ADA enam flm pendek produksi devisi film Mahima Institute Indonesia (Komunitas Mahima) diputar di Kedai Kopi Dekakiang dengan tema “BERTUMBUH”, Senin malam, 2 Juni 2025. Film-film itu meliputi jenis film dokumenter dan fiksi.
Untuk film berjenis dokumenter, antara lain; “Rita” (2018) garapan Eka Prasetya, “Tirta Peneduh Gumi” (2020) digarap oleh Kardian Narayana, dan “Belajar Pada Pandemi” (2021) digarap bersama Kardian dan Eka.
Sementara pada jenis film fiksi; “Ai’r” (2023) dan “Renjana” (2023) digarap oleh Dian Suryantini, dan “STORY” (2019) oleh Eka Prasetya.
Acara itu diinisiasi oleh Komunitas Singaraja Menontondalam acara “Layar Kolektif Bali Utara” 2025.

Adegan dalam film Story | Foto: Singaraja Menonton
Di film “STORY”, Eka Prasetya membawa fenomena yang sedang musim ketika itu, 2019, yang mungkin juga sangat musim tahun sekarang, 2025, yaitu fenomena orang-orang membagikan cerita pribadinya di media sosial Instagram terkait sembahyang.
Baik itu cerita ketika hendak sembahyang, setelah sembahyang, atau saat sembahyang sekalipun. Dalam film itu, peran utama dimainkan Ni Made Celin Darayani sebagai Celin, yang membagikan ceritanya ketika hendak melukat bersama satu temannya yang juga perempuan.
Celin seakan menikmati ketika semua berhasil diperlihatkan melalui media sosial, dan juga beberapa cerita kesehariannya.
Dengan cara stalking, seorang pria di sebuah kedai, menonton diam-diam tentang keseharian Celin melalui layar hape.

Suasana menonton di Kedai Dekakiang | Foto: Singaraja Menonton
Baik sambil duduk di kedai, atau di toilet sambil pegang hape—buka instagram, teknologi seakan menyediakan kemudahan tanpa tembok yang panjang dan besar untuk saling tahu satu sama lain. Yang penting tidak malas scroll saja, dan saling mengikuti di media sosial.
Tapi, perlukah hubungan dengan Tuhan (urusan vertikal) secara pribadi, mesti diketahui banyak orang? Jika memang perlu, di mana letak kesunyian doa sekarang?
Tapi akhir-akhir ini, barangkali hal semacam itu memang sudah bukan lagi sebuah fenomena yang ganjil.


Suasana menonton di Kedai Dekakiang | Foto: Singaraja Menonton
Sehingga seorang teman menimpali soal itu, bisa sakit kepala manusia modern jika tak unjuk gigi; punya cerita (dalam bentuk foto atau video saat pergi kemana) tapi tidak di up di media sosial.
Lebih parah lagi jika tak ada postingan apapun di instagram, orang-orang bisa saja mengira orang itu nolep, dan lebih parah lagi bisa dianggap sudah mati.
Melalui film itu, Eka Prasetya sebagai sutradara, seakan mencurigai ruang privat manusia sudah mulai tak dianggap penting. Ketika manusia sudah mengumbar semua apa yang ia punya atau lakukan, sebagai bentuk “keberadaan” dirinya untuk sebuah citra, yang semakin ke sini, keasliannya mesti diragukan.
Sehingga dari citra yang dibangun melalui media sosial, bisa saja setiap orang menjadi penipu di akhir pekan.

Adegan dalam film Story | Foto: Singaraja Menonton
Satu perempuan bernama Celin, upload story dirinya sedang bersama temannya itu, halo kita mau melukat, setelah dijumpai di rumahnya oleh lelaki yang kepo tadi, ternyata ia baru saja bangun tidur dengan rambut belum disisir sambil pegang hape di beranda rumah.
Tapi, apa yang menjadi daya dorong manusia modern melakukannya?
Kemarau Panjang di Seluruh Pelosok Mata Petani
Berbeda dengan film “Ai’r” garapan Dian Suryantini tahun 2023, walaupun tetap mencolek (pengaruh) teknologi pada manusia, tapi yang ini terkait Artificial Intelegen, lebih edan lagi soal kecanggihannya.
Artificial Intelegen, atawa AI, adalah mesin berfikir yang bisa diperintah manusia. AI tahu banyak hal, dan bisa mau melakukan apa saja yang penting perintahnya jelas.
Dan beberapa tahun ke belakang memang sedang musim orang-orang menggunakannya. AI biasa digunakan oleh orang yang mandek soal ide dan pengetahuan, biasanya digunakan oleh orang dewasa ketika hidupnya ngebut soal kerja—tapi malas berfikir, atau tak ada waktu untuk berfikir dan mencari ide.
Dengan kecanggihan zaman, orang-orang tak mesti pergi ke orang pintar, ia akan menghubungi AI secepat kilat. Kelar semua urusan.

Adegan dalam film AI’r | Foto: Singaraja Menonton
Tapi, ada banyak alasan mengapa orang menggunakan AI sebagai teman kemudahan saat genting. Salah satunya seperti pada seorang bocah dalam film “AI’r” itu, diperankan oleh Kadek Kayu Hujan, yang ingin tahu bagaimana caranya bertani, menjadi petani seperti kakeknya.
Ia ngebet sekali pengen jadi petani, pengen tahu soal cara bertani seperti yang dilakukan kakeknya di kampung.
Karena jarak rumahnya dengan rumah si kakeknya itu jauh, sehingga tidak bisa bertanya secara langsung, maka bocah itu berdayakan AI sebagai media belajar.
“AI, gimana caranya jadi petani seperti kakek?” Begitu kira-kira pertanyaan bocah itu dengan AI.
“Harus punya cangkul dulu dan arit. Lalu pergi elu ke ladang.” jawab AI kepada bocah itu (saya tidak ingat bagaimana isi kalimat sebenarnya, tapi kira-kira demikianlah isi percakapan mereka).
Maka, setelah mendapat ilmu baru dari AI, bocah dengan wajahnya yang unyu itu, polos, segera pergi ke ladang membawa cangkul dan arit. Setelah di ladang, ia tampak sekali kebingungan. Padahal arit dan cangkul sudah ditangannya siap digunakan.
Bocah itu, dengan kira-kira umurnya masih sembilan tahun, ia terdiam sejenak, mengulum kebingungan; setelah ini ngapain, ya? Lantas ia lari ke rumahnya, duduk di sofa, menghadap tablet sebesar talenan. Segera bocah itu rewel–bertanya lagi pada AI dengan cara mengetik.
Di proses pertanyaan itu dan setelah dijawab si mesin pintar, bocah itu mendapatkan segudang ilmu tentang ilmu bertani, bahwa, salah satunya ladang harus cukup air. Tidak boleh kering.
Nyali si bocah seolah semakin kenceng dan semangatnya dalam bertani siap tempur. Lantas ia pergi ke ladang yang lebih luas.

Adegan dalam film AI’r | Foto: Singaraja Menonton
Sesampainya di sana, hanya ada ladang luas–kering bocah itu temukan. Ia melihat pohon undis dengan batang kering dan buahnya yang kering.
Sambil menatap ladang yang kering itu, buah undis ia mainkan di pohonnya yang mati, terdengar bunyi biji kering di buahnya ketika tergoyang.
Terbayang oleh bocah itu jika seseorang sedang gagal panen setelah ladangnya dihantam kering air.
Harusnya, di ladang itu, musim itu, petani panen raya buah-buah undis. Tapi ketidakpastian musim, jadinya petani hanya memanen kesedihan sendiri pada ladangnya yang kering.
Tahun 2023, fenomena kekeringan memang menjadi fenomena gigit jari bagi seluruh petani di dunia. Tidak sedikit yang ampun-ampunan soal kerugian mereka karena gagal panen akibat kekeringan itu di tanah ladang, atau sawah-sawah.
Para ahli menyebut fenomena ketika itu adalah Elnino, yaitu pemanasan suhu muka laut di atas normal di Samudra pasifik (bagian tengah dan timur) yang menyebabkan kemarau panjang di seluruh pelosok mata para petani.
Ladang yang kering dengan batang pohon dan gulma yang kering ditatap bocah itu, maka bertanya ia pada AI sepulang dari ladang, “bagaimana perasaan si kakek kalo gagal panen?”
“Pasti sedih!” jawab AI.
Lantas bocah itu bertanya lagi, bagaimana caranya menjadi petani agar sukses?
Dengan penuh menggurui dan sangat yakin AI menjawab, “Kerja keras!”
Di situ saya greget. AI brengsek! Tak ada petani yang tidak bekerja keras di dunia ini. Tapi justru, ulah siapa jika iklim selalu tidak memberi kepastian pada petani? [T]
Repoter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: