“Poets treat their experiences shamelessly: they exploit them” ― Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil
“Para penyair memperlakukan pengalaman mereka tanpa rasa malu: mereka memanfaatkannya.”. Kutipan dari filsuf Friedrich Nietzsche di atas saya dapatkan secara tidak sengaja, dalam artian bukan membaca dari ‘Beyond Good and Evil, buku dimana kalimat tersebut dituliskan.
Sengaja saya cantumkan dalam tulisan kali ini, karena mendapat tanggapan atas nukilan cerita pendek berjudul ‘Rumah Neraka’ yang saya tulis dan unggah di akun Facebook saya, pada Kamis, 27 Februari 2025.
Kalimat Nietzsche tersebut saya yakin bukan hanya tentang penyair, melainkan semua penulis, baik itu esais, cerpenis, maupun novelis.
Pengalaman menjadi bekal bagi kami untuk dijadikan karya. Baik itu pengalaman masa kecil, remaja maupun pengalaman saat usia dewasa dan juga tua. Seperti Pramoedya Ananta Toer katakan dalam sebuah wawancara sebuah media cetak, pikiran bawah sadar ibarat sebuah perpustakaan besar, tempat banyak pengalaman hidup tersimpan rapi dalam memori otak.
Para penyair (baca: penulis) kemudian memanfaatkannya. Saya sengaja tidak menggunakan kata ‘mengeksploitasi’ seperti pada kata asli Nietszche dalam bahasa Inggris. Kita gunakan saja kata ‘memanfaatkan’, agar tidak bias. Sebab sekarang kata ‘eksploitasi’ lebih bermakna negatif.
Ribuan bahkan jutaan karya sastra di dunia, banyak yang memuat pengalaman hidup penulis, baik pengalaman baik maupun buruk. Dengan menuliskannya, penulis merasa menjadi lebih baik, dilihat dari kondisi batin atau psikologis. Ada perasaan lega ketika isi pikiran dan perasaan dituangkan dalam tulisan yang menjadi buah karya dari penulis dan juga para sastrawan.
Penulis berharap apa yang mereka tulis tentang pengalaman hidup mereka bisa dijadikan cerminan, panduan atau bahkan inspirasi bagi khayalak umum, para pembaca buku-buku atau tulisan lepas mereka. Menulis juga bisa dibilang sebagai terapi psikologis bagi para penulis.
Pada diri saya; sejak beberapa bulan ini pengalaman masa kecil sering muncul dalam pikiran saya. Itu terjadi secara otomatis, di luar kehendak saya. Apakah ini sebuah trauma psikologis? Bisa jadi. Ibarat gelas kopi, ampas kopi di dasar gelas bisa naik ke atas jika terdapat guncangan.
Trigger, dalam istilah psikologi, yakni stimulus atau pemicu yang menyebabkan respons emosional atau perilaku tertentu. Trigger dapat berupa suara, bau, gambar, atau situasi yang mengingatkan seseorang pada pengalaman traumatis.
Sudut pandang pun perlu diubah; daripada mengira saya sedang tegang atau bahkan relapse/kambuh dari skizofrenia, lebih baik berpikir atau berkata, “Oh, Angga sudah mulai menulis cerpen, itu sangat bagus”, atau “Kisah hidup ditulisnya dengan sangat indah”, atau juga “Angga selain dikenal sebagai penyair, dia punya bakat sebagai cerpenis dan novelis.”.
Sekali lagi, pengalaman hidup yang ditulis oleh para penulis adalah sesuatu yang sangat biasa dan alamiah. Di tengah krisis budaya membaca buku; apa yang kami sampaikan mungkin bisa saja orang-orang awam sebut dengan “lebay”, “belum selesai dengan masa lalu” atau bahkan “sampah emosi kok ditulis?”. Polemik wajar adanya, tentu baiknya setelah membaca karya, bukan hanya bersifat pendapat atau pandangan tendensius, apalagi, menghakimi secara sepihak.
Cerpen dan Novel
Sejak lama saya telah menulis puisi dan esai. Ada baiknya kini saya mulai menulis cerita pendek (cerpen), bahkan juga novel. Meskipun belum pernah mengikuti kelas pelatihan menulis dua genre karya sastra tersebut, saya merasa telah memiliki bekal yang cukup untuk memulainya. Kembali lagi pada apa yang dikatakan Nietszche, bahwa pengalaman hidup oleh penyair (baca: penulis) banyak dimanfaatkan, untuk dijadikan karya, saya merasa apa yang telah saya lewati pada usia 41 tahun ini menarik untuk ditulis menjadi cerpen atau novel pada kemudian hari.
Semoga saya bisa mulai menuliskannya, sama halnya pada “calon” cerpen saya yang berjudul “Rumah Neraka”, yang saya tulis secara spontan, tentang perjalanan hidup saya terutama saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Pengalaman sebagai anak adopsi, dengan tugas harian yang membuat saya jarang bergaul, bermain dengan anak-anak seusia saya. Hal itu menimbulkan karakter soliter, penyendiri, dan suka akan kesunyian. Tentu ada dampak baik dan juga buruk.
Memulai genre baru tulisan, tentu saya membutuhkan waktu dan suasana kreatif yang mendukung. Dini hari dan subuh adalah waktu yang bagi saya sangat baik untuk menulis. Bolehlah jika pagi atau siang hari menulis coretan atau sketsa cerpen, disimpan dalam fitur catatan di ponsel pintar atau komputer. Lalu diendapkan, untuk kemudian dibaca dan disunting kembali saat dini hari atau subuh; sewaktu pikiran masih segar seusai istirahat di malam hari.
Pada cerpen atau novel, tentu saya membei ruang yang lebih luas menuangkan ide jika dibandingkan dengan puisi. Tergantung sekarang cara menyampaikannya. Pemilihan kata, plot, konflik, dan bagaimana “mengakhiri” tulisan menjadi sangat penting. Jujur saja, saya tidak banyak tahu dan menguasai teori-teori kepenulisan sastra. Saya belajar secara otodidak, dengan cara banyak membaca karya-karya, baik itu puisi, cerpen, atau novel dari banyak penulis Indonesia atau terjemahan karya penulis asing dalam bahasa Indonesia. Dari sana, saya mendapat gambaran bahwa ada karya yang sangat bagus, bagus, cukup baik, dan tentunya ada juga karya yang kurang baik—gagal dalam membangun cerita, hambar, atau ide cerita terlalu umum.
Karya yang baik, bagi saya, adalah karya yang tidak berpretensi tinggi atau muluk-muluk. Penulis memposisikan diri sebagai pencerita, menyampaikan gagasan dan ide dengan apa adanya. Tidak juga menggurui, sebab kini banyak sastrawan yang seolah-olah bertindak sebagai ahli agama, sehingga karya mereka berupa cerpen atau novel tidak ubahnya sebagai kumpulan khotbah yang menurut saya bukan merupakan kapasitas mereka. Sebab sastrawan, sekali lagi, bukan pendeta atau orang suci yang memang tugasnya memberikan bimbingan pada umat beragama. Semoga saya bisa meluangkan waktu untuk menulis cerpen dan bahkan novel. Salam. [T]
Penulis: Angga Wijaya
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA