JIKA ada yang beranggapan bahwa Bali memiliki pantai yang indah, sawah yang asri, dan budaya yang lestari; tentu tidak keliru. Namun anggapan itu belum seutuhnya lengkap. Bali juga memiliki sejarah yang tak kalah seru untuk dipahami wisatawan.
Di balik gemerlap pariwisata Bali, ada sisi kelam sejarah masa lalu yang memilukan. Pariwisata Bali terbangun atas sejarah masa lalu di awal tahun 1900 hingga tahun 1965. Banyak kisah heroik masyarakat Bali, namun ada pula tragedi kemanusiaan yang tidak terlupakan hingga kini.
Tahun 1965 – 1966 terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituding sebagai komunis dan Soekarnois. Tanpa proses pengadilan, sekitar 80 ribu orang Bali harus kehilangan nyawa oleh kekejaman rezim Orde Baru. Jumlah tersebut sepadan dengan 5% penduduk Bali saat itu, dan merupakan jumlah terbanyak dibanding daerah lain di Indonesia.
Menyikapi tragedi 1965, dua bersaudara Agung Alit dan Degung Santikrama mendirikan Taman Baca Kesiman (TBK) dan Taman 65 di Jalan WR Supratman, Kesiman, Denpasar Timur, tempat tinggal mereka. Taman yang mereka dirikan sebagai upaya melawan lupa atas peristiwa pembantaian massal di Bali pada tahun 1965.
Bukan tanpa alasan mereka mendirikan TBK dan Taman 65 itu. Ayah mereka, I Gusti Made Raka yang berprofesi sebagai seorang guru, dan lima anggota keluarga lainnya tewas dalam pembantaian tahun 1965 – 1966. Tanpa proses pengadilan dan tanpa tahu apa kesalahan mereka, ayah dan keluarga mereka dibunuh secara sadis.
Tidak hanya TBK dan Taman 65, Agung Alit juga memprakarsai Historical 65 City Tour, sebuah program wisata dalam kota untuk menapaki jejak kelam Bali di masa lalu. Wisatawan yang kebanyakan bule diajak untuk melihat Bali bukan hanya dari sisi gemerlap pariwisatanya saja.
Apa yang digagas Agung Alit sesungguhnya mirip dengan dark tourism atau wisata kegelapan. Banyak negara yang mengembangkan dark tourism ini untuk mengenang suatu tragedi. Kekuatan wisata sejarah dan wisata kegelapan terletak pada narasi yang menjelaskan secara detail sejarah setiap tokoh, tempat, dan peristiwa.
Ide Awal Coba-Coba
Historical 65 City Tour tidak dirancang secara serius. Komunitas 65 dan Agung Alit awalnya menggagas Alternative City Tour pada tahun 2018. Agung Alit sekadar mencoba saja ide program tour itu. Ternyata gagasan tersebut direspons secara positif oleh wisatawan asing. Sebagian besar peserta tour ini adalah mahasiswa dan teman-teman bule Agung Alit yang mengetahui tentang peristiwa tahun 1965.
Kepada penulis, Agung Alit menjelaskan Historical 65 City Tour ini mencoba untuk menyajikan info yang balance tentang Bali, tidak hanya romantic side-nya saja, namun juga sadistic side- nya. Menurut Agung Alit, tour ini spiritnya total pembelajaran sejarah untuk tidak dilupakan dan demi keadilan dan kebenaran sejarah, bahwa pariwisata Bali juga dibangun di atas tetesan darah korban genosida.
Perjalanan pariwisata Bali yang gemerlap kini, tidak lahir begitu saja. Perjalanan industri pariwisata Bali berangkat dari massacre-mass grave menuju mass tourism dan akhirnya menciptakan mass problem, begitu Agung Alit menggambarkan.
Rute Tour
Perjalanan Historical 65 City Tour hanya memakan waktu sehari. Berwisata keliling kota diawali dari Taman Baca Kesiman (TBK), memberi penjelasan kepada peserta tentang masa lalu Bali yang ditampar kolonialisme dan imperialisme Belanda yang menyusup lewat pantai Sanur dengan kapal Sri Komala tahun 1904, selajutnya memicu Perang Puputan Badung pada tahun 1906.
Perjalanan dilanjutkan menuju monumen Bajra Sandhi yang terletak di kawasan Renon, Denpasar. Monumen yang dibangun tahun 1987 itu berbentuk seperti Bajra atau Genta, yang digunakan oleh para pendeta Hindu dalam ritual keagamaan. Dibangun untuk mengabadikan perjuangan rakyat Bali melawan penjajahan.
Setelah itu wisatawan diajak menuju bekas penjara Pekambingan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1916. Lokasi bekas penjara itu kini menjadi pusat perbelanjaan modern di Jalan Diponegoro, Denpasar. Alih fungsi bekas penjara menjadi pusat perbelanjaan itu menurut Agung Alit semacam perilaku pelenyapan memori sejarah oleh ketidakpedulian akan memori masa lalu.
Dari bekas penjara Pekambingan wisatawan diajak menuju kota tua Denpasar untuk merasakan sentuhan Jalan Gadjah Mada, yang pernah dilewati Charlie Chaplin dan Rabindranath Tagore, serta menikmati keriuhan pasar Kumbasari yang dulu dikenal dengan nama Peken Payuk.
Kemudian wisatawan menuju alun-alun Puputan Badung yang dipercaya sebagai tempat leluhur orang-orang di Denpasar, laki-laki dan perempuan yang marah mengusung keris, dan melempari wajah kolonialis Belanda dengan uang logam pada 1906. Setelah itu singgah sejenak melihat keunikan pasar burung, menyaksikan burung dan aneka unggas dikerangkeng seperti layaknya tahanan politik 65 yang dikerangkeng tanpa proses pengadilan.
Perjalanan menelusuri sejarah kelam Bali belum berakhir. Wisatawan diajak melacak perjalanan sejarah bengis Orde Baru (Orba) melakukan pembantaian orang-orang yang dituding komunis dan Soekarnois. Mereka diparadekan dari alun-alun menuju Jalan Patimura-Kesiman dan menuju ladang pembantaian massal di kuburan desa adat Tembau, Denpasar.
Historical 65 City Tour berakhir di Taman 65. Acara diisi dengan minum kopi sore dan nonton film pendek karya anak-anak komunitas Taman 65, dan diisi dengan sedikit questions and answer atau tanya jawab untuk pembelajaran sejarah yang adil dan benar kepada peserta tour, sembari melawan lupa.
Donasi
Agung Alit dan komunitas 65 tentu tidak hendak larut dalam hingar-bingar gemerlap pariwisata Bali. Historical 65 City Tour tidak bermaksud hanyut dalam turisfikasi sejarah. Apalagi sisi kelam tragedi 65 tidak dapat ditakar dengan besaran materi apa pun. Maka, wisata sejarah ini tidak dipromosikan secara masif seperti layaknya objek dan daya tarik wisata lain di Bali yang kapitalistik.
Wisata sejarah 65 dalam kota Denpasar itu semata bertujuan untuk menyajikan informasi yang berimbang tentang Bali yang sudah mendunia. Bali tidak cukup hanya dilihat dari sisi romantisnya saja, namun juga sisi sadisnya. Keindahan pariwisata Bali juga diwarnai oleh kelamnya tragedi 1965.
Untuk itulah, Historical 65 City Tour tidak menetapkan tarif bagi wisatawan. Apalagi mereka yang tertarik dalam program wisata ini adalah wisatawan yang memang sudah memiliki preferensi tentang sejarah.
Wisatawan yang mengikuti tour selama ini berasal dari berbagai negara. Mereka hanya memberikan donasi secara sukarela. Besarnya donasi berkisar 30 dollar AS per orang, dengan peserta sekitar 5-8 orang. Hampir semua wisatawan yang menikmati tour ini merasa terkesan, karena Bali yang selama ini menjadi destinasi wisata populer di dunia juga menyimpan sejarah menyedihkan.
Historical 65 City Tour hendak mengabarkan kepada dunia, bahwa di balik gemerlap pariwisata Bali ada kisah kelam yang mungkin dimaafkan, tetapi tidak pernah dilupakan. Sebagaimana semboyan Taman 65: Forgive But Never Forget. [T]
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU