Judul : Angkatan Baru
Jenis : Novel-fiksi
Penulis : Hamka
Terbit : Cetakan ke-6, Desember 2021
Penerbit : Gema Insani, Jakarta
Tebal buku : 90 halaman; 18.3 cm
***
“Syamsiar dihormati lebih dari yang dahulu oleh ibu dan keluarganya sebab ia telah alim, keluaran sekolah agama, berdiploma”.
Kutipan dalam novel karya Buya Hamka ini sekiranya menggambarkan keagungan seorang yang berpendidikan dari kaum adat di Minangkabau khususnya. Syamsiar, sebagai perempuan amat beruntung dapat berpendidikan dan semakin terhormatlah ia di mata keluarga dan masyarakat. Ia dipandang sebagai orang alim. Pendidikan pada masa itu telah menjadi tolak ukur tersendiri sebagai bentuk kehormatan seseorang.
Novel berjudul “Angkatan Baru” ini terbit pertama kali pada tahun 2016. Buya Hamka bersama karya-karya fiksinya tidak jauh mengisahkan problematika di tanah Minang, Sumatera Barat. Seperti karya kenamaannya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Novelnya kali ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Syamsiar yang telah jauh terpandang di kampungnya.
Syamsiar telah menempuh sekolah menengah agama dan memperoleh gelar diploma. Sekembalinya ia ke kampung tentulah semua orang menghormatinya. Semua orang tidak mempersoalkan apabila ia hanya bermalas-malasan di kamar sebab ia telah menjadi alim dan berilmu. Syamsiar yang terpandang itu telah besar kepala hingga merasa jemu melihat orang-orang kampung yang kolot. Ia merindukan kehidupannya semasa bersekolah.
Syamsiar dengan gelarnya ingin mendapat pekerjaan yang layak dan terpandang. Guru ialah satu-satunya pekerjaan yang cocok bagi kaum terpelajar sepertinya. Apabila ia bekerja sebagai pedagang atau petani maka hinalah ilmu yang diberikan gurunya. Kendati bekerja, ia juga sudah umurnya untuk menikah. Telah banyak laki-laki meminangnya ke rumah tetapi ditolaknya karena tidak sesuai dengan keinginannya. Tentu, Syamsiar dengan pikiran modernnya ingin menikah karena cinta bersama pria yang sejalan dengannya.
Akhirnya Syamsiar bertemu dengan Hasan, seorang alim dari kampung seberang. Mereka menikah dan membina rumah tangga dengan dasar “cinta” kedambaan Syamsiar. Hasan tidak sama dengan Syam. Ia benar-benar ingin mengabdikan ilmunya kepada masyarakat dimulai dari mengajar anak-anak berkebun, membaca, hingga menulis. Sayangnya pernikahan mereka terombang-ambing hingga karam tidak bersisa. Syam terpaksa mengikuti adat dan menerima pinangan seorang pria seusia ayahnya dan dijadikan istri ketiga.
Polemik Makna Berpendidikan dalam Adat
“Angkatan Baru” bukan judul biasa. Ia merepresentasikan pemuda-pemuda pada masa itu yang telah jauh dari turut hukum adat. Modernisasi yang mereka rasakan di bangku pendidikan tentu melihat sisi kolot masyarakat di kampung. Merekalah “Angkatan Baru”, Syamsiar salah satunya. Menyandang gelar diploma telah cukup baginya untuk merasa dihormati oleh masyarakat. Akan tetapi, sayangnya ilmu itu tidak bermanfaat bagi lingkungannya.
Syam telah berlarut menikmati penghormatan dan kemanjaan yang diberikan mamaknya. Lain halnya dengan Hasan. Laki-laki itu telah menyadari setidaknya bahwa berbagi ilmu tidak harus menjadi guru berseragam. Ucapan manis yang disampaikan oleh gurunya tentang manusia berilmu akan sukses bertolak belakang dengan kenyataannya. Pekerjaan yang semula dianggap hina bagi seorang alim kini ditekuninya sambil mengajar anak-anak kampung.
Pada awal pernikahan tabiat keduanya yang bertolak belakang belumlah tampak. Hingga akhirnya perbedaan keduanya dalam memandang “kehidupan” itu mulai tampak. Syamsiar dihormati sebagai seorang perempuan yang berpendidikan tetapi sayangnya hanya pintar berpidato dan tidak membagi ilmunya yang tinggi itu. Syam hanya ingin menjalani kehidupan yang senang dan bebas terlebih dimanjakan oleh mamaknya.
Hasan justru sangat dihormati oleh masyarakat karena cita-cita beratnya mendidik anak-anak di kampung. Ia menahan malu ditertawakan oleh teman-temannya yang alim itu karena mengerjakan pekerjaan itu. Akan tetapi, fokus Hasan akan cita-citanya tidak mendapat dukungan dari istrinya padahal keduanya berlatar pendidikan sama.
Pendidikan dalam masyarakat adat terutama dalam latar cerita di daerah Minangkabau menunjukkan eksistensinya. Seorang yang berpendidikan dan berilmu agama akan sangat disegani. Melihat perbedaan “penghormatan” yang didapatkan Syamsiar dan Hasan tentu menjadi persoalan tersendiri. Syamsiar mendapat penghormatannya karena cukup berpendidikan saja. Akan tetapi, Hasan mendapat penghinaan dahulu sebelum memperoleh penghormatannya karena mempunyai cita-cita besar dengan mendidik anak-anak kampung, masyhurlah namanya.
Buya Hamka sukses memberikan berbagai pandangannya terkait orang yang berpendidikan. Kenyataannya tidak semua orang berpendidikan itu berakal dan mau membagikan ilmunya. Tidak pula semua orang berpendidikan paham akan ilmunya sendiri. Merasa tinggi karena pendidikan tidak menjadikan orang itu berpendidikan.
Buku ini sangat ringan untuk dibaca oleh berbagai kalangan terutama remaja dan dewasa. Gaya penceritaan Buya Hamka yang khas sangat nyaman dan mudah dicerna. Pemilihan diksi indah untuk menjelaskan beberapa keadaan akan membuat pembaca semakin jatuh cinta dengan bahasanya. Cerita yang tidak terlalu panjang ini dapat dinikmati sambil bertemankan secangkir kopi. Novel “Angkatan Baru” ini memiliki pembahasan persoalan yang cukup relevan dengan kehidupan. Pembaca akan semakin memaknai “berpendidikan” itu seperti apa. [T]
BACA artikel lain dari penulis KARISMA NUR FITRIA