DALAM rangka acara Trainy of Trainer (TOT) batch 3 yang diselenggarakan oleh Commonroom—sebuah NGO yang bergerak di bidang pengembangan internet di daerah pelosok di Indonesia—saya dan Komang Sri punya kesempatan untuk belajar dan jalan-jalan di tanah Bandung, Jawa Barat.
Saya dan Komang Sri adalah perwakilan perseta TOT itu dari SIK (Sekolah Internet Komunitas) Bali, tepatnya dari Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng- Bali.
Kegiatan TOT digelar selama 4 hari, yang dimulai dari tanggal 21 hingga 24 Januari 2025. TOT kali ini dilakukan di Bandung, tepatnya di Cipaku Garden Hotel terletak di Jl. Cipaku Indah X Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Jawa Barat.
Dengan tema Pengembangan Internet Komunitas, kegiatan TOT ini diharapkan mampu untuk peningkatan kapasitas dan pengembangan penggunaan internet di masing- masing wilayah, di antaranya peningkatan community organizer, pengelolaan administrasi, pengembangan bisnis dan produksi konten lokal.
Bersama teman-teman dalam kegiatan TOT di Bandung | Foto: Dok Sudantara
Dan, kami erada di tengah kegiatan TOT. Betapa sukacitanya saya. Selama kegiatan banyak hal yang bisa saya pelajari, selain internet komunitas, saya dapat berinteraksi dengan teman- teman SIK dari daerah lain.
Ada 11 SIK wilayah yang hadir pada kegiatan TOT Batch 3, yakni dari Ciracap, Ciptagelar, Lombok, Aceh, Taliabu, Tae, Ngatatoro, Maros, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Bali. Di akhir kegiatan acara diisi dengan keegiatan lomba memancing untuk menyegarkan diri setelah 3 hari kegiatan materi di dalam ruangan.
Cuaca yang dingin dan hujan sudah menjadi ciri khas kota Paris van Java ini membuat saya menjadi bertambah semangat untuk menyeruput kopi dengan penganannya. Apalagi ditemani sebatang rokok menthol, suasana jadi makin syahdu.
Kegiatan TOT di Bandung | Foto: Dok Sudantara
Selain kelas- kelas dari narasumber yang luar biasa—di antaranya dari Ir. Budi Rahardjo, MSc, PhD. seorang dosen dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga sebagi penulis dan konsultan information security—kami juga diajak study tour ke Qimtronic, salah satu perusahaan teknologi kreatif berbasir Riset and Development (RnD) di Bandung.
Belanja Oleh-Oleh di Waktu Sela
Pergi ke satu tempat, kurang apdol rasanya tanpa membawa oleh-oleh dan berbelanja atau sekedar cuci mata sambil jalan-jalan.
Malam, sekitar jam 19.00 wib, seusai belajar di kelas, kami ke daerah Ciampelas, sekitar 20 menit dari hotel tempat kegiatan. Seperti tempat wisata lainnnya, di Ciampelas banyak terdapat pedagang, mulai dari harganya yang murah hingga harga premium. Ada semua.
Belanja bersama teman-teman TOT di Cihampelas, Bandung | Foto: Sudantara
Ditemani hujan rintik-rintik saya dan teman menyusuri satu persatu toko yang ada di sana sembari mengambil foto dan video.
Penerbangan yang Melelahkan
Harusnya perjalanan pulang saya dari Bandung menuju Bandara Soekarno Hatta, dengan minibus travel dan penerbangan menuju Bali dilakukan pada 25 Januari 2025, dan sampai di Bali pada hari yang sama. Namun dengan adanya libur panjang Hari Raya Imlek, penerbangan jadi berubah rute.
Kata Mbak Ilfani—orang yang mengatur administrasi peserta TOT dari tim Commonroom—tidak ada penerbangan yang direct ke Bali dari Jakarta. Akhirnya saya pun mendapat rute pemerbangan dari Bandara Soekarno Hatta transit di Semarang, kemudian transit di Palu dengan estimasi waktu 17.5 jam. Lalu, besoknya, 26 Januari 2025, dari Palu kembali transit di Semarang, baru kemudian menuju Denpasar Bali.
Hmmmmm… ya mungkin ini yang namanya jalan hidup. Ya, dijalani saja.
Beruntungnya, saat acara TOT ada perwakilan dari SIK Palu yang sempat saya ajak ngobrol sembari menikmati arak Bali. Arak Bali yang saya bawa sebagai produk lokal daerah, selain juga ada gula juruh (gula lontar) dari produk teman saya, Rumah Oesaha Cerik.
Saya (penulis) dalam kegiatan TOT | Foto: Dok. Sudantara
Oya, nama abang dari Palu itu adalah Herri. Ia merupakan seorang mantan jurnalis TV One, tapi sekarang bekerja menjadi jurnalis di media Liputan 6. Akhirnya saya janjian untuk bisa mampir ke rumahnya sembari menghabiskan waktu transit yang hampir satu hari lamanya.
Saya menuju Palu tanggal 25 Januari dengan total perjalanan yang ditempuh darat maupun udara sekitar 15 jam dari hotel tempat menginap di Bandung. Berangkat pukul 04.00 WIB, dan sampai 17.00 WITA. Ini perjalanan yang melelahkan.
Sesampai di Palu saya langsung dijemput Bang Herri di Bandara Sultan Hassanudin Palu karena kebetulan jadwal pulang dia sehari lebih awal. Jadi, sehari sebelumnya ia sudah berada di Palu.
Menjajaki Kota Palu Selama Transit
Menginjakkan kaki di Bandar udara Mutiara Sis AL- Jufri, Palu, Sulawesi Tengah, setelah Bandung-Jakarta saya rasakan ada vibe yang berbeda, dimana Bandung cuaca agak dingin dan di Palu hampir sama seperti Bali. Panas. Bahkan suhu bisa sampai 35-40 derajat Celsius. Namun kali ini karena musim hujan, ya jadi suhunya agak lebih rendah jika dibanding saat musim panas.
“Bli, kalau sudah landing, WA aku ya,” kata Bang Herri.
” Siap,” jawabku.
Mobil Sigra abu-abu pun datang menjemputku. Dan petualangan memanfaatkan 17 jam transit pun dimulai. Bang Herri mengajak saya ke warung kopi andalannya yang biasa menjadi tempat nongkrong dengan temannya, yakni WarKop Sudimari K3. Memang beda rasanya ngopi di warung kopi jika dibanding dengan di coffee shop.
Transit di Palu | Foto: Dok. Sudantara
Sesampai di sana, sudah ada beberapa teman Bang Herri yang sedang menikmati kopi. Jadi teman- teman Bang Herri itu jurnalis semua termasuk Bang Herri. Dia adalah seorang jurnalis yang sekarang bekerja di Liputan6.com. Selain itu dia juga mengelola media lokal bersama beberapa temannya yang diberi nama rindang.id yang lebih banyak membahas tentang isu lingkungan.
Sebelumnya dia juga pernah menjadi jurnalis di TV One dengan segudang cerita pengalamanya di Papua selama 7 tahun bersama OPM, selain juga pengalaman liputan konflik Poso-Ambon. Wah, ceritanya tiada habis.
Karena sudah mulai lapar, saya pun diajak makan malam di warung nasi kuning kesukaannya yang tidak jauh dari warkop tadi. Nasi kuning juga menjadi makanan khas di sana, walaupun di mana-mana kini memang sudah ada nasi kuning.
Alun-alun Kota Palu | Foto: Dok. Sudantara
Ada beberapa menu pelengkap dan lauk yang bisa dipilih mulai dari mie goreng, telor, ikan, ayam, dan rendang sapi. Tidak salah lagi warung Nasi Kuning Tenda Biru ini mejadi langganannya, selain nasinya dan ayamnya yang enak, rendang sapi adalah yang terenak menurut saya; rasanya lembut gurih pas pokoknya. Pengennya nambah lauk, tapi, ya agak malu, jadi cukup sepiring saja.
Berkunjung ke Nemu Buku
Kita pun lanjut ke rumah Bang Herri untuk mandi dan siap- siap keluar lagi untuk bertemu salah satu temannya yang seorang penggiat literasi ternama di Kota Palu, yaitu Bang Nenen yang memiliki perpustakaan dengan nama Nemu Buku.
Saya diajak ke tempat itu, barangkali karena sebelumnya saya sempat bercerita tentang Rumah Belajar Gebang, sebuah rumah baca yang saya dirikan di Bali.
Di Nemu Buku | Foto: Dok. Sudantara
Kurang lebih 5 menit perjalanan sampai kami di Nemu Buku dan langsung disambut Bang Adi yang ikut menjadi pengelola di tempat itu. Karena sudah di-WA sebelumnya bahwa Bang Nenen sedang sibuk dan ada kerjaan, jadi saya dan Bang Herri hanya melihat lihat sembari berswa foto mengabadikan momen.
Bang Adi yang keturunan Jawa-Papua hanya menemani kami sebentar sebab ia sedang ada rapat bersama teman-teman Komunitas Lentera yang ternyata sudah pernah main ke Bali, yaitu di Taman Baca Kesiman. Wah memang dunia ini datar.
Menikmati Suasana Kota Palu
Kebetulan malam itu adalah malam minggu. Jadi, kami pergi ke alun-alun Kota Palu untuk sekedar menikmati malam dengan suasana yang syahdu ditemani segelas es kopi gula aren kesukaanya Bang Herri. Katanya orang-orang berada di alun-alun itu bisa sampai jam 3 atau 4 pagi.
Wah, keren ini mirip seperti di Malioboro, Yogyakarta. Pastinya beberapa momen sempat kami abadikan dengan camera HP Samsung butut ini.
Disuguhkan Pengalaman Rasa
Selain di Minahasa, Sulawesi Utara, di Kota Palu Sulawesi Tengah juga ada minuman terkenal, minuman Cap Tikus yang dibuat dengan destilasi nira dari pohon aren atau enau. Malam itu beberapa teman Bang Herri mengajak saya untuk bersua sambil menikmati Cap Tikus ala Palu. Rasanya hampir sama dengan arak Bali, juga memiliki beberapa kualitas yang berbeda dari rasa yang paling keras (kelas satu) sampai rasa yang paling rendah (kelas tiga).
Di warung kopi | Foto: Dok. Sudantara
Tak terasa jam menunjukkan pukul 02.00 wita kami pun bubar dan satu botol Cap Tikus yang tersisa katanya untuk oleh-oleh saya dibawa ke Bali.
Pagi-pagi sekali, sebelum berangkat ke bandara saya diajak Bang Herri untuk menikmati jajan ala Kota Palu yaitu kue putu. Bayangan saya kue putu itu seperti kue yang ada di Bali yaitu kue yang dibuat dari tepung yang diisi isian kelapa dan gula aren. Setelah menyusuri keramaian Pantai Nelayan dimana berjejer warung- warung yang dikerumuni pengunjung untuk menikmati panganan di sana kami pun bergenfield di warung paling jungle tempat biasa Bang Herri nongkrong.
Sambil memesan kopi pedagang pun menyuguhkan kue putu dengan parutan kelapa juga ditemani sambal ikan teri.
Saya merasa exited untuk segera menyantapnya. Memang agak aneh makan kue ditemani sambal, apalagi sambalnya super pedas. Wah, ini luar biasa. Kata Bang Herri, sambal disana memang pedas tak seperti sambal yang kita makan waktu kita di Bandung.
Kue putu | Foto: Dok. Sudantara
Cukup dengan membeli kue seharga 20 ribu rupiah kami sudah mendapat 10 kue putu.
Jam sudah menunjukkan untuk saatnya kembali ke bandara, kami pun menuju bandara dengan melewati pantai sambil melihat puing-puing bangunan sisa terjangan tsunami yang pernah melanda Kota Palu pada tahun 2018. Sekarang pemerintah setempat melarang warga untuk membangun di sempadan pantai dari jarak 200 meter. Hal itu pun dimanfaatkan beberapa petani garam untuk memperluas tanah garapan mereka untuk budi daya garam.
Puing-puing bekas tsunami | Foto: Dok. Sudantara
Penjual garam | Foto: Dok. Sudantara
Di akhir cerita garam yang saya niatkan beli garam untuk menjadi oleh-oleh dari Kota Palu pun ditahan oleh petugas bandara. Dengan alasan bahwa garam bisa membuat pesawat corosi, maka saya tidak diijinkan untuk membawa garam ke dalam pesawat. [T]
Penulis: Kadek Sudantara
Editor: Adnyana Ole