“Malam ini kite ledakkan panggung wak!” ucapku, ke kawan-kawan se-band. Waktu itu kami diundang untuk tampil di panggung rakyat untuk menyambut tahun baru. Kami masih berseragam putih abu-abu.
Ini pengalaman saya:
Tepatnya saya lupa, mungkin jelang 2007. Band Pentagram diundang tampil di panggung rakyat di Jalan Tanjung Pura, Pontianak.
“Do kitak main lah di panggung depan gang aku,” pinta si kembang SMA yang tak mau saya sebut namanya, karena lupa, di jam istirahat sekolah.
“Boleh ke, kami bawak lagu keras nih!”
“Tak ape!!” pungkasnya.
“Mantap!”
Malam jelang pergantian tahun. Kami bersiap untuk tampil. Ala Band Hardcore, ritual kami sebelum tampil ialah berdandan Gothic dengan alat make-up serba hitam; lipstick hitam, eye shadow hitam, pantat kuali hitam, eh yang terakhir ini bukan buat make-up ding.
“Wak udah seram belom?”
“Udah wak!” Balas Eko, si vokalis kedua.
Saya vokalis utama hehe. Agus di gitar, Andre di bass juga berdandan bak Band Purgatory. Hanya Maulana si drummer yang tak bermake-up, karena kulitnya udah hitam dop. Jadi percuma saja pake lipstick hitam.
Dengan penuh semangat, kami pun turun menuju ke lokasi. Saat itu Saya sempat teringat penampilan kami di panggung kampus teknik di Universitas Tanjung Pura. Kami diundang di acara Dies Natalis mereka. Mendadak disuruh bawa lagu Hardcore. Namun, dengan ciptaan sendiri. Gawatnya, kami biasa tampil tapi belum pernah ciptakan lagu. Biasa bawa lagu Slipknot, Lamb of God, paling slownkami tampil dengan lagu Metallica, atau jatuh-jatuhnya Paparoach.
Namun kami tetap mengiyakan tantangan itu. Jadilah satu lagu. Liriknya digarap boleh Eko. Alhasil lagu kami disambut meriah oleh anak-anak Kampus Teknik yang terkenal sangar itu. Mereka jingkrak-jingkrak. Kepala diputar-putar, membuat gulungan rambut gondrongnya bak kincir angin yang diputar melawan arah jarum jam.
Penampilan full dengan suara growl terbaik, keluar dari pita suara Saya dan Eko. Kelar tampil kami didatangi salah satu penonton. “Mantap wak lagunye! Ape judulnye tuh!!” “MERAKIT TAMIYA!!!” Jawab Eko, ditambah ketawa ngakak dari kami semua.
Sampai di lokasi panggung rakyat. Kami mendadak bingung.
“Wak benar ke ini panggunggnya?” tanyaku ke Andri.
“Aok inilah tempatnye!” jawabnya.
“Woiii, sini lah!!” sapa si kembang sekolah.
“Eh benar ke endak ni, kamek main disini!”
“Benar, nanti kitak bise naik, abis ini.”
Kami mulai panas.
“Eh kau liatlah tu, yang nonton banyak emak-emak bawa anak! Terus itu yang maen Band Dangdut. Kamek nih bawa lagu keras! Hardcore!!”
“Tu kau dengarlah, suare musiknye keras, soundsistem betingkat-tingkat. Suarenye keras sampai ke sungai kapuas!” Jawab si cewek dengan polos.
“Palak Hotak die, yok boy cabot!”
Dengan perasaan kesal kami minggat tak jadi nampil.
“Eh Do” bisik si cewek.
Aku mulai Ge-Er, “Ape?”
“Resleting kau terbuka.”
Maaak… Malunye, berarti selama turun dari motor, udah keliatan banyak orang. Pantas emak-emak ade yg ngelirik sambil senyum-senyum. “Balek Wak, Ngopi Jak Kite!!!”.
Pesanku:
“Kami Band Hardcore! Band beraliran musik keras, dan terkadang keras dengan suara dan pesan-pesan yang kami menantang! Tapi, kami tahu diri. Kami tak mengotori telinga mereka yang tak ingin, atau tak layak mendengar musik kami (seperti emak-emak, dan anak-anak). Kami punya panggung sendiri! Kami punya pendengar sendiri! Kami ada karena selalu didengar!”
***
“Mengapa musisi kini akan diatur dalam RUU Permusikan?!!”
Pertanyaan ini mengganggu saya, semenjak beberapa hari kemarin. Saya yang dulu pernah menjadi anak Band, mungkin akan membuat aksi serupa jika RUU itu bergulir.
“RUU Permusikan membatasi ruang gerak berekspresi dalam bermusik.” Saya setuju ini.
JRIX SID dan Seringai Band juga sejalan. Diajukan oleh Kami Musik Indonesia pada 2017, RUU Permusikan menjadi prioritas DPR tahun ini. Draf yang dibuat, banyak pasal-pasal yang terlihat aneh.
Terutama di Pasal 5, terulis:
‘Musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan, serta melawan hukum, membuat konten pornografi, memprovokasi pertentangan antarkelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya asing dan merendahkan harkat serta martabat manusia.’
Sejumlah musisi menganggap pasal ini bisa membelenggu kebebasan berekspresi musisi. Terlebih adanya Pasal 50, yang mengatur hukuman penjara dan denda bagi yang melanggar Pasal 5.
“Saya menolak pasal-pasal yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi.” Ungkap Glenn Fredly, saat menghadiri diskusi terkait Rancangan Undang Undang (RUU) Permusikan, di Cilandak Town Square, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (4/2/2019).
Anggota komisi X DPR RI sekaligus musisi Anang Hermansyah, yang sangat kental menyuarakan RUU Permusikan pun akhirnya angkat suara, “mengenai kebebasan yang dibatasi isinya macem-macem. Ada 8 poin. Draf ini bisa nggak dirubah? Bisa! Makanya masukan tadi apakah Pasal 5, nanti kalau didiskusikan bersama-sama bisa didrop dengan keputusan bersama.”
Namun, menurut pemikiran saya pribadi. Ini bukan sekedar pasal-pasal kontroversial. Ini lebih kepada bisnis yang membatasi ruang gerak. Pemusik Independent yang kini sudah tak lagi melirik Mayor Lable, sudah sejak lama gerah dengan aturan-aturan yang mengekang kreativitas demi melirik pasar yang lebih luas.
Band-band indie yang idealis gerah. Mereka buat lable sendiri, lalu laris. Sedangkan Mayor Lable kini semakin sepi peminat. Terlebih kini siapa saja bebas memanfaatkan YouTube untuk mengunggah video clip garapan sendiri. Jika diatur, maka akan ada badan hukum yang menyediakan fasilitas untuk berekspresi. Mayor Lable kembali mengiming-imingi untuk memfasilitasi, agar tidak terjerat hukum.
Jadi menurut saya, tak harus ada RUU Permusikan. (T)