SALAH satulegasi Anies Baswedan ketika menjabat Mendikbud yang sampai kini diwariskan adalah Program Gerakan Literasi Nasional (GLN). Hilir dari program ini berada di sekolah yang disebut Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Walaupun Anies Baswedan hanya menjabat Mendikbud selama 18 bulan, legasi Anies Baswedan ini tampaknya akan terus berlanjut secara konsisten dan kontinu. Mengapa?
Dunia Pendidikan tidak mungkin terlepas dari literasi yang makin hari makin banjir informasi dan memerlukan orang-orang cerdas untuk memilah dan memilih sehingga tidak terjadi bencana komunikasi.
Bencana komunikasi tidak saja mencerminkan rendahnya kecerdasan linguistik, tetapi juga menggambarkan rendahnya peradaban suatu bangsa.
Dasar Hukum Program Literasi di sekolah adalah Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang memuat kewajiban membaca 15 menit sebelum mulai pembelajaran di sekolah setiap hari efektif belajar.
Program ini sudah berlangsung 9 tahun sejak 2016 dan melewati 2 Kurikulum (Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka) dan melewati 3 Menteri (Muhadjir Effendi, Nadiem Makarim, Abul Mut’ti). Walaupun Abdul Mu’ti santer mengevaluasi kebijakan Nadiem Makarim terkait Kurikulum Merdeka, tampaknya tidak mengevaluasi Program GLN dan GLS karena program ini adalah pondasi membangun pendidikan yang memerdekakan dan mencerdaskan.

Bagaimana program ini dirawat di sekolah-sekolah? Sejak 2016, program ini dilaksanakan mengawali pembelajaran tiap hari di sekolah dengan 15 menit membaca buku nonteks (fiksi dan nonfiksi) sesuai dengan bakat dan minat siswa. Untuk mengukur keberhasilan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan.
Pertama, dengan menceritakan kembali buku yang telah dibaca dihadapan teman-teman sekelas difasilitasi guru di kelas.
Kedua, merayakan literasi setiap akhir bulan dalam apel bendera di lapangan sekolah dengan menampilkan peserta terbaik versi tim literasi dan diberikan penguatan.
Ketiga, mengapresiasi karya siswa dan guru dengan menerbitkan majalah atau buku secara konsisten dan kontinu.
Cara ketiga ini dilakukan oleh SMA Negeri 2 Kuta dengan menerbitkan Antologi Cerpen karya siswa bertajuk, “Dalam Lantunan Gamelan, Aku Ingin Mencintaimu dengan Perlahan” (Album Cerpen Siswa SMAN 2 Kuta).
Sesuai dengan judulnya, dominan cerpen dalam album ini berkisah tentang cinta. Hal ini bisa dimaklumi karena penulisnya remaja dengan pengalaman batin dan kegelisahannya mencari identitas diri.
Hal itu juga sudah dikisahkan oleh Obbie Mesakh dalam lagu, “Kisah Kasih di Sekolah” “…Tiada masa paling indah/Masa-masa di sekolah/Tiada kisah paling indah/Kisah kasih di sekolah…”
Album ini berisi 21 cerpen ditulis oleh 19 siswa diterbitkan oleh Frimepublishing Yogyakarta. Catatan penyunting ditulis oleh Raudal Tanjung Banua dalam tajuk “Album Cerita Kaya Warna”.
Ada 2 siswa menyumbang dua cerpen yaitu I Made Krisna Ananta Wirya dan Ni Putu Wina Febriani. Krisna dengan cerpen berjudul, “Jutaan Warna dalam Satu Ruang” dan cerpen “Di Waktu yang Singkat, Aku Ingin Mencitaimu dengan Perlahan”. Febriani dengan cerpen berjudul “Sang Pelukis” dan “Di Kala Cinta, Menggoda”.
Cerpen Krisna berjudul “Jutaan Warna dalam Satu Ruang” mengisahkan tragedi ayah dan ibu dibalut dalam warna gelap. Kegelapan demi kegelapan menyertai keluarga ini dinarasikan bak lukisan di atas kanvas dengan pilihan warna yang berimbang dan serasi sehingga semua bidang kanvas penuh berisi.
Namun, pada awal kisah, dilukiskan warna hitam selalu mengganggu pikiran tokoh Aku. Hitam sebagai warna berkabung, hitam sebagai gelapnya hubungan pergaulan, hitam sebagai lambang bullying, hitam sebagai lambang kekeruhan suasana hati, hitam sebagai lambang kelamnya SARA yang menimbulkan dengki dan irihati, bahkan pembunuhan. Lebih-lebih yang bernasib baik dan karier melejit berhasil diraih oleh golongan minoritas dapat memicu benih-benih kegelapan. Dalam konteks kekinian tampak aktual dengan narasi “Indonesia Gelap” yang dibangun oleh kaum aktivis.
Namun demikian, tokoh Aku (Lia) yang ditimpa kegelapan bertubi-tubi, ditemukan oleh Pak Ridwan, guru teater yang tampaknya mencari pemain peran yang menggambarkan Nusantara yang terbangun dari aneka perbedaan. Aku bangga berguru pada Pak Ridwan dan memainkan peran yang sesuai walaupun sebelumnya aku dibuly teman-teman. Nyaris aku menyerah.
“… Sinar matahari dari jendela menerangi seluruh ruangan. Lukisan bertemakan Nusantara disebarkan di mana-mana. Tak hanya itu,anak-anak yang seumuran denganku memakai pakaian yang berbeda-beda. Pakaian itu dipakai berdasarkan adat suku di Indonesia yang beragam adanya. Mereka juga dikumpulkan sesuai dengan tempat asal nya. Ada dari Aceh, Batak,Minang, Jawa, Sunda, Dayak, Banjar, Bugis, Minahasa, Bali, hingga Papua”.
Di teater, Lia menemukan potensi dirinya dan membuatnya semangat ke sekolah pagi-pagi. Tiba-tiba ia dikejutkan suara seruling yang merdu, ditiup anak yang duduk di kursi roda dengan menggunakan alat bantu dengar di telinganya. Itu makin membesarkan hati Lia, yang sempurna pancaindranya dan berfungsi baik.
Pada kesempatan lain, Lia bertemu dengan seorang anak kecil lagi menggambar Indonesia, kira-kira warna apa yang cocok ya, Kak?
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Oawalah, gampang, Dik. Gabungin aja semua warna yang adik punya. Indonesia punya banyak warna…”
Begitulah Lia seorang Papua yang digambarkan lian daripada teman-teman sekolahnya dan menimbulkan benih-benih disharmonis di sekolahnya dan selalu mendapat ancamaan.
Syukurlah Pak Ridwan menemukan cara memersatukan perbedaan lewat teater. Lia bangga dengan perannya. Teman-teman yang selalu mengejeknya, berubah menjadi simpati. Adalah salah, menilai orang dari kulit luarnya, yang ujungnya menimbulkan dskriminasi. Lia mampu melewati fase itu untuk meng-Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Sebagaimana cerpen remaja pada umumnya, cerpen Krisna juga dibumbui cinta walaupun tidak dominan. Namun, secara umum tema cinta dominan dalam album ini, aktualisasi Kurikulum Merdeka juga tampak jelas, terutama terkait dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) yang kabarnya dievaluasi Mendikdasmen, Abdul Mu’ti.
Selain itu, isu-isu terkini tentang sekolah aman, bullying, pertentangan antara orang tua dan anak, penggunaan media sosial, penguatan budaya lokal, hubungan sekolah dengan pariwisata digarap dengan apik dalam jalinan kisah.

Secara keseluruhan cerpen-cerpen dalam album ini menarik dari segi diksi yang melancarkan alur cerita cukup menggugah memenuhi syarat kohesi dan koherensi. Selain itu, masuknya kosakata Bahasa Bali menunjukkan penulisnya kesulitan memadankan ke dalam Bahasa Indonesia, selain mencerminkan kearifan lokal yang membingkai cerita.
Pengakuan tokoh tua di akhir kisah mengamini bakat dan minat anaknya, menunjukkan kekuatan generasi Z memengaruhi keputusan orang tua. Hal ini juga menunjukkan, generasi Z tidak membabibuta memaksakan kehendaknya, tetapi dibuktikan dengan kerja nyata dan berhasil.
Orang tua ditaklukkan anak dengan bukti prestasi. Orang tua menyesal ketika hendak menghalangi cita-cita anaknya, seperti tergambar dalam Cerpen “Lantunan Gamelan di Tanah Dewata” karya Ni Luh Anandita Nalya Putri dan Cerpen “Aninda dan Ayah” karya Steffany.
Kedua cerpenis muda ini mampu memengaruhi tokoh orang tua yang pada awalnya menentang cita-cita anaknya menjadi penari atau penabuh gamelan, tetapi pada akhir kisah penyesalan sekaligus penyadaran terjadi. Pada ujungnya, orang tua minta maaf kepada tokoh anak.
Kisah itu ditulis oleh Stefany dalam cerpen berjudul “Aninda dan Ayah”. Karena ingin melaksanakan hoby menari, Anin sampai minggat selama 5 tahun dari rumah karena ayahnya tidak setuju dengan pilihannya.
Ternyata Ayah trauma dengan Ibu Anin yang juga penari, saking fokusnya, ia lupa dengan penyakitnya. Ibu meninggal ketika Anin berumur 5 tahun.
“…Ibumu terlalu fokus menjadi penari lupa dengan penyakit yang serius diderita hingga saat usiamu 5 tahun, ibumu meninggal. Bapak sangat terpukul Nak, dan tidak ingin kejadian itu terulang pada dirimu”.
Makna penting dari tokoh Anin dalam cerpen Stefany setidaknya ada dua. Pertama, Anin meneruskan cita-cita ibunya yang penari sekaligus melestarikan Tari Jaipongan di desanya, yang kurang diminati anak seusianya. Kedua, Anin berhasil meyakinkan Ayah sehingga ayah pun mendukung pilihan cita-cita Anin.
Secara keseluruhan, Album Cerpen SMA Negeri 2 Kuta ini berhasil mencuri perhatian pembaca karena mampu menerjemahkan isu-isu terkini di dunia Pendidikan dan situasi kebangsaan dan kenegaraan terkini. Jika kemudian para tokoh tua berhasil diubah cara pikirnya karena prestasi yang ditunjukkan sang anak adalah sebuah pelajaran : saatnya berguru kepada sang anak. Jadikan mereka teman.
Kenyataan itu mengingatkan saya pada kisah Gus Dur yang mengaku berubah caranya beragama, setelah membaca cerpen A.A. Navis berjudul “Robohnya Surau Kami”.
Saya berharap guru/orang tua yang membaca Album Cerpen siswa SMA Negeri 2 Kuta selain memberikan persfektif baru dalam mendidik generasi Z yang kreatif dan inovatif memainkan diksi, juga dapat memerkuat ketahanan mentalnya sehingga generasi strawberry yang dilekatkan padanya dapat dianulir.
Sebagai karya pemula, cerpen-cerpen dalam album ini juga memiliki kelemahan, antara lain beberapa cerpen, klimaksnya terasa datar, pertentangan antartokoh perlu diperdalam lagi. Secara teknis, penulisan perlu mengikuti kaidah walaupun dimungkinkan untuk melakukan pendobrakan sebagai wujud licencia poetica.
Namun demikian, album cerita ini dapat menjadi album kenangan bagi penulisnya sebagai Jejak Literasi di Smanduta. “Jika kecil rajin membaca, niscaya dewasa dipenuhi Mutiara kata-kata”, kata Joko Pinurbo. Salam Literasi! [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Jaswanto
- BACA JUGA: