WANITA itu masih tertegun di pojok kafe seorang diri, sejak satu jam lalu belum beranjak. Tidak ada yang datang menemui, ia hanya seorang diri menatap hampa ke luar kafe yang berdinding kaca, sambil menyaksikan orang-orang berlalu lalang. Beberapa pasangan saling memberi perhatian, bergandengan, sambil tertawa riang.
Arumi, gadis itu, hanya tersenyum datar menyaksikan kehidupan orang lain yang begitu berbeda dengannya, ia meminum jus, esnya mulai meleleh membasahi meja. Matanya terus menangkap beberapa aktivitas orang-orang di luar kafe. Kebanyakan dari mereka terlihat bahagia, meski pun ada yang berjalan sendiri, terlihat jelas bahwa ada binar harapan dan gairah hidup, serta impian yang membuat mereka lebih terlihat segar, meski siapa yang tahu bagaimana setiap batin manusia.
Arumi menghela napas berat, melepaskan segala bimbang. Sedangkan hidupnya kini entah bahagia atau menderita, rasanya tidak bisa disimpulkan salah satunya. Tiba-tiba seseorang berpakaian hitam mendekat, duduk menghadap ke arahnya, Arumi tidak bergeming, ia sama sekali tidak peduli siapa yang datang.
“Bagaimana mengamati hidup orang lain selama bertahun-tahun?”
Seseorang itu menatap dalam Arumi, yang ditanya hanya menunduk sambil menjawab datar.
“Entahlah, semuanya terasa sama.”
“Sampai kapan kau akan hidup dalam kebencian?”
Seseorang berbaju hitam itu kembali bertanya, reaksi Arumi tetap sama.
“Tidak senang juga tidak sedih, sudah kukatakan semua sama.”
“Apakah kau yakin dengan ucapanmu?” tanyanya memastikan.
“Apa aku terlihat meragukan?”
“Benar, kau begitu yakin dengan segala ucapan, bahkan pikiranmu.”
“Bahkan ucapan tidak jauh berbeda dengan pikiran,” potong Arumi cepat, lalu beranjak berdiri, melangkah meninggalkan meja. Seseorang itu kembali melemparkan pertanyaan hingga membuatnya terhenti.
“Kau mau ke mana? Apa seperti ini sikapmu selalu menghindar?”
Arumi memalingkan badannya sempurna, ia menatap tidak suka ke arah seseorang tersebut.
“Ke mana saja terserah, berhenti mengikutiku dan jangan urusi kehidupanku.”
“Wah, kau benar-benar keterlaluan.”
“Aku rasa kau akan masuk ke salah satu daftar orang yang akan aku benci selanjutnya.”
Selesai mengatakan demikian, Arumi langsung melangkah pergi tanpa menoleh. Meski seseorang berbaju hitam itu terus memanggilnya. Saat ia hendak mengejar langkah Arumi, perempuan itu sudah pergi bersama taksi, ia hanya tertegun.
***
Arumi sampai di rumah dengan perasaan bimbang, sunyi kembali memeluk dirinya. Sudah sepuluh tahun, waktu benar-benar cepat berlalu, sejak hari itu, ketika dia memutuskan segalanya dan hidup dalam kesendirian. Pertanyaan seseorang yang terus muncul entah dari mana asalnya itu, menggema di telinga
“Sampai kau hidup dalam kebencian?”
Ia tersenyum getir, seraya memandangi beberapa foto bersama sahabat, kekasih serta keluarganya.
“Entahlah, aku juga tidak tahu, setidaknya saat ini aku merasa sedikit lebih baik setelah membenci mereka dan menjauh,” gumamnya seorang diri, sambil memandangi foto-foto lama yang terlihat bahagia dalam sebuah bingkai, serta beberapa penghargaan bergantung di dinding.
***
Sepuluh tahun silam, ketika Arumi yang ceria memiliki prestasi luar biasa, dia juga banyak disukai oleh teman-teman, hingga mudah bergaul di mana pun. Bahkan keluarganya bangga dan selalu memujinya, saat itu tidak sulit bagi Arumi untuk mendapat cinta, kepercayaan dan segalanya. Maka tidak heran, dalam masa remajanya sungguh gemilang.
Siapa saja akan mengira, seorang Arumi akan menjadi bintang di masa depan, jika dia dewasa kelak. Siapa sangka dimulai dari pengkhianatan kekasihnya yang mendua, lalu alasan mencintainya sebab ingin mendapat posisi baik di mata teman-teman, salah satunya ketenaran. Karena Arumi sangat terkenal di kalangan sekolah dalam prestasi, cantik dan kaya.
Tapi sayangnya ia tidak diberi kesempatan untuk mendapat ketulusan seperti yang ia lakukan kepada banyak orang. Setelah mengetahui demikian, Arumi benar-benar sedih, hingga prestasinya menurun, membuat nilainya drastis berubah. Ditambah teman-temannya mulai menjauh tanpa alasan, setelah dirinya tidak sehebat dulu.
Bukan hanya demikian, orang tua Arumi juga mengalami pertengkaran hebat, disebabkan perusahaan mereka bangkrut karena ditipu. Arumi terabaikan, ia menjadi prustasi dan jarang masuk sekolah. Nilainya semakin merosot, lalu keluar dari sepuluh besar. Sekolahnya tidak lagi mempercayai Arumi untuk mewakili setiap lomba, dia tidak lagi mendapat kepercayaan dan kepedulian di sekolah oleh teman-teman dan guru-gurunya. Tepat saat kenaikan sekolah menengah atas, ia menduduki peringkat lima paling akhir.
Gadis yang dulu cemerlang kini kehilangan cahaya, ia menunjukkan hasil ujian kepada kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Bukan mendapat kekuatan seperti yang diharapkan, seperti ungkapan yang membuat dirinya menjadi sedikit lebih baik.
“Tidak apa-apa Nak, kau sudah berusaha, kami sudah bangga padamu.”
“Tidak usah bersedih, selama ini kau sudah hebat, tidak selamanya harus demikian.”
“Kami tidak kecewa, apa pun hasilnya kami tetap bangga padamu.”
“Kau tetap yang terbaik buat kami, jangan bersedih.”
Sayangnya semua itu hanya ilusi, yang ada kata-kata menyakitkan keluar dari mulut keluarganya.
“Kau seharusnya tidak menambah beban kami, pergilah aku tidak ingin melihatmu.”
Entah itu maksudnya mengusir atau hanya pergi dari hadapan seseorang sejenak, yang sedang tidak ingin menambah kemarahannya. Bagi Arumi itu tidaklah sederhana, selama ini hatinya sudah banyak menyimpan keperihan, hari itu ia benar-benar berdarah. Tanpa sepatah kata pun, malam hari dia mengemasi barang dan kembali mendengar keributan ayah dan ibunya yang bertengkar saling melempar barang, meraung dan berteriak sambil mengumpat kata-kata kotor.
Arumi hendak mengucapkan beberapa patah kata, dia urungkan dan memilih untuk tetap berjalan. Sebelum perempuan itu sempurna meninggalkan pintu, ia mendengar kalimat ibunya yang membuat dirinya semakin terluka.
“Aku lelah jika harus begini, kenapa kau menjadi bodoh, aku benci melihat kalian, bahkan Arumi menambah beban lagi, aku muak melihatnya, jika saja aku bisa menghilang aku pasti akan ..”
“Apa katamu, bodoh? Kaulah yang sinting, dasar wanita tak tahu diri.”
Plak, suara tamparan mengenai pipi ibu Arumi, gadis itu hendak berlari menyelamatkan ibunya, tapi ia kembali terhenti.
“Aku juga tertekan, bahkan anak-anak menambah beban, terutama Arumi,” ucap ayahnya dengan penuh emosi
“Buang saja Arumi, buang anak-anak kita, dengan begitu beban kita akan ringan, mari bercerai.”
Ibu Arumi menjerit, tapi sebuah pukulan kembali mendarat, disambut suara perempuan yang mengatai suaminya
“Pukul aku sampai mati, wajar saja Arumi bodoh, dia sepertimu ..”
Perempuan itu kembali berteriak, kali ini gadis itu tidak tahu harus membela ibunya atau pergi, tapi langkahnya telah sempurna meninggalkan rumah, sedangkan di dalam suara perdebatan kedua orang tuanya masih terdengar. Dengan air mata berderai, gadis itu hanya membawa beberapa baju dengan tas punggung, ia benar-benar seperti sedang berada di neraka.
***
Arumi meminum air putih, ia tersenyum getir mengingat masa lalu, bahkan orang-orang yang selalu merendahkan dirinya. Tapi ia kemudian tergugu, sebagai wanita tidak berguna, kini hanya mampu menarik diri dari banyak orang, memilih hidup di kota asing, dengan orang-orang baru yang hidup tidak saling memperdulikan.
Tapi ada satu orang yang selalu membuatnya kesal kadang juga bahagia, sesekali seseorang itu bisa menjadi teman di kala kesepian. Seseorang berbaju hitam yang selalu menemuinya apabila saat sedang sedih, biasanya dia akan muncul secara tiba-tiba, katanya ia adalah jelmaan dari rasa kebencian yang ia pelihara selama ini. Entah itu mimpi atau hanya fana, tapi semua itu nyata.
Suatu hari saat musim gugur di kota Osaka, seorang mengetuk pintu dan bertamu, lalu menawarkan diri untuk menjadi teman. Arumi mengabaikan, tapi lelaki itu terus mendatanginya hingga tiga tahun belakangan ini, ia merasakan mendapat teman baru, meski awalnya ia mengabaikan, hingga kemudian membiarkannya menjadi teman, kadang juga dia abaikan.
Arumi hidup sepuluh tahun dengan sebongkah batu kebencian di dalam dadanya, maka acuh tak acuh terhadap seseorang itu. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu apartemen, Arumi bergegas membuka pintu, tatapannya datar menatap seseorang berbaju hitam tersebut.
“Tepat hari ini sudah tiga tahun kau terus mengikutiku, bisakah kau pergi?”
“Cairlah musim dingin di hatimu itu.” Ia menunjuk ke arah Arumi seperti menjampi-jampi.
“Pergilah, aku lelah!” Arumi hendak menutup pintu, seseorang itu menahan daun pintu dengan cepat.
“Berhentilah membenci banyak orang, mari mulai lagi seperti sebelumnya.”
Arumi menatap lekat seseorang tersebut.
“Kau tahu rasanya memendam kebencian?”
Seseorang itu menggeleng
“Aku tahu, kau hanya seorang yang entah dari mana, tugasmu hanya akan terus membuat kebencianku tumbuh.”
“Benarkah begitu?”
Seseorang itu menjawab dengan santai, sebelah tangannya masih menahan daun pintu.
“Seperti memakan makanan panas, kau hanya perlu bersabar dan menahannya untuk merasakan betapa lezatnya makanan tersebut saat panas, sebelum semuanya menjadi dingin.”
“Apa kau tidak lelah?”
“Aku tidak pernah lelah, aku suka membenci banyak orang, dia juga seperti makanan yang pedas, awalnya kau hanya perlu menahan rasa pedas itu hingga akhirnya terbiasa, lalu kebencian itu menjadi lezat.”
“Kau berkata demikian, hanya untuk membuat dirimu baik-baik saja bukan?”
“Kau terus bertanya hal yang tidak penting,” jawab Arumi ketus.
“Jadi kau akan terus begini?”
“Kau sudah tahu jawabannya, silakan pergi.”
“Aku rasa, orang-orang tidak akan tahan jika terus memakan makanan pedas?”
Seseorang itu tersenyum penuh arti, Arumi menatapnya dengan tatapan marah.
“Pergi saja, hari ini aku benar-benar menyuruhmu pergi, sudah tiga tahun bukan, sesuai janji, kau tidak akan menemuiku lagi dalam tahun.”
“Apa kau yakin, kau boleh saja membenci banyak orang, tapi pikirkan orang tuamu, aku tahu saat ini kau merindukan mereka, tapi egomu telah menjadi bukit,” ucap seseorang itu mengabaikan perkataan Arumi, dan gadis itu tersenyum meremehkan.
“Kau sudah tahu itu, tapi sok bijaksana, pergi dari hidupku, kau hari ini membuatku muak.”
“Apa yang akan kau lakukan jika kedua orang tuamu ada di hadapanmu sekarang?”
Sejenak Arumi terdiam, ia tidak menjawab, matanya terlihat ragu, memilih tidak peduli lalu menutup pintu dengan keras, tapi seseorang-laki itu kembali berkata,
“Semua musim dingin akan berakhir, tidak ada musim abadi, cairkan kebencian itu segera, sebelum dunia berakhir, buka pintu dan lihatlah, jika tidak kau tidak ingin menyesal selamanya.”
Arumi terhenti, ia perlahan mengintip dari celah pintu untuk memastikan, tetapi ia tidak mendapati siapa pun, melainkan kedua orang tuanya yang kini sudah tua berdiri di hadapannya, dengan dua orang saudaranya. Arumi berkaca-kaca, air matanya tumpah tanpa ia sadari, kebencian itu seakan menjadi sebuah kerinduan yang besar kemudian pecah menjadi sungai.
Arumi awalnya ragu hendak membuka pintu, mengingat peristiwa menyakitkan sepuluh tahun silam. Bahkan ia mengabaikan telepon dari keluarga dan beberapa teman yang ingin mengetahui kabarnya, tapi ia memilih memutus segala bentuk komunikasi dari dunia maya dan dunia nyata. Lama ia tertegun, hingga kata-kata seseorang berbaju hitam barusan membuatnya bimbang.
“Semua musim dingin akan berakhir, tidak ada musim abadi, cairkan kebencian itu segera, sebelum dunia berakhir, buka pintu dan lihatlah, jika tidak kau tidak ingin menyesal selamanya.”
Tangannya gemetar, perlahan membuka pintu, terlihatlah dua orang yang sudah tua dengan kulit keriput, Arumi tertegun beberapa saat, hingga sebuah suara menggema di telinganya.
“Apa kau masih mau menjadi anak durhaka, lihat orang tuamu yang sudah tua, sampai kapan kau memelihara diriku, sedangkan aku kini akan pergi jauh.”
“Apakah kau masih membenci kami? Maafkan kami Arumi?” ucap orang tuanya yang kini bergetar menahan tangis melihat putri yang mereka rindukan berpuluh tahun.
Pertanyaan dan pernyataan sederhana itu membuat musim dingin di jiwa Arumi perlahan mencair. Sedangkan seseorang yang tadi berucap sudah tidak terlihat sosoknya. Dia hanya perlu melepaskan kebencian itu sejenak, membiarkan apa yang ingin ia lakukan muncul ke muara, dengan perasaan haru Arumi memeluk kedua orang tuanya, mereka bertangisan, lalu sebuah suara kembali menggema.
“Terima kasih telah memenuhi keinginanku, kini aku tidak lagi menjadi sebuah kebencian, melainkan rasa kasih yang mengalir seperti sungai.” [T]
Riau, 2023