ANGIN Sastra Bali Modern berembus makin kencang dari Bangli. Embusan kali ini ditiup Wayan Antari, seorang perempuan dari Banjar Wanaprasta, Desa Kintamani, Kecamatan Kintamani.
Ia lahir 24 Juli 2000. Sehari-hari, jebolan Universitas Hindu Negeri (UHN) IGB Sugriwa Denpasar itu, bekerja sebagai guru Bahasa Bali di SMP N 6 Kintamani. Dan, ia menulis cerita pendek (cerpen) berbahasa Bali. Dan, manuskrip buku kumpulan cerpen Bali Modern yang ditulisnya itu menang sayembara Gerip Maurip dan siap diterbitkan penerbit Pustaka Ekspresi.
Dan, lengkaplah sudah. Wayan Antari menjadi bukti bahwa angin Sastra Bali Modern di Bangli memang selalu kencang. Antari meneruskan upaya-upaya besar sastrawan Bali Modern sebelumnya, semisal I Gede Agus Darma Putra, Alit Joule (alm) dan IK Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur).
Wayan Antari adalah sosok pekerja keras. Selain menjadi guru, ia memiliki pekerjaan sampingan sebagai dagang canang dan jejahitan Bali dengan brand toko online “Tari Jejahitan Bali”. Nah, di sela kegiatannya menjadi guru dan dagang jaitan, dia terus menulis, terutama menulis Sastra Bali Modern.
“Saya merasa berbahagia sekali dapat mengikuti dan memenangkan sayembara Gerip Maurip tahun ini,” kata Wayan Antari tentang kemenangannya di ajang Gerp Maurip.
Memiliki buku karya sendiri telah menjadi impiannya sejak 2019. Dan, akhirnya mimpi itu bisa terwujud lewat ajang Gerip Maurip ini.
Antari mengaku sudah memantau Gerip Maurip sejak lama. Karena belum memiliki jumlah cerita yang sesuai persyaratan, terpaksa niat untuk ikut sayembara itu selalu ditunda.
Tahun 2023 ini untuk pertama kalinya ia bisa mengkuti ajang itu. Ia mengirimkan naskah buku berisi 10 judul cerpen Bali ke Pustaka Ekspresi dengan judul “Mrebutin Angin”.
Sepuluh cerpen dalam manuskrip buku “Mrebutin Angin” itu dikumpulkan sejak tahun 2020. Hampir semua cerita dalam cerpen ini terinspirasi dari kisah-kisah nyata yang terjadi di sekitar kehidupan Antari sendiri, mulai dari kisah percintaan, sosial, hubungan persaudaraan, kehidupan pernikahan, kehidupan menantu dan mertua, dan lain-lain.
“Saya tidak mengangkat kisah nyata itu secara penuh, hanya beberapa bagian saja yang saya jadikan inspirasi, kemudian saya kembangkan dengan imajinasi saya, tanpa maksud menyinggung pihak manapun,” kata Antari tentang proses kreatifnya.
Cerpen-cerpen dalam buku ini sebagian besar sudah sempat dimuat di beberapa media, terutama pada rubrik khusus Ajeg Bali di Koran Media Bali serta sempat terbit di koran Nusa Bali.
Ada pula beberapa cerita yang sempat dilombakan di Undiksha dengan Judul “Nganten”, yang merupakan cerpen pertamanya yang berhasil meraih juara.
“Juara itu membuat saya kecanduan menulis,” katanya.
Kemudian, kali kedua ia juga mengikuti lomba menulis cerpen Bali di Unud. Cerpen yang dilombakan saat itu berjudul “Las Ati Punyan Cempaka”. Setelah itu, ia melombakan cerpen “Mabalih Langit Mrebutin Angin” di Universitas Dwijendra.
Judul cerpen itulah yang kemudian diambil judulnya sebagai judul buku yang dikirim ke ajang Gerip Maurip.
“Cerpen ‘Mrebutin Angin’ itu mengandung sejarah yang sangat mendalam sepanjang saya menulis,” ujar Antari.
Cerpen ini, kata Antari, nyaris diakui oleh orang lain, sehingga ia sempat merasakan sakit hati yang luar biasa.
“Lebih sakit rasanya daripada saat pacar diambil wanita lain,” katanya.
Dengan usaha keras, ia akhirnya bisa mengambil haknya kembali. Piagam Juara 1 nyaris dibawa orang lain. Maka dari itu, sejak saat itu, ia bertekad untuk mengangkat judul cerpen ini sebagai judul buku.
***
Sejak kapan Antari menulis?
“Saya mengawali menulis karya sastra Bali modern adalah karena terpaksa,” kata Antari.
Ceritanya begini. Sebagai mahasiswa Prodi Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali, pada tahun 2019. Ia mendapatkan tugas menulis satua bali saat semester dua. Saat itu bukannya satua bali tradisional yang ditulisnya. Secara tidak sadar ia justru menulis Cerpen Bali Modern.
“Saya ingat sekali judulnya adalah ‘Ulian Kasta’ terinspirasi dari kisah percintaan saya sendiri kala itu,” ujar Antari.
Saat semester 3, ia mendapatkan mata kuliah kemahiran membaca Bali latin di bawah binaan dosen muda, I Gde Agus Darma Putra. Ia saat itu membacakan cerpennya sendiri untuk dibaca. Ya itu, cerpen “Ulian Kasta” itu.
Agus Darma Putra, sebagai dosen saat itu, menyarankan dia untuk mengirimkan cerpen itu ke media Suara Saking Bali. Beberapa hari kemudian, untuk pertama kalinya ia merasakan karya tulisnya diterbitkan dalam sebuah media.
“Sungguh bahagianya saya kala itu melihat tulisan sendiri dimuat dalam majalah online itu dan menjadi konsumsi publik. Akhirnya, saya kecanduan menulis,” aku Antari.
Wayan Antari membaca karya | Foto: Dok. Wayan Antari
Tahun 2020, ia mulai mengenal Bangli Sastra Komala, sebuah komunitas sastra di Bangli. Saat itu ia mendapat pesan messenger dari Alit Joule (sastrawan Bali Modern yang kini sudah tiada). Alit menghubunginya untuk bergabung dan ikut menulis di Baskom, singkatan dari Bangli Sastra Komala.
“Bli Alit juga pernah mengajak saya bertemu dan membekali saya dua buah buku karyanya, yakni Antologi Ling dan Satyaning Ati,” kata Antari.
Antologi Ling adalah buku antologi cerpen pertama yang dibaca habis. Dan ia merasa mendapatkan banyak ilmu dari buku itu tentang bagaimana merangkai sebuah cerpen yang baik.
“Sehingga, secara tidak langsung saya mengkuti gaya kepenulisan Bli Alit Joule lewat buku antologi Ling itu,” katanya.
Alit Joule di mata Antari adalah sosok yang paling berperan dalam karier kepenulisannya. Bagi Antari, Alit adalah orang yang selalu memberi saya semangat.
“Ayo menulis! Jika kamu ingin hidup selamanya, maka menulislah. Karena dengan menulis, meskipun kita sudah berpulang nanti, nama kita akan tetap hidup dalam tulisan yang kita ciptakan,” kata Antari mengutip kata-kata Alit Joule.
Ternyata tak lama berselang, Alit berpulang karena sakit. Dan benar, Antari merasa Alit masih hidup terutama saat ada orang yang membacakan tulisannya.
***
Jika ditanya, kenapa menulis, Antari mengaku tak akan memiliki jawaban baku seperti ilmu matematika.
Tetapi, Antari mengaku dengan menulis, ia merasakan suatu kepuasan batin yang rasanya tidak akan didapatkan di tempat lain, selain dengan menulis. Meskipun tidak mendapatkan uang secara langsung, tapi ia merasa kaya ketika melihat tulisannya tercipta secara utuh, apalagi bisa diterbitkan di koran ataupun dilombakan.
Orang yang paling berpengaruh dalam proses kepenulisan Wayan Antari diakui adalah Alit Joule yang selalu memacu semangatnya untuk menulis dan menulis. Yang lain adalah Agus Darma Putra, dosen yang selalu mengajak mahasiswanya untuk menulis dan juga orang yang pertama kali mengenalkannya dengan media Suara Saking Bali.
Tak lupa juga, Antari menyebut nama Jero Panyarikan Duuran Batur atau IK Eriadi Ariana. Eriadi, yang biasa dipanggil dengan nama Bli Jero Eriadi sering memberikan wadah untuk mempublikasikan tulisannya lewat Media Bali.
“Selain itu, yang selalu mendukung saya untuk mengembangkan bakat saya di dunia sastra adalah orang tua dan kekasih hati, Bli Jro Diana,” kata Antari.
Jro Diana, kekasih hatinya itu, menurutnya, tidak selalu membaca cerpen-cerpen Antari, tapi ia diakui sebagai orang yang paling sigap mendampinginya untuk menjemput hadiah saat ia meraih juara menulis cerpen.
“Dan ia memang selalu mendukung saya untuk menulis, tak pernah dia melarang ataupun keberatan jika saya menulis,” ujarnya.
Antari mengaku juga sempat meningkatkan potensinya di dunia menulis cerpen dengan mengikuti workshop menulis cerpen Bali yang diadakan oleh Suara Saking Bali dengan mentor Made Adnyana Ole pada tahun 2020.
“Disana saya dapat belajar banyak dan mendapatkan ilmu-ilmu baru untuk menulis cerpen Bali,” ujarnya.
Selain itu, di tahun yang sama, ia juga pernah dua kali menjadi pembedah buku antologi cerpen Bali yang berjudul “Cor” dan “Pasamudaya Rasaning Bangli”. Kegiatannya itu menyebabkan ia harus membaca. Dan dari acara bedah buku itu, ia kembali mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman baru di dunia sastra.
Dari kegiatan itu Antari dapat menarik kesimpulan, “Jika ingin menulis, maka harus membaca”. Dua hal ini, kata dia, sangat sulit dipisahkan dan sangat benar adanya.
“Jika kita tidak pernah membaca, maka jangan harap kita bisa menulis yang baik dan benar,” ujarnya.
***
Sastra Bali modern kini telah mendarah daging dalam diri Antari. Sejak menulis, ia mengaku menemukan letak kehokian, dan bakat yang terpendam dalam dirinya. Sebagai seorang guru, ia ingin sekali mengembangkan sastra Bali modern kepada siswanya di sekolah.
“Misalnya kemarin sempat saya mengajak salah seorang siswa untuk menulis cerpen dan dibantu dimuat oleh Bli Jero Eriadi di Koran Media Bali. Betapa terkejutnya saya, ketika saya sampaikan kepada kepala sekolah, gebrakan ini mendapat apresiasi besar dari pihak sekolah bahkan hingga ke dinas pendidikan,” kata Antari dengan girang hati.
Antari memang birang. Di tengah minimnya minat baca dan menulis peserta didik, siswa yang diasuhnya berhasil memberikan gebrakan baru yang kemudian memantik siswa lain untuk menulis. Sehingga, banyak siswa kemudian datang menyodorkan tulisan kepadanya, berupa cerpen dan puisi yang berbahasa Indonesia dan Bali.
Melihat tingginya minat siswa untuk belajar menulis, ia kemduian berinisiatif untuk membentuk sebuah komunitas belajar yang saya beri nama “Tasik Kita’, singkatan dari “Tunas Sastra Spensix Kita”.
Komunitas ini juga mendapat respon yang luar biasa dari pihak sekolah. Rencananya komunitas itu akan di-launching bulan November.
“Semoga melalui Tasik Kita saya bisa mengajak anak-anak didik untuk belajar menulis, sebab saya merasa bukan apa-apa jika ilmu yang saya dapatkan hanya saya simpan untuk kepentingan sendiri. Saya rasa, alangkah baiknya saya menyebarkan ilmu itu selayaknya yang dilakukan Bli Alit Joule untuk memantik minat dan menggali bakat saya di dunia sastra Bali modern dulu,” ujar Antari.
Oh, ya, Buku “Mrebutin Angin” yang akan menjadi buku pertamanya itu, ia persembahkan untuk Almarhum Alit Juliarta (nama lengkap Alit Joule).
“Selamat membaca dalam keabadian, Bli. Buku ini adalah anak dari ‘Antologi Ling’,” kata Antari dengan penuh haru.
Selamat, Antari. [T]
Penulis: Made Adnyana Ole
Editor: Jaswanto