MEGALOMANIA ATAU GANGGUAN KEJIWAAN yang menyebabkan orang sangat menginginkan kekuasaan ternyata telah menjangkiti pemimpin-pemimpin kita di negara ini. Berbagai macam kasus yang saat ini sedang membumi merupakan contoh konkret ruwetnya kehidupan politik bangsa Indonesia.
Kisruh yang saat ini sedang meledak ke permukaan soal masa jabatan kepala desa hingga sembilan (9) tahun adalah salah satu bukti kuat hausnya para pemimpin kita akan kekuasaan.
Persoalan yang sangat memprihatinkan ini bermula dari aksi demonstrasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI) yang pada tanggal 21 Januari lalu mengajukan sejumlah tuntutan kepada Mendes PDTT (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi).
Melansir Kompas (26/1/23), poin-poin utama yang menjadi tuntutan lembaga tersebut di antaranya adalah masa jabatan kepala desa harus diperpanjang menjadi 9 tahun dan boleh maju dalam 3 periode. Dengan demikian, total masa jabatan kepala desa menjadi 27 tahun. Hampir sama dengan masa jabatan Suharto sebagai presiden beberapa dekade lalu.
Persoalan politik di atas hanyalah satu dari sekian banyak persoalan-persoalan lain yang membingkai kehidupan politik bangsa kita. Fenomena haus kekuasaan merupakan suatu hal yang lumrah. Bukan saja para kepala desa, pejabat-pejabat tinggi di daerah maupun di pusat dengan segala cara juga ingin merengkuh dan mempertahankan singgasana kekuasaannya. Berbagai hal dilakukan agar rasa hausnya akan kekuasaan dapat terpuaskan, bahkan dengan cara-cara kotor sekalipun.
Tercatat berbagai macam kasus telah menjerat pejabat-pejabat yang rakus kekuasaan ke balik jeruji besi akibat pemilu yang curang. Di tahun-tahun belakangan, terutama tahun pemilu 2019, terhitung pelanggaran pidana kecurangan pemilu mencapai sekitar 582 kasus, belum terhitung pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dan pelanggaran-pelanggaran lain sebagainya yang jumlahnya ribuan (Bawaslu, 2019). Kecurangan-kecurangan tersebut sejatinya mempunyai satu tujuan khusus, yaitu untuk meraih kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan.
Sungguh kenyataan yang sangat memilukan melihat bagaimana para pemimpin kita terobsesi dengan kekuasaan. Kekuasaan bagaikan satu-satunya harta yang harus dimiliki untuk mencapai kebahagiaan. Dengan kata lain, kunci untuk mencapai kebahagiaan adalah kekuasaan. Hal ini pada ghalibnya bukanlah suatu fenomena baru.
Sejak dahulu manusia telah saling berebut kekuasaan. Keinginan manusia untuk mendapatkan kekuasaan bukanlah sebuah teka-teki lagi, melainkan sebuah fakta tak terbantahkan. Sifat manusia yang haus kekuasaan ini telah menjadi suatu fenomena umum dalam kehidupannya sehari-hari.
Nietzsche Vs Politik (Haus Kekuasaan)
Menurut Friedrich W. Nietzsche, seorang filsuf besar asal Jerman, manusia-manusia yang haus kekuasaan inilah yang membuat politik menjadi kotor seperti lumpur yang tak dapat dibersihkan (Nietzsche, 1883:105).
Bagi Nietzsche, politik pada awal mulanya murni dari kenajisan-kenajisan semacam itu. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula keinginan manusia. Sehingga, sering kali kekuasaan politik dijadikan alat oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Maka, dengan cara itulah kekuasaan menjadi semakin menarik di mata manusia.
Semakin hari, manusia semakin tidak bisa menahan diri. Ia ingin agar kekuasaan itu berada di dalam genggamannya. Ia melakukan segala cara. Dan segala cara ia halalkan, termasuk cara-cara yang sebenarnya haram.
Dalam magnum opus karya Nietzsche, yakni Thus Spoke Zarathustra, yang terbit pertama kali tahun 1883, Nietzsche mencaci para pemuja kekuasaan tersebut dengan keras:
Lihat, mereka yang berlebihan itu! Kekayaan mereka dapatkan, tapi justru mereka semakin miskin. Kekuasaan yang mereka cari, dan yang terutama mereka cari adalah tuas kekuasaan, uang dalam jumlah yang banyak – ya, mereka yang impoten ini … Lihat, mereka memanjat, kera-kera yang lincah ini! Mereka memanjat dan menginjak-injak satu sama lain, dan bertengkar sampai ke dalam lumpur kotor dan jurang tak berdasar …Mereka semua berlomba merengkuh singgasana: itulah kegilaan mereka – seolah sang kebahagiaan duduk di atas singgasana! Yang sering kali duduk di atas singgasana adalah kotoran – dan sering kali pula singgasana duduk di atas kotoran … Orang gila, demikian tampaknya mereka bagiku, seperti kera-kera yang sedang memanjat dengan terlalu bernafsu. Bau busuk dari berhala mereka itu bagiku, yaitu sang monster dingin: bau busuk dari mereka semua itu bagiku, para pengikut dan pemuja berhala ini. (Nietzsche, 1883:105)
Bagi Nietzsche, manusia-manusia yang gila kekuasaan adalah mereka yang juga gila akan harta. Jika kekuasaan telah direngkuh, maka harta akan mudah didapatkan. Dalam makiannya di atas, secara implisit Nietzsche mengingatkan para pembacanya tentang fenomena-fenomena yang berkaitan dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya.
Hal itu terlihat jelas dalam kalimat “Kekayaan mereka dapatkan, tapi justru mereka semakin miskin. Kekuasaan yang mereka cari, dan yang terutama mereka cari adalah tuas kekuasaan, uang dalam jumlah yang banyak”.
Ketajaman pikiran Nietzsche benar-benar tidak dapat diragukan. Ia mengatakan bahwa semakin banyak harta yang dikumpulkan melalui kekuasaan, semakin miskinlah seseorang dan bukan semakin kaya. Kemiskinan yang dimaksud oleh Nietzsche sebenarnya adalah kemiskinan hati nurani.
Lebih lanjut, kera-kera yang saling menginjak satu sama lain seperti yang ada dalam kutipan di atas adalah personifikasi dari orang-orang yang haus kekuasaan menurut Nietzsche. Kera-kera itu saling menginjak satu sama lain. Mereka saling menginjak untuk berebut kekuasaan. Mereka menginjak semuanya. Entah itu sesama politikus atau juga rakyat kebanyakan.
Namun, korban yang paling menderita pastilah rakyat. Rakyat tak dapat berbuat banyak karena merekalah yang berada di lapisan paling bawah dalam sistem sosial dan politik kita. Rakyat adalah korban sebenarnya dari politik haus kekuasaan.
Selain itu, sebagaimana dalam sindirannya di atas, Nietzsche juga menyindir manusia yang berlomba-lomba meraih kekuasaan sebagai suatu kegilaan. Seolah-olah sang kebahagiaan duduk di atas tahta kekuasaan. Manusia sudah kehilangan akalnya. Ia mendambakan singgasana untuk mencapai kebahagiaan.
Bagi Nietzsche, mereka yang haus kekuasaan tersebut adalah para pemuja berhala. Mereka memuja kekuasaan lebih dari segala sesuatu. Politik di mata Nietzsche oleh karena itu adalah sebuah rumah sakit jiwa. Dipenuhi oleh pasien-pasien yang haus kekuasaan. Mereka semua mengalami kegilaan – gila akan kuasa. Hal ini identik dengan megalomania, sejenis penyakit kejiwaan. Menarik bahwa Nietzsche pada zamannya sudah lebih dahulu mengenali penyakit sejenis ini sebelum munculnya ilmu-ilmu kejiwaan.
Dengan demikian, kini kita sudah melihat bagaimana kritik Nietzsche atas politik yang hancur akibat fenomena haus kekuasaan. Dengan makiannya yang sangat keras, ia begitu jitu menghancurkan para megalomaniak dengan kata-katanya yang sangat menohok.
Namun, apakah usaha Nietzsche hanya sebatas kritik saja? Dapatkah ia memberikan solusi yang bisa memulihkan politik ke statusnya yang amat mulia? Ataukah kritikan Nietzsche itu hanya sebatas omong kosong belaka?
Aristokrasi Übermensch: Solusi Tepat Menghadapi Politik Haus Kekuasaan
Dari sekian banyak gagasan yang ia lahirkan selama hidupnya sebagai seorang filsuf, Übermensch adalah salah satu gagasan dasar yang amat penting dalam filsafat Nietzsche.
Ajaran Nietzsche tentang Übermensch ini diperkenalkan lewat mulut tokoh Zarathustra. Zarathustra dalam pengertian Nietzsche ini bukanlah sosok nabi dalam agama Zoroaster di Persia yang mewartakan adanya peperangan rohani antara kebaikan dan kejahatan; antara Ahura Mazda dan Angra Mainyu, melainkan seorang figur pembaharu yang mengajarkan makna dari dunia:
Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu!
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarlah kehendakmu berseru:
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini (Nietzsche, 1883:3).
Dalam buku Thus Spoke Zarathustra, bagi Nietzsche, kebutuhan manusia yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat, nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita telah runtuh.
Karena itu, melalui tokoh Zarathustra, Nietzsche mengajarkan Übermensch kepada kita. Übermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri dan tidak bergantung pada apapun (Sunardi, 2011:147). Itu berarti, Übermensch adalah manusia yang melampaui.
Dalam bahasa Goenawan Mohamad, Übermensch berarti Adimanusia. Ia adalah “manusia atas” yang tidak bergantung pada apapun. Ia mandiri, dapat memberi nilai pada dirinya sendiri, dan tak pernah ikut-ikutan layaknya kawanan domba. Ubermensh adalah seseorang yang memiliki karakter aristokrasi dalam dirinya. Singkatnya, ia adalah tuan. Tuan atas dirinya sendiri.
Übermensch ala Nietzsche pada ghalibnya didasarkan pada pokok utama pemikirannya, yaitu “Kehendak untuk Berkuasa” (Der Wille Zur Macht). Gagasannya ini sama sekali tidak terkait dengan kekuasaan seperti yang kita kenal dalam dunia politik, tetapi kehendak untuk berkuasa berarti kehendak untuk mencipta. Itu berarti Übermensch pada hakikatnya adalah suatu kreativitas.
Adimanusia atau Übermensch karena itu menurut Nietzsche adalah suatu proses di mana manusia dapat menciptakan makna bagi dirinya sendiri dan menolak konformitas. Konformitas sendiri dimengerti sebagai sikap ikut-ikutan. Ikut-ikutan ini dalam arti asal ikut saja nilai-nilai tradisi, budaya, agama, dan bahkan tren-tren yang sedang berkembang.
Karena itu, dalam buku Genealogy of Morals, Nietzsche membedakan dua moralitas manusia. Yang pertama, Moralitas Tuan. Dan yang kedua, Moralitas Budak atau Moralitas Kawanan. Menurut Nietzsche, Übermensch memakai moralitas yang pertama, yaitu Moralitas Tuan yang bersifat aristokratik, sedangkan manusia yang hidup ikut-ikutan adalah mereka yang memakai Moralitas Budak atau Moralitas Kawanan. Mereka tidak bisa berpikir dan mencipta. (Nietzsche: 1887)
Melalui tokoh Zarathustra dalam karyanya, Nietzsche mengajak kita semua untuk menjadi tuan atas diri kita sendiri atau Übermensch. Itu berarti, kita harus memakai Moralitas Tuan. Kita harus bisa mengembangkan sikap kreatif dan dapat berpikir sendiri. Nietzsche sangat anti dengan sikap banal di mana kita hanya berpikiran dangkal atau bahkan tidak bisa berpikir sama sekali untuk diri kita sendiri.
Dalam gagasan-gagasannya, Nietzsche berharap agar kita bisa memimpin diri kita sendiri dengan nilai-nilai yang kita ciptakan sendiri sama seperti Übermensch. Aristokrasi yang termuat dalam Übermensch adalah sebuah contoh di mana kita bisa menimba inspirasi untuk menolak setiap kecenderungan dalam diri atau kecenderungan yang ada dalam masyarakat terutama kecenderungan dalam dunia politik kita yang sangat berambisi untuk merengkuh singgasana layaknya kera-kera yang saling menginjak-injak satu sama lain untuk berebut pisang.
Jadilah Tuan Atas Dirimu Sendiri, Jangan ikut-ikutan
Telah kita ketahui, dewasa ini telah berkembang sebuah tren politik di mana manusia sangat terikat dengan kecenderungan-kecenderungan jahatnya untuk menggapai kekuasaan. Seolah-olah kekuasaan adalah segala-galanya.
Bagi Nietzsche, nilai aristokrasi dalam Übermensch adalah solusi terbaik menghadapi patologi-patologi politik seperti megalomania. Megalomania atau penyakit haus kekuasaan adalah salah satu biang kerok rusaknya kehidupan politik bangsa kita.
Nietzsche dengan sangat jelas memperingatkan betapa berbahayanya para megalomaniak tersebut dalam politik. Mereka bagaikan kera gila yang saling menginjak-injak untuk berebut pisang yang dapat mengenyangkan perut mereka.
Karena itu, kita harus bersikap hati-hati terhadap tuntutan para kepala desa yang baru-baru ini meminta kenaikan masa jabatan. Bisa saja para pemimpin adalah para megalomaniak yang sangat mendambakan kekuasaan. Begitu pula dengan para calon legislatif atau para calon pemimpin di daerah dan pusat yang sering kali ber-money politic atau sering kali melakukan kecurangan lain dalam pemilu, jangan sampai kita semua akhirnya terlibat dalam tipu muslihat mereka untuk merengkuh tahta kotoran seperti yang disindir oleh Nietzsche.
Kiranya, para pembaca tulisan ini, yaitu para calon pemimpin di negeri kita dapat berguru pada Nietzsche tentang bagaimana menjadi seorang Übermensch.
Bagi Nietzsche, untuk menjadi Übermensch, resepnya sederhana: “Jadilah tuan atas dirimu sendiri. Jangan ikut-ikutan. Ciptakan sendiri nilai-nilaimu dan beranilah berpikir sendiri. Tolaklah tren-tren dan kecenderungan-kecenderungan yang membuat dirimu sendiri hancur, seperti ambisi yang tidak sehat pada kekuasaan.” [T]