ODE terduduk di tanah, tertelungkup menggigil memeluk lutut di bawah sebatang pohon kelor tua di belakang sekolah sambil menangis sesenggukan. Wajahnya bersimbah air mata. Dia tak peduli baju dan rok sekolahnya kusut dan penuh debu. Amarah, sedih, dan benci meletup-letup di dadanya. Sakit hati ini benar-benar tak dapat ditanggungnya lagi.
Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah Detu. Murid laki-laki sontoloyo itu dengan jahat memaki Ode karena tak diberi contekan saat ulangan Bahasa Indonesia tadi.
“Dasar punggung bengkok pelit!” umpat Detu saat itu tanpa perasaan. Umpatan yang membuat kepala Ode serasa mendidih. Tak seorang pernah mengatainya seperti itu. Badannya gemetar. Ingin sekali ditaboknya mulut tengik laki-laki teman sekelasnya itu. Namun itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah Ode berlari menghamburkan diri ke belakang sekolah yang sepi dan menanggung hinaan itu seorang diri. Dia menumpahkan kesedihan dengan menangis terisak-isak. Air matanya berderai-derai.
Ode yang malang. Gadis berkaca mata ini menderita suatu penyakit tulang belakang. Hippokrates, seorang dokter Yunani kuno, menyebutnya dengan istilah skoliosis. Orang tua Ode menyadari hal itu ketika Ode kelas 6. Terapi pun ditempuh untuk menormalkan kembali bentuk tulang punggung atau setidaknya membuatnya tidak bertambah melengkung.
Ode begitu disayang oleh kedua orangtuanya. Ia adalah anak bungsu dan kata para famili, Ode melik. Semangat dari orang tua yang selalu membesarkan hati membuat Ode tidak pernah minder dengan ketidaknormalan fisiknya itu. Ode menjalani keseharian layaknya anak-anak lain. Tapi kini, ucapan sarkasme seorang anak tak tahu adat telah meruntuhkan kepercayaan dirinya.
“Kali ini kau pasti akan kulaporkan ke guru BK supaya tahu rasa!” desis Ode lirih, seolah-olah sedang berjanji pada dirinya sendiri, sambil terisak-isak.
Selama ini Ode memang sering dirundung oleh Detu. Namun sesering itu pula dia berusaha sabar dan tidak mengadukan segala apa yang diperbuat Detu terhadapnya. Itu karena dia tidak ingin Detu mendapat masalah di sekolah. Baru 2 bulan menginjakkan kaki di sekolah sebagai siswa kelas 7 dan langsung menjadi sorotan para guru karena membuat onar bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Selain itu dia masih menghitung Detu sebagai saudara. Nenek Ode dan nenek Detu adalah kakak beradik. Mereka juga dari banjar yang sama.
Selama ini Detu sering mengambil alat tulisnya tanpa izin, minta-minta uang dengan paksa, menarik rambutnya, bahkan pernah menyembunyikan topi sekolahnya saat akan mulai upacara bendera sehingga Ode panik kelabakan dan nyaris kena damprat Pak Murdana, wakasek yang terkenal disiplin dan galak sejak zaman PPKn masih bernama PMP. Ode masih bisa mengelus dada dengan perlakuan itu. Betapa dia berusaha menelannya dengan sabar. Namun kali ini sudah tak bisa dibiarkan. Ini sudah kelewatan, keterlaluan. Detu telah melakukan body shaming yang tidak sesuai dengan profil pelajar Pancasila yang beberapa tahun belakangan digaungkan pemerintah dan dia harus diberi ganjaran untuk itu.
Sementara itu, bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Suaranya berkumandang di seantero sekolah lewat pengeras suara yang terpasang di setiap ruangan. Pukul 11.55, tengai tepet, jam pelajaran kelima. Halaman dan lapangan sekolah, serta koridor-koridor kelas tampak lengang. Kantin juga sepi. Tentu saja sebab belum waktunya murid berbelanja. Ibu-ibu pedagangnya tampak bersantai ria menikmati sejuknya udara yang ditiupkan kipas mini elektrik. Murid-murid masih tekun mengikuti pembelajaran di kelas masing-masing. Hanya satu-dua murid tampak tergesa-gesa ke kamar kecil.
Ode masih enggan ke kelas. Kepalanya belum tegak. Dia tengah berusaha menyatukan hatinya yang tercerai-berai. Rambut panjang kepang duanya yang diikat pita biru tampak berantakan dan bertabur daun kelor yang berjatuhan ditiup angin panas tengah hari itu. Lalu hening. Sunyi. Tupai dan burung cerukcuk atau pycnonotus goiavier yang biasanya ramai berceloteh berebut biji-bijian pun tak menampakkan diri. Hanya matahari yang tetap konsisten dalam garis edarnya meniti langit dengan pijar membara tepat di atas ubun-ubun.
“Gek, sedang apa di sini?” sebuah suara lembut menyentak Ode dari isaknya yang belum reda benar.
Ode menengadahkan kepala menghadap ke sumber suara. Daun-daun kelor berjatuhan dari kepalanya. Matanya masih merah dan sembab di balik kacamata. Terlihat di depannya sudah berdiri seorang wanita setengah baya dengan tatapan mata yang begitu meneduhkan. Wanita itu tersenyum. “Mengapa di sini? Nah, ayo, ikut ke rumah Mbok.”
Lama Ode menatap si wanita. Cantik sekali, pikirnya. Wanita itu tampak seumuran dengan ibunya tapi mengapa menyebut dirinya Mbok? Siapa wanita ini? Mengapa dia ada di sini?
Wanita itu seolah bisa membaca pikiran Ode. Dengan ramah dia mengenalkan diri.
“Nama Mbok Jero Sekarini. Rumah Mbok di utara sana. Mau ke rumah Mbok?” Wanita itu memberi tanda dengan telunjuknya. Lalu bak terhipnotis, tanpa sedikitpun keraguan, Ode berdiri dan menganggukkan kepala mengiyakan. Dia menyeka wajah putihnya dengan lengan baju lalu pelan-pelan kakinya melangkah ke utara, mengikuti arah yang ditunjukkan si wanita. Wanita itu mengikutinya dari belakang.
Ode berjalan dan berjalan terus ke utara. Lalu dia menyadari suasana begitu asing. Saat orientasi beberapa bulan lalu, dia tidak pernah ditunjukkan tempat ini oleh kakak OSIS. Ternyata ada tempat seperti ini di sekolah, pikirnya. Begitu asri, banyak tanaman bunga, begitu hijau. Ode menoleh ke belakang. “Terus saja ke utara,” ucap Jero Sekarini.
Tak lama, akhirnya Ode sampai di rumah Jero Sekarini. Ode melihat ada tiga bangunan kuno stil bali berbahan bata merah. Ada pelinggih yang tidak dapat dikatakan baru, juga berbahan bata merah. Jero menyilakan Ode duduk di bale daja beralaskan tikar pandan. Lalu dia sendiri ke bangunan lainnya dan datang-datang sudah membawa nampan berisi nasi, lauk, dan segelas air putih.
Lagi-lagi tanpa keraguan, Ode langsung menyantap suguhan sang tuan rumah. Entah mungkin karena lapar setelah menangis lama, makanan itu terasa enak di lidah Ode. Nasinya begitu pulen. Jarang-jarang dia makan nasi seenak itu. Ketika diperhatikan, biji nasinya tampak lebih besar ketimbang nasi yang biasa dia makan.
“Nasi apa gerangan?” Pertanyaan itu hanya terucap dalam hati.
Lauknya juga enak. Ode tidak tahu itu lauk apa. Lauk itu seperti potongan daging dengan bumbu warna coklat. Rasanya lezat, manis, dan gurih sampai-sampai Ode harus menjilati sisa-sisa bumbu yang melumuri jemarinya. Tak berhenti sampai di situ, air putihnya pun terasa begitu segar. Segala dendam, sakit hati, dan amarahnya pada Detu tiba-tiba lenyap sirna seiring air putih itu membasuh kerongkongannya. Ode mengangkat gelas untuk memperhatikan air apa gerangan yang dirinya teguk sehingga rasanya begitu menyegarkan. Ah, Ode merasa hatinya telah utuh kembali seperti sedia kala.
Jero Sekarini tersenyum lembut. Dia senang sang tamu puas dengan suguhan yang diberikan. Setelah Ode selesai makan, dia membereskan piring, gelas, dan nampan, lalu berkata, “Mbok mau ke pasar, kamu di sini saja istirahat. Sebelum pergi, Mbok mau berpesan. Kamu jangan melihat saat Mbok berjalan pergi. Kamu juga jangan keluar dari pagar rumah ini.” Pesan yang sungguh ganjil.
Tapi belum sempat Ode mengeluarkan sepatah kata, Jero Sekarini sudah bangkit dan menunggu Ode memalingkan wajah. Dia tidak ingin dilihat ketika pergi. Aneh! Ode pun menoleh ke arah lain sesuai pesan Jero dan terkesiap sebab di arah dia menoleh tiba-tiba muncul dua bocah perempuan dekil berlarian sambil tertawa cekikikan menggunakan kamen berwarna putih lusuh sampai dada.
Kedua bocah itu berambut merah, berkulit gelap, dan sepertinya sedang main kejar-kejaran. Kedua bocah itu sempat berhenti sebentar, melirik Ode dengan guratan bibir dan tatapan mata ganjil, lalu berlari lagi sambil cekikikan hingga menghilang di balik semak-semak yang menjadi pagar rumah.
Siapa kedua bocah itu? Apakah anak-anak Jero Sekarini? Kenapa seperti suku primitif? Ketika Ode berpaling ke arah Jero, dia sudah tidak tampak. Cepat benar dia menghilang. Mengapa dia tidak mau dilihat ketika pergi? Siapa sebenarnya Jero Sekarini? Apakah dia salah satu penjual di kantin? Misterius! Ode hanya bertanya-tanya dalam hati.
Di mata Ode, Jero adalah wanita yang berparas cantik. Rambutnya lurus panjang terjuntai hingga ke lutut. Gaunnya juga panjang menutupi mata kaki berwarna putih bersih, tidak kumal seperti dua bocah tadi. Tubuhnya wangi serupa bau bunga kenanga. Suaranya lembut dan merdu. Satu hal yang tak lazim pada Jero adalah tidak adanya cekungan di bawah hidung. Namun begitu, wajah putihnya tetap memesona.
Kemudian pandangannya menyapu sekeliling rumah Jero. Rumah itu bernuansa rumah-rumah kuno pedesaan namun bersih dan terawat. Halamannya tanah. Banyak pohon dan tanaman bunga sehingga sejuk dan asri. Tidak ada suara bising kendaraan. Begitu damai. Ode betah dan terlena di rumah itu. Dan Ode baru ngeh, dunia dirasanya agak remang bak tidak ada sinar matahari! Cepat sekali sore, bukankah baru saja bel jam pelajaran kelima? Ode heran sendiri. Dan remang itu tidak berubah gelap, terus saja begitu, seakan-akan waktu berhenti berputar.
Beberapa saat kemudian, Jero sudah kembali dari pasar membawa bungkusan yang langsung dibawa ke bale delod. Entah apa isinya. Sejurus kemudian dia kembali menyuguhkan makanan yang sama untuk Ode. Ode pun kembali makan dengan lahap bak belum kena nasi tiga hari. Itu adalah makanan terlezat yang pernah dia makan seumur hidupnya, selezat masakan Sanji, juru masak bajak laut Topi Jerami.
“Anak yang selalu jahat kepada kamu harus diberi pelajaran. Tenang saja. Mbok akan mengurusnya,” ucap Jero.
Bagaimana wanita itu tahu ada anak yang menjahatiku? Pikir Ode. Kian lama kian banyak pertanyaan muncul di kepala Ode. Namun tak satupun pertanyaan itu terucap keluar dari mulutnya.
Di saat bersamaan, Ode mendengar suara keramaian dan gaduh di seberang sana. Ode mendongakkan kepala. Yang terlihat adalah orang-orang yang dikenalnya. Ada bapak, ibu, paman, kakek, beberapa guru, seorang pria berpakaian mangku, juga beberapa teman sekelasnya. Detu juga terlihat di sana. Semua berwajah sedih dan murung. Tak ada senyum barang secuil bak tengah dirundung bencana. Mengapa mereka ke sini?
Mereka memanggil-manggil Ode sambil menyelisik semak-semak dan memukul segala benda dengan nada tidak keruan. Ada yang memukul gong, memukul panci, memukul kulkul tiying, dan sok bodag. Begitu ribut, berisik, dan memekakkan telinga. Ode tidak paham dengan yang mereka perbuat. Ode melihat dan mendengar panggilan itu namun tidak ada niat menyahut.
“Ode, ayo pulang!” teriak sang bapak dengan wajah muram, putus asa.
“Ode, kami semua datang menjemputmu, kamu boleh pulang!” teriak teman-teman sekelasnya.
“Ode, cepat pulang ya, Nak. Kasihan ibumu tiga hari ini menangis terus di rumah menunggu kamu pulang. Pulang ya, Nak. Besok kita belajar lagi,” suara sang ibu wali kelas memelas mengelu-elukan anak perwaliannya.
Lalu Ode melihat ibunya, sambil bercucuran air mata, menghaturkan pejati dan segehan di bawah pohon kelor dibantu Jro Mangku. Orang-orang berbisik konon pohon kelor tersebut tenget.
“Pulang, Nak, cepat pulang. Jangan bikin ibu sedih seperti ini, Nak. Ode cepat pulang,” sang ibu memanggil dengan suara terbata-bata, tangisnya sungguh pilu. Beberapa orang memegangi karena takut dia pingsan lagi.
Jro Mangku mulai bergumam. Oh, siapa pun yang berstana di sini, sang keluarga menghaturkan banten pejati dan segehan. Mohon terimalah persembahan ini. Keluarga meminta maaf jika ada kesalahan yang dilakukan oleh putri mereka. Mereka hanya tidak tahu. Maafkanlah mereka. Jangan ganggu mereka. Kalau putri mereka ada padamu, maka lepaskanlah. Kembalikan putri mereka dalam keadaan sehat seperti sediakala.
Melihat semua itu, entah kenapa Ode masih tidak ada niat untuk pergi. Seolah-olah pikirannya tersandera. Sampai akhirnya tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok laki-laki tinggi-gempal, berewokan, berkulit gelap, berambut merah, dan bermata satu! Tangan kirinya membawa nyiru, tangan kanannya membawa blakas atau golok!
Laki-laki itu menatap tajam dan menyeringai ke arah Ode, menunjukkan gigi-geriginya yang hitam kotor. Makhluk menyeramkan itu lalu berjongkok mengasah blakas itu pada sebongkah batu besar. Saat itulah Ode merasa ngeri dan merinding. Dia berpikir sesuatu yang buruk sedang menuju ke arahnya. Serta merta dia meloncat kemudian berlari terbirit-birit bermaksud ke luar pagar rumah Jero.
Namun tidak ada jalan keluar! Jalan keluarnya hilang! Ode berbelok dan lari sekencang-kencangnya. Dia tidak tahu ke arah mana, pokoknya lari. Jantungnya berdegup kencang. Saking takutnya badan kurusnya sampai menubruk pokok sawo. Dan semuanya menjadi gelap.
“Ode di sini! Oii, Ode di sini! Ode ketemu!!” Seseorang berteriak girang sambil menunjuk ke arah semak belukar yang dipenuhi liligundi. Orang-orang mendapati Ode meringkuk lemah di sana setelah tiga hari raib. Sang ibu tak henti-henti mengucap mimih dewa ratu.
Saat semua merubung Ode, terdengar lagi teriakan dari arah lain. “Detu! Detu! Detu kamu di mana?”
Semua kaget dan kebingungan. Ode ketemu, kini Detu yang hilang! Beberapa orang masih mengurus Ode, beberapa mencari-cari Detu yang tiba-tiba lenyap tanpa bekas. Apakah dia diajak masuk ke dunia magis Jero Sekarini? Misterius! [T]
- BACAcerpen laindi tatkala.co