“Creativity is piercing the mundane to find the marvelous.” – Bill Moyers
Rombongan anak mengikuti ekskursi sekolah, sorak sorai siswa-siswi menemukan vending machine, para lansia berjalan perlahan menikmati kebersamaan, lahapnya siswi menikmati camilan sambil menunggu kereta berangkat, hingga interaksi kecil di kedai takoyaki. Mereka adalah sekian potret keseharian yang menjadi bagian dari pengalaman tubuh dan pikiran Naela Ali tentang kota-kota di Jepang, yang tak henti-henti berdenyut dalam kesibukan dan dinamikanya, namun justru menyimpan ruang-ruang keheningan yang melimpah dan jarang disadari.
Naela menangkap kesadaran itu. Maka sebagai seorang pencerita tulen, sudah kodratnya untuk kemudian Naela menumpahruahkan tiap detil dari apa yang telah ia amati dan alami ke dalam kanvas-kanvasnya sebagai catatan, pengingat, sekaligus pelipur lara bagi hatinya yang barangkali selalu merindukan rasa ramen dan takoyaki hangat pada musim gugur di Fukuoka.
Naela Ali di antara lukisannya yang dipamerkan di Ruang Arta Derau (RAD), Tegallalang, Gianyar | Foto: Roll Roland
Bila kita cermati, apa yang tampil dalam karya-karya Naela sesungguhnya bukan pokok persoalan yang penuh gejolak, sensasi, lantang, dan penuh kegemparan. Sebaliknya, karya-karya Naela justru lebih sering merayakan dan mengagungkan nilai dan keindahan dari keseharian yang biasa, apa adanya, tetapi pada sisi lain menyimpan berbagai kedalaman yang tak terduga. Sehingga tanpa perlu bergantung pada peristiwa dramatis sekalipun, Naela akan tetap mampu mengartikulasikan dimensi “lain” dari keindahan yang bisa jadi hanya dapat ditemukan di dalam rutinitas sehari-hari. Persis seperti rangkaian potret-portret yang telah diungkap pada awal tulisan pengantar ini.
Baik menulis maupun melukis, nampaknya Naela memang telah bulat menyimpulkan bahwa narasi yang menarik tidak mutlak disusun oleh peristiwa-peristiwa yang monumental. Tetapi juga tumbuh dari momen-momen keseharian yang biasa-biasa saja, luput dari lirikan mata, hingga seringkali disepelekan.
Inilah premis sederhana yang kini tengah bolak-balik dieksplor oleh Naela melalui karya-karyanya. Termasuk 13 lukisan Naela yang tampil dalam pameran tunggalnya di Bali mulai 15 Desember 2024 hingga 16 Februari 2025, berkolaborasi dengan Ruang Arta Derau (RAD)–satu lagi kantong segar untuk seni rupa Bali yang digagas dan diaktivasi sejak tahun 2023 oleh perupa Sekar Puti di Kedisan, Tegallalang, Gianyar, Bali. Lukisan dengan pilihan pokok persoalan sederhana nan kontemplatif ala Naela yang dibingkai dalam tema “The Beauty of The Mundane” ini diniatkan untuk memungkinkan hadirnya kesadaran serupa pada yang mengamati.
Naela Ali. A Glace to the Past. 60 x 80 cm. Acrylic and Oil on Canvas. 2024 | Foto: Roll Roland
Apabila kita tarik mundur, pandangan Naela tadi merupakan akumulasi atau efek dari sekian perjalanannya–khususnya pada tahun 2023 lalu–ke negeri Jepang untuk mengikuti program residensi seni di sebuah area pedesaan Fukuoka. Perjalanan tersebut telah mengubah pandangan Naela menyoal kemewahan dan kedamaian. Kemewahan yang barangkali di kampung halaman Naela, Jakarta–yang tak kalah sibuk dan dinamis, musti dikaitkan dengan materiil atau prestise semata. Namun di Jepang, Naela menyadari betul bahwa ketenangan, kesederhanaan, dan ruang refleksi adalah kemewahan yang jauh lebih mendalam, yang sebenar-benarnya. Kesempatan dan pengalaman empirik tersebutlah yang kemudian mendorongnya untuk mengapresiasi dan menyadari pentingnya momen-momen kecil dalam hidup.
***
Naela adalah tipe pelukis yang tidak senang bertele-tele. Membaca alam pikiran dan metode berkesenian Naela, kita akan segera menemukan bagaimana konsep “keseharian” yang ia angkat sebagai tema utama dalam karyanya diterjemahkan pula dengan dua pendekatan utama yang cenderung menampilkan apa yang ia lihat dan rasakan secara langsung tanpa interpretasi simbolik dan ‘hiasan’ yang berlebihan.
Yang pertama, lihat misal bagaimana Naela menyorot pokok figur (ekspresi, gestur, kondisi) pada lukisan “A Day in Nara Park”, “Blue Silence”, atau “A Field Trip to Remember”. Apa yang muncul dalam bidang gambarnya sebagai objek utama yaitu cutout satu atau lebih figur yang disusun diantara setting bidang warna tegas dan padat khas sifat warna cat akrilik dan minyak. Meski figur diniatkan hadir sebagai fokus utama dalam ide beberapa karya tersebut, elemen warna yang hadir sesungguhnya juga mendominasi sebagian besar bidang kanvas. Warna-warna itu ditugaskan Naela untuk membagi dan membatasi objek utama dengan latar belakang dan alas tempat figur diletakkan.
Naela Ali. A Field Trip to Remember. 50 x 60 cm. Acrylic on Canvas. 2024 | Foto: Roll Roland
Namun persoalan warna pada latar bagi Naela memiliki dimensi lain. Dalam diskusi kami, Naela mengungkapkan bahwa melalui penggunaan warna-warna latar yang padat ia tengah berusaha membangun kembali suasana hati yang terjalin erat dengan ruang dan waktu yang ia alami secara langsung. Sehingga warna dalam konteks lukisan Naela juga menjadi jembatan emosional yang memanggil kembali kenangan (reminiscing) yang terendap dalam alam bawah sadarnya. Lihat semisal bagaimana warna hijau lembut (muted green) yang membentang dalam kanvas Naela diwujudkan untuk membawa suasana angin sejuk musim gugur yang menandai setiap momen kedatangan Naela ke Jepang.
Pendekatan lain dalam lukisan Naela yang cukup kontras dengan deskripsi sebelumnya juga musti disinggung. Lihat misal karya “A Glance to the Past”, “A Day at the Croquette Stand”, dan serupanya. Naela cenderung menyalin objek yang ia amati secara utuh untuk segera menyampaikan gagasan utamanya. Dasar Naela memang tidak senang bertele-tele. Sehingga jika berhadapan langsung dengan lukisan tersebut, kita bisa langsung menangkap pengalaman personal Naela tentang toko buku tua di Kyoto yang kini hilang tergerus waktu, serta hangatnya sajian kroket dari penjaga toko yang setia pada profesinya. Meskipun dalam pendekatan ini pun penggambaran figur tidak dapat lepas dari lukisan Naela, benturan antara bangunan arsitektur Jepang dan elemen modern yang kemudian menjadi karakter umum dalam setting-setting lukisannya Naela tak kalah mencuri perhatian.
Bagi Naela, proses menyalin objek (mimesis) bukan sekedar memindahkan momen yang telah ia bekukan melalui lensa kameranya kedalam bidang kanvas. Melainkan juga proses untuk refleksi mendalam pada pengalaman yang telah membentuk visi estetikanya. Dengan bantuan fotografi, Naela dapat menjaga ingatannya tentang keseharian di Jepang atau momen-momen berharga lainnya agar tetap hidup dan dapat dikupas pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu, Naela tidak hanya mereproduksi apa yang dilihat, tetapi juga menciptakan interpretasi pribadi yang melampaui sekadar representasi visual.
Naela Ali. A Day In Nara Park. 50 x 100 cm. Acrylic on Canvas. 2024 | Foto: Roll Roland
Pendekatan Naela juga mengingatkan saya pada konsep flaneur (penjelajah kota) yang diperkenalkan oleh penyair Charles Baudelaire. Ia menyoroti sosok pengamat yang memilih melihat dunia luar sambil tetap menjaga jarak dengan subjek yang diamatinya. Flaneur menggambarkan individu yang senantiasa menjalani kehidupan dengan santai, menyerap pengalaman estetis, dan mengamati kehidupan sosial sebagai bentuk refleksi seni. Naela secara tidak langsung seperti mengadopsi sikap flaneur tersebut. Ia terlibat dalam mengamati momen-momen kecil tanpa sepenuhnya mendekat pada subjek yang digambarkan. Hal ini tampak pada karya-karyanya yang banyak mengambil sudut pandang yang lebih luas, jauh, dan secara sadar tidak menampilkan detail berarti pada penggambaran sosok figur-figur yang kemudian menyisakan ruang imajinasi bagi audiens.
Melalui pendekatan-pendekatan sederhana tadi, kekaryaan Naela menunjukkan bagaimana kreativitas memungkinkan seseorang melihat potensi dan keindahan dalam situasi atau fenomena keseharian yang biasa-biasa saja, dimana kedamaian dan ketenangan itu ternyata banyak bersembunyi. Seperti yang banyak dikutip orang dari Bill Moyers, “Creativity is piercing the mundane to find the marvelous”. Tentu kreativitas, lalu keindahan itu, ia tak terbatas hanya ada di Jepang, tetapi juga pada setiap sudut tempat yang kita saksikan.
Naela melalui karya-karyanya, seolah ingin menepuk pundak kita. Mengingatkan kita bahwa “ia” bisa ditemukan dengan berjalan kaki, berinteraksi, bahkan menikmati waktu luang sebagai sesuatu yang layak dirayakan dan dihayati lebih dalam. “Mari berhenti sejenak, menarik nafas, melihat sekitar, dan menemukan keindahan dalam keseharian yang bersahaja.”[T]
Di antara Jimbaran – Batubulan, Desember 2024
Vincent Chandra (penulis/kiri) bersama Naela Ali dalam pameran di Ruang Arta Derau (RAD), Tegallalang, Gianyar | Foto: Roll Roland
- Tentang Naela Ali (b.1992)
Naela Ali adalah pelukis, ilustrator, dan penulis yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Beragam karyanya telah direkognisi dalam event internasional termasuk London Book Fair dan Singapore Art Book Fair. Saat ini, Naela berfokus pada karirnya sebagai seorang pelukis dengan menantang nilai dan konsep keindahan dari keseharian dan hal-hal biasa. Pada tahun 2023, Naela mengikuti sebuah program residensi di Fukuoka-Jepang, yang kemudian mempengaruhi cara pandanganya terhadap banyak hal termasuk berkesenian itu sendiri. Bagi Naela, melukis dan menulis adalah ruang khusyuk untuk menyelami ingatan dan pengalaman estetiknya. Karya-karya Naela mendorong kita untuk berkontemplasi dan menghargai detail-detail subtil dalam kehidupan manusia.
Penulis: Vincent Chandra
Editor: Adnyana Ole