USULAN proyek pembangunan gedung baru fakultas disetujui rektorat. Gedung lama bekas perpustakaan sudah tampak kumuh dan rusak di beberapa bagian. Rencananya akan dibangun gedung berlantai lima untuk ruang kuliah, laboratorium, dan ruang pejabat fakultas.
Sebenarnya banyak gedung yang sudah tidak layak pakai lagi. Maklum, fakultas yang berdiri sejak tahun 1984 itu kondisi bangunannya sudah rapuh. Beberapa ruang kuliah bocor jika turun hujan lebat. Namun karena keterbatasan anggaran, proses pembangunan gedung baru dilakukan secara bertahap.
Keluhan bernada protes sering dilontarkan mahasiswa lewat media sosial dan pers kampus. Banyak yang menyebut kampus mereka layaknya SD Inpres di zaman Orde Baru. Bahkan ada yang berkomentar pedas, kursi di ruang kuliah seperti kursi di zaman Majapahit. Tentu saja ini membuat risih dekanat, sehingga mengajukan usulan pembangunan gedung baru.
Begitu usulan proyek disetujui, proses tender pun diadakan. Tender atau lelang proyek dilakukan secara transparan. Apalagi Dekan sudah mencanangkan gerakan zona integritas di fakultasnya. Semua proses pembangunan maupun pengadaan barang harus melalui mekanisme yang terbuka tanpa ada unsur gratifikasi.
Setelah melalui proses panjang, tender proyek dimenangkan oleh PT Makmur Jaya Sentosa milik seorang pengusaha sukses. Sudah berulang kali pengusaha itu memenangi tender proyek, baik di tingkat universitas maupun fakultas. Reputasinya tidak diragukan, dengan kualitas hasil pembangunan yang memuaskan.
Beberapa proyek tersebut kemudian disubkontrakkan dengan mitra kerja. Ada yang kebagian pembangunan gedungnya, ada yang dapat proyek pengadaan barang, instalasi listrik, dan ada pula yang menggarap penataan ruang dan taman kampus.
Ruangan dan taman di fakultas memang harus diremajakan. Banyak tanaman yang sudah layu kering karena kurang perawatan. Begitu pun pohon-pohon di sekeliling kampus sudah tampak rimbun. PT Asri Mekar milik pengusaha lokal Handoyo Warsito mendapat bagian menggarap taman. Rencananya, ada beberapa pohon besar yang harus ditebang karena membahayakan jika hujan dan angin kencang.
***
Proses penebangan pohon dimulai. Berbagai peralatan digunakan untuk menebang pohon besar di kampus, mulai dari kapak dan gergaji mesin. Handoyo Warsito sebagai pemborong proyek taman mendatangkan pekerja dari warga di sekitar kampus. Selain lebih efsisen dari segi biaya, karena tak perlu ongkos transportasi, dia juga ingin memberdayakan warga setempat.
Satu per satu pohon besar ditebang. Jika dihitung, lebih dari sepuluh pohon besar yang tumbuh di kampus. Sejak fakultas berdiri, pohon-pohon itu masih utuh tumbuh. Hanya ranting-rantingnya saja yang dipangkas. Tak heran jika banyak pohon yang tumbuh membesar. Selain itu, pohon besar yang ada di kampus banyak menyimpan cerita menyeramkan.
Tibalah saatnya hendak ditebang pohon trembesi yang ada di sudut barat fakultas. Usia pohon itu diperkirakan sudah 30 tahun lebih. Tinggi pohon sekitar 20 meter dengan diameter lingkar pohon 5 meter. Marsudi adalah pekerja yang mendapat tugas menebang pohon trembesi itu. Ia dibantu tiga orang temannya untuk menebang.
Sejak awal Marsudi sudah memiliki perasaan tidak enak ketika mendapat tugas menebang pohon trembesi besar itu. Sepintas saja pohon itu tampak angker dan menyeramkan. Hawa dingin dirasakan Marsudi saat berada di sekitar pohon itu.
Keanehan pun terjadi. Saat Marsudi hendak memangkas ranting pohon sebelum menebangnya dari bawah, mendadak gergaji mesinnya mati tak berfungsi. Ia periksa gergaji mesin itu, tidak ada yang rusak. Namun saat hendak digunakan mendadak tak berfungsi. Marsudi memutuskan turun dari pohon untuk mengambil gergaji manual. Betapa terkejut dia. Gergaji manual yang dipakai memangkas ranting itu pun patah.
Marsudi berkesimpulan pohon itu “tidak mau” ditebang. Ia turun dari pohon dan istirahat sejenak. Hari sudah mendekati sore. Setelah itu ia kembali naik untuk memangkas ranting dengan gergaji manual yang baru. Lagi-lagi gergaji itu patah. Marsudi memutuskan untuk berhenti. Ia segera menghubungi Handoyo Warsito. Ia disarankan untuk berhenti saja dulu, dan bekerja lagi besok.
Sesampai di rumah hari sudah menjelang magrib. Marsudi menikmati teh manis buatan istrinya. Belum lagi teh itu diteguk, Marsudi dikejutkan dengan munculnya sosok mahkluk tinggi besar di hadapannya. Wajah makhluk itu menyeramkan. Matanya lebar. Telanjang dada, kaki dan tangannya begitu besar. Genderuwo, pikir Marsudi. Belum sempat Marsudi beranjak, makhluk itu menggertaknya.
“Jangan robohkan rumahku! Nanti kamu celaka!”, ancam genderuwo itu lalu menghilang dari pandangan Marsudi.
Esoknya Marsudi tidak berangkat kerja. Ia tidak mau lagi meneruskan untuk menebang pohon trembesi yang dihuni genderuwo, hantu laki-laki besar yang menyeramkan. Ia melaporkan hal itu kepada Handoyo Warsito selaku pemborong proyek taman seraya mengabarkan untuk berhenti bekerja. Ia tak mau ambil risiko, celaka oleh kemarahan genderuwo itu.
Handoyo Warsito memahami alasan Marsudi. Segera ia mencari pekerja baru. Tugas menebang pohon trembesi diserahkan kepada Sikin, lelaki yang tinggal dekat kampus pula. Ia juga dibantu tiga orang tetangganya. Sikin belum tahu jika pohon trembesi itu dihuni oleh genderuwo.
Sikin hendak memulai pekerjannya sama seperti yang sebelumnya dilakukan Marsudi. Perlahan ia naik ke pohon trembesi sambil membawa gergaji mesin. Persis seperti yang dialami Marsudi, gergaji mesin yang digunakan mendadak mati. Saat ia menggantinya dengan gergaji manual, gergaji itu pun patah. Sikin turun dari pohon sambil tak habis pikir. Ada apa dengan pohon trembesi ini, tanyanya dalam hati.
Ketika Sikin hendak melanjutkan upaya menebang pohon itu, telepon genggamnya berdering. Istrinya menelpon dari rumah. Mengabarkan anaknya tiba-tiba sakit demam, tubuhnya panas dan menggigil. Sikin memutuskan untuk cepat-cepat pulang. Ia khawatir anaknya terserang penyakit yang berbahaya.
Sampai di rumah, Sikin melihat anaknya yang berusia tujuh tahun terbaring di tempat tidur. Badannya panas. Anehnya, mata anaknya melotot sambil berkata-kata yang tak jelas. Sikin mencoba memegang kening dan tangan anaknya.
“Kenapa, Nak..? Tubuhmu sangat panas,” tanya Sikin cemas.
Anaknya meronta. Tangannya mengepal kaku. Mulutnya mengomel. Sikin dan istrinya bingung dan kaget melihat sikap anaknya.
“Jangan robohkan rumahku!” Tiba-tiba anaknya membentak kedua orang tuanya.
“Rumah yang mana, Nak?” Sikin bertanya merasa tak paham omongan anaknya.
“Pohon trembesi. Jangan hancurkan rumahku. Nanti kamu celaka!” kata anaknya dengan mata melotot.
Sikin terkejut. Anaknya bukan sakit biasa. Anaknya kerasukan makhluk penunggu pohon besar di kampus yang akan ditebang.
“Iya, Nak, maafkan Bapak. Bapak tidak jadi menebang pohon itu,” kata Sikin buru-buru memutuskan membatalkan untuk menebang pohon di kampus.
Anak Sikin menggeram. Mulutnya menganga. Kakinya menendang udara, tangannya meronta. Berbarengan dengan itu tampak sosok laki-laki berperawakan seperti genderuwo keluar dari tubuhnya. Sikin dan istrinya kaget bukan kepalang. Mereka berdua gemetaran dan ketakutan. Hanya sekejap, makhluk genderuwo itu menghilang. Anak Sikin pun terkulai lemas. Ia bingung apa yang telah terjadi pada dirinya.
Setelah anaknya kerasukan genderuwo penunggu pohon besar di kampus, Sikin mengambil keputusan untuk berhenti bekerja menebang pohon trembesi. Ia tak mau anak maupun keluarganya ada yang celaka gara-gara amarah makhluk genderuwo itu.
***
Kejadian-kejadian aneh yang berhubungan dengan penebangan pohon trembesi di kampus terus terjadi. Berulangkali Handoyo Warsito sebagai pemborong mengganti pekerja, selalu saja ada kejadian yang menimpa pekerjanya saat hendak menebang pohon.
Terakhir, kejadian menimpa Turiman. Pekerja baru yang ditugaskan menebang pohon trembesi mengalami musibah. Setelah berulang kali gagal menebang ranting pohon, Turiman hendak pulang ke rumah dulu. Matahari sudah di atas kepala, saatnya ia makan siang.
Hanya kurang dari seratus meter dari rumahnya, Turiman mengalami musibah. Sepeda motornya jatuh di tengah jalan. Saat itu Turiman melihat sosok lelaki tinggi besar, berambut panjang, telanjang dada, dan matanya besar berada di tengah jalan. Turiman belum sempat mengerem atau membelokkan motornya. Ia tabrak sosok lelaki seperti genderuwo itu. Namun yang ia rasakan seperti menabrak pohon besar, motornya terjatuh, dan Turiman mengalami cedera patah tulang di kakinya.
Kasus kecelakaan yang menimpa Turiman terdengar sampai ke telinga Mita Setiani, Wakil Dekan bidang keuangan dan administrasi yang bertanggung jawab atas proyek pembangunan gedung. Dari kasus Turiman akhirnya Mita Setiani menjadi tahu cerita tentang pekerja-pekerja sebelumnya yang gagal menebang pohon trembesi di kampus. Ia akhirnya juga tahu jika pohon besar itu dihuni oleh genderuwo.
Mita Setiani tidak ingin jatuh korban pada pekerja yang menggarap taman kampus. Ia segera bertemu dengan pemborong proyek, Handoyo Warsito. Mita Setiani berharap pohon itu bisa ditebang tanpa korban jiwa. Apalagi setelah ia tahu ada makhluk genderuwo yang menghuni pohon trembesi itu. Handoyo Warsito berencana mengundang Nono Sutarno, seorang paranormal dari kota Cilacap.
Hari Kamis Wage, Nono Sutarno datang ke kampus. Tidak sendirian, ia ditemani oleh dua orang asistennya. Banyak barang bawaan Nono Sutarno. Ada kelapa muda, rokok kelobot, kemenyan, jajan pasar, kain hitam, dan kembang tujuh rupa. Menurut Nono Sutarno, kelapa muda yang hijau adalah minuman kesukaan genderuwo. Sedangkan rokok kesukaan makhluk genderuwo bukan kretek atau filter, tetapi rokok kelobot.
Setelah duhur Nono Sutarno mulai melakukan ritual, dibantu oleh dua asistennya. Beberapa sesaji yang dibawa ditaruhnya di bawah pohon trembesi. Kain hitam yang ia bawa dililitkan pada batang pohon. Sedangkan air kelapa muda separuhnya disiramkan ke batang pohon. Nono Sutarno membaca mantra dalam bahasa Banyumasan.
Saat Nono Sutarno sedang serius membaca mantra, angin besar mendadak datang dari arah selatan. Anehnya, angin besar itu hanya berputar-putar di atas pohon trembesi. Sedangkan batang pohon bergerak kencang, seperti ada kekuatan yang mengguncangkannya.
Mulut Nono Sutarno komat-kamit. Ia sedang berkomunikasi dengan makhluk genderuwo penunggu pohon trembesi. Kadang ia mengangguk, kadang pula menggelengkan kepala. Nono Sutarno sedang membujuk genderuwo untuk berpindah tempat. Prosesnya tidak mudah, karena genderuwo itu menolak beberapa tempat yang ditawarkan Nono Sutarno.
“Pancuran Pitu? Inggih!” kata Nono Sutarno akhirnya.
Rupanya hantu tinggi besar itu minta untuk dicarikan rumah barunya di Pancuran Tujuh, sebuah tempat yang dikenal angker di dekat lokawisata Baturraden, Purwokerto. Pancuran Pitu atau Pancuran Tujuh sering dijadikan tempat untuk semedi maupun meditasi.
Berbarengan dengan kesepakatan antara Nono Sutarno dan genderuwo, angin kencang di sekitar pohon berhenti. Beberapa daun pohon trembesi berjatuhan, seolah habis mendapat guncangan hebat.
“Saya akan memindahkan genderuwo itu ke Pancuran Tujuh. Semoga dia betah di sana, dan pohon trembesi ini bisa segera ditebang,” kata Nono Sutarno kepada Mita Setiani dan Handoyo Warsito yang menyaksikan proses ritual tersebut.
Nono Sutarno bersama dua asistennya segera beranjak ke Pancuran Tujuh di Baturraden. Kain hitam yang tadi ia lilitkan di pohon trembesi itu dibawanya juga. Kain hitam merupakan simbol ruang maupun dunia genderuwo. Sesampai di Pancuran Tujuh, kain hitam itu ia gelar di bawah salah satu pohon besar di sekitar bukit Baturraden. Di pohon besar itulah genderuwo akan menempati rumahnya yang baru.
Genderuwo di kampus kini telah punya rumah baru di Pancuran Tujuh. Tak berselang lama, pohon trembesi di kampus berhasil ditebang. Bekas rumah genderuwo itu akan dibuat taman fakultas. Semua berharap genderuwo itu tidak rindu pada rumahnya yang dulu. [T]
- Ini adalah cerita fiksi misteri bersambung. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa hanyalah kebetulan dan rekaan penulis semata
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole