ditemani kunang-kunang yang kadang hinggap di bahunya seakan membisik bahwa ini semua bukan mimpi. Hutan pule kembali menjadi lautan darah. Seluruh organ tubuh berserakan. Tetesan hujan yang ia rasakan tadi berubah anyir dan berwarna merah.

Ia hanya bisa menangis dan menangis tak bersuara, sepi, hening, senyap, musnah. Akar-akar pohon pule berusaha menariknya menuju dasar neraka paling dalam di bawah tanah. Saat tertarik ia terbangun. Mimpi yang sama. Tragedi yang sama. Dan sepi yang sama. Ia beranjak mengambil kapan dan pahat. Ia mencincang, memotong semua bagian tubuh pohon pule. Kesepuluh pohon pule yang ada dihadapannya ia cincang menjadi bongkahan patung mirip manusia yang masih utuh berada di antara batang pohon. Sambil menahan tangis ia berlari menjauh dari amarah dan tempat yang membuatnya menjadi gila.

Ia masih berlari dan berlari dari kabut masih tebal hingga malam memayungi kesepiannya. Ia terus berlari berharap menjauh dari tempat itu. Setelah beberapa bulan berlari melewati liku hutan yang membingungkan ia menemukan sebuah desa dengan kabut tebal dan sekelompok kunang-kunang yang menyangkar. Ia coba menyibak kabut tersebut. Betapa terkejutnya ia saat menjumpai sepuluh patung yang ia buat tengah disembah oleh masyarakat di sana. (T)

Tags: Cerpen
Previous Post

Curangologi: Filsafat Curang Seri 1 – Gambar Umbul

Next Post

PMM-Al-Hikmah Undiksha adalah Sebuah Persatuan

Satia Guna

Satia Guna

Lelaki pendiam yang selalu bikin kangen, terutama dikangeni teman-temannya di Komunitas Mahima. Suka main teater, suka menulis puisi, esai dan cerpen. Kini juga melukis.

Next Post

PMM-Al-Hikmah Undiksha adalah Sebuah Persatuan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co