BANGUNAN historis bekas kantor pos Surabaya berbentuk aula terbuka dua lantai disulap menjadi ruang pamer dengan menggunakan skala kursale—ruangan seluas 3900 meter persegi untuk satu pameran besar—bisa dibayangkan besarnya biaya dan kerja keras art handling memasang banyak panel putih untuk display karya, memasang banyak air conditioner (AC), juga memperbaiki ubin rusak yang terlihat jelas dari tambalan di lantai.
Untuk saya pribadi, idealnya membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menikmati sekitar 200 karya dari 154 seniman—dengan cara melihat sepintas dan tidak banyak berfoto seperti pengunjung lain— untuk perhelatan seni rupa berskala nasional berjuluk ARTSUBS yang baru pertama kali digelar di Surabaya pada 26 Oktober-24 November 2024 di Pos Bloc, daerah Kebon Rojo, Kembangan Selatan.
Perhelatan ARTSUBS mengambil tema “Ways of Dreaming” atau diartikan “aneka jalan mimpi.” Makna mimpi tersebut, ungkap Nirwan Dewanto sebagai kurator pameran dalam wawancara di laman ARTSUBS bahwa bermimpi yang dimaksud adalah mimpi tentang lanskap seni rupa kontemporer yang lebih meriah dan lebih dari itu mendekatkan seni rupa kepada publik atau publik ke seni rupa.
Terutama ketika kita menengok infrastuktur ruang seni di Indonesia dengan museum seni rupa yang belum berjalan baik dan masih sangat sedikit. Nirwan menyakini bila pameran-pameran besar merupakan sebuah jawaban atas kelangkaan tersebut, karya-karya seni rupa itu adalah cara kita berimajinasi atau bermimpi tentang realitas masa kini dan masa depan.
Selain itu, dreaming dimaknai Nirwan sebagai mimpi dan harapan bahwa kegiatan seni rupa tidak hanya berlangsung secara sentral di Yogyakarta, Jakarta, Bali atau Bandung tetapi juga munculnya lokasi-lokasi baru dan situs-situs baru seni rupa kontemporer, dalam hal ini Surabaya. Seperti event serupa Art Fair yang dikenal seperti ARTJOG, Art Jak, Biennale Jogja, waktunya Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia unjuk gigi melalui ARTSUBS.
“Bila tema ARTSUBS 2024 ini adalah Ways of Dreaming, maka kami ingin mengatakan bahwa karya-karya seni adalah berbagai cara mimpi, refleksi, fantasi dan imajinasi, baik secara pribadi dan sosial, tentang berbagai masa kini dan masa depan. Berbagai cara untuk lebih inovatif dalam berbagai bidang kehidupan.” Ungkap Rambat, pengelola Jagad Gallery yang berperan sebagai penggagas dan direktur utama ARTSUBS.
“The Currents” karya Ni Nyoman Sani | Foto: Selvi Agnesia
Lebih lanjut, kurator dan art director asal Bandung, Asmudjo J.Irianto melalui wawancara di media sosial ARTSUBS memaparkan bahwa ARTSUBS digagas sebagai pameran besar yang mengandung karakter yang bisa disebut sebagai artist fair, berbeda dengan art fair yang umumnya berisi galeri-galeri.
Para seniman diundang langsung untuk memeriahkan ARTSUBS yang didalamnya mengandung gagasan artist fair sebagai pengembangan seni rupa dalam pasar (market) dengan karakter biennale yang mengandung semacam refleksi melihat perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Melalui karakter biennale, ada semacam diskursus atau edukasi yang akan dibagi ke publik. Selain secara khusus untuk penyampaian informasi dipresentasikan dengan baik kepada audience, melalui wall teks dan biodata pada setiap karya. Selain itu terdapat kegiatan komplemen lain seperti diskusi, artist talk, galeri tour, workshop dan curatorial talk.
Karya-karya di ARTSUBS 2024 terbagi ke dalam 11 (sebelas) lingkup gelaran (platform), semuanya untuk menggarisbawahi upaya pemetaan seni rupa kontemporer Indonesia dalam perkembangannya yang paling kini di antaranya: (1) lanskap kontemporer; (2) pasca-tradisi dan pasca-orientalisme; (3) materialitas dan terobosan medium; (4) arus pop dan low brow; (5) objek dan kebendaan; (6) irisan arsitektur; (7) abstraksi dan selebihnya (8) kesosokan baru; (9) fotografi dan cetak grafis, (10) jangkauan ekologi; dan (11) kolektif seni.
“Karya seniman ini kan beragam, jadi kita mappingnya dari mulai karya otonom, lalu partisipatoris, kolaboratif kemudian kolektif ada mappingnya dengan berbagai keragaman di masing-masing kategori” jelas Asmudjo.
Seniman Perempuan dalam Wacana Platform ARTSUBS
Dengan mengacu pada 11 platform tersebut, saya mencoba secara sederhana melakukan pembacaan dengan skala lebih mikro terhadap karya-karya seniman perempuan. Pada sosok 19 seniman dari 154 seniman yang terlibat di ARTSUBS, karya-karya mereka meliputi 10 platform—tidak termasuk platform kolektif seni— yang pasti, menurut Nirwan bahwa “seniman-seniman yang telah terpilih adalah mereka yang sudah punya reputasi tinggi (established), yang sedang tumbuh pesat (emerging) dan yang mulai meraih reputasi (emerging-established), maupun yang pendatang baru.”
Dimulai dari lukisan Mangku Muriati, Lini Natalini dan instalasi pasangan Agus Ismoyo dan Nia Fliam yang merujuk pada platform “Pasca Tradisi-Pasca Orientalisme.”
Menilik lukisan Mangku Muriati, saya terpesona dengan detail dari teknik gaya Kamasan, sebagai gaya lukisan tradisional Bali sejak abad ke-16. Puteri dari Mangku Mura, maestro lukisan Kamasan ini mencoba menyesuaikan gaya Kamasan dengan isu-isu terkini. Tilikan tersebut terlihat dari lukisan kisah Mahabharata berjudul “Sudamala” putera bungsu Pandawa, bersanding dengan salah satunya lukisan berjudul “Wanita Karir.” Sebuah upaya meneruskan warisan leluhur dan beradaptasi dengan fenomena zaman.
Allegory of Cornucopia, karya Maharani Mancanagara | Foto: Selvi Agnesia
Sedikit berbeda dengan karya Lini Natalini Widhiasi dari segi konsep dan media. Dalam corak abstrak figuratif, perupa asal Surabaya ini menggunakan pelat aluminium sebagai bahan dasar. Dalam karya “Resilience” (2024) Lini memperlakukan aluminium dengan berbagai teknik seperti menoreh, memukul, melipat dan teknik lainnya sehingga menjadi bentuk trimatra yang baru.
Sedangkan melalui karya instalasi Agus Ismoyo x Nia Fliam, dijelaskan dalam pengantar karya bahwa mereka berupaya membaca teks visual batik tradisional Jawa yang merupakan ekspresi pengetahuan yang terkandung dalam warisan budaya batik dan mengekspresikannya dalam bentuk kontemporer. Kekayaan ini didasarkan pada hubungan mendalam dengan alam dan diwujudkan dalam ekologi artistik yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan segala bentuk kreativitas seni.
Salah satu platform yang menjadi banyak corak pilihan seniman perempuan di ARTSUBS kali ini yakni “Fotografi dan cetak grafis” dimana keduanya beroleh tempat penting, bukan sebagai arus utama, namun sekadar tambahan—jika dibandingkan dengan seni lukis. Tentu saja, sejak awal kemunculannya, fotografi diakui sebagai karya seni. Para seniman tersebut di antaranya: Arum Dayu, Cecil Mariani, Etza Meisyara dan Utami Dewi.
Pada karya berjuluk “Dragons Praying To Be Dove: A Spliting Self-Portrait as The Great Grandmother” (2024), Cecil Mariani menyertakan paduan karya berupa cetak gumoil dan lembar kerja berbentuk film yang disajikan dalam kotak lampu (neon box). Ini adalah model reproduksi karya dalam seni grafis. Lembar kerja berbentuk film, secara teknis menjadi awal, menuju suatu hasil karya seni cetak, sebagaimana sketsa menjadi gagasan awal sebelum menjelma jadi lukisan. Secara filosofis, saya melihat karya Cecil ingin menyampaikan self-potrait dirinya dan leluhur, seperti yang ia paparkan untuk memberi tempat, agar jejak awal tidak hilang, terbuang. Justru dengan begitu ia dapat berdiri sendiri, bahkan saling menguatkan dengan jejak akhirnya.
Etza Meisyara sebagai seniman intermedia, mencoba menjelajahi kesalingterhubungan manusia, alam dan teknologi. Pada karya “Muted Landscape #1” (2023) berupa foto etsa dan patina pada pelat kuningan. Baginya, logam bukan sekadar media, melainkan penanda hubungan antara yang fisik dan yang metafisik, antara kekuatan alamiah dan respons artistik. Melalui logam, ia menciptakan ruang sonik ketika suara dapat hadir dalam wujud materialnya yang paling kasar sekaligus halus.
Beyond My Wildest Dream (2024) karya Zeta Ranniry Abidin | Foto: Selvi Agnesia
Berikutnya, Ayu Arista Murti satu-satunya seniman yang bermain di platform “Arus Pop” Pada karya “Camoflouge #02 – #03” (2024) dengan material plastik daur ulang, resin, akrilik pada papan PVC. Ayu selalu mengambil tema personal yang beririsan dengan kondisi sosial. Ia adalah seniman yang punya perhatian besar pada isu-isu lingkungan hidup, peran penting perempuan, dan bagaimana manusia bertahan dan keluar dari situasi sulit. Karya-karyanya menggunakan beragam bahan dengan warna-warna cerah demi mencapai kualitas lukisan abstrak yang sedap dipandang mata.
Adapun perupa perempuan yang beririsan pada platform “materialitas dan terobosan medium” yaitu Cecilia Patricia Untario, Faelerie dan Theresia Agustina Sitompul. Pada instalasi karya “Kelahiran Kembali” (2024), Theresia berkolaborasi dengan Pable Indonesia untuk membuat karya grafis dengan bahan material kain, border dan drypoint.
“Saya tertarik karena mereka punya made to be again. Jadi kayak solusi yang berkelanjutan mereka menjadi sampah sebagai bahan baku, mengelola limbah tekstil menjadi produk baru lagi” jelas There dalam wawancaranya melalui laman instagram ARTSUBS.
“Bloody Rhythm” karya Faelerie dalam ARTSUBS 2024 menampilkan sebentang “kain” yang menggambarkan bayangan tubuh-tubuh manusia, sepenuhnya berwarna merah. Di situ, hanya tangan-tangan dan kaki-kaki yang terlihat gamblang. Melalui teknik seni rajut dan bahan poliester, Faelerie ingin menghadirkan gambaran setengah abstrak yang merepresentasikan kerapuhan tubuh manusia.
Eunike Nugroho, satu-satunya seniman yang terpilih mewakili karya dengan platform “Jangkauan Ekologi.” Seniman yang mendirikan Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA) menampilkan kembali alam tumbuhan di atas kanvas dan kertas, gambar-gambar botani Eunike Nugroho hadir dengan rupa yang teliti dan terperinci. Dengan itu ia berharap karyanya dapat memberi suara bagi makhluk yang bisu, tetapi teramat penting bagi kehidupan.
Pada platform “Kesosokan Baru” dimana manusia menegakkan citra dirinya sebagai makhluk berjiwa, atau wujud spiritual. Maka seni rupa kontemporer memberi kita puing-puing jiwa yang menggapai masa lalu, raga masa kini yang tidak punya sejarah, hingga roman muka yang terlalu lekas terdampar ke masa depan. Itulah sosok-sosok kita—di dunia nyata dan dunia maya, yang entah apa lagi bedanya.
Selaras dengan platform tersebut, Maharani Mancanagara membawakan karya dari seri testimonial objects “sebagai seri lukisan sebelumnya.
“Bagaimana saya melihat lukisan-lukisan based relief di Eropa menjadi diterapkan di Indonesia, seperti apa dan bagaimana setiap benda memiliki makna-makna tersendiri” ungkap Rani. Yang menarik dari karya-karya Rani, secara teknik Ia bukan hanya menggrafis, tetapi juga menggambar, melukis dan membangun instalasi di atas permukaan kayu.
Dragons Praying To Be Dove” A Spliting Self-Portrait as The Great Grandmother (2024) karya Cecil Mariani | Foto: Selvi Agnesia
Bila Rani mengangkat objek kesosokan baru dalam konteks sejarah. Lukisan Zeta Ranniry Abidin mengambil objek dirinya sendiri. Lukisan seniman asal Surabaya ini mendekati realisme fotografis dibaurkan dengan benda-benda lain dalam pelbagai posisi dan sudut pandang. Atau, ia memasukkan ikon-ikon budaya populer Korea yang membuat lukisan-lukisannya dekat dengan anak-anak muda.
Selanjutnya, dalam konteks seni rupa kontemporer, abstraksi menawarkan alternatif yang lebih luas dibandingkan abstrak murni, tanpa terikat pada pencarian esensi tunggal. Tanpa orientasi menuju satu esensi, abstraksi dalam seni rupa kontemporer memberikan berbagai
kemungkinan gaya. Serupa lukisan Ni Nyoman Sani berjudul “The Currents” (2024) berwujud kanvas putih besar dengan titik-titik yang saling berkaitan. Yang ketika dilihat dari perspektif yang berbeda terlihat kesan pola-pola yang dibentuk menyerupai pola alam. Bisa jadi aliran laut, awan, bulir padi atau tiruan alam lainnya.
“Gagasan karya saya masih ada hubungannya dengan Tranquility, jadi ada seri di UOB yang sekarang tema nya saya ambil dari arus atau The Current ungkap perupa kelahiran Sanur, Bali. Ia menjelaskan bahwa dengan tema Ways of Dreaming, membuat dirinya bisa menjelajah dengan bebas, selain ARTSUBS menurutnya menjadi roda pintu pertama dan menjadi pembuka di Surabaya untuk menjadi tonggak sejarah untuk event-event seni rupa selanjutnya.
Adapun platformdari seniman perempuan lain, selain yang dipaparkan di atas diantaranya: Dea Widya yang fokus pada aspek-aspek sejarah, produksi spasial, ingatan dan naratif dalam platform Irisan Arsitektur, Dewi Fortuna Maharani pada lanskap kontemporer melalui pemandangan yang tergambar dalam lukisan “Folding into Repeat” yang dibingkai melalui foto, ketika dirinya berhadapan dengan lanskap lautan beberapa tahun silam.
Mia Diwasasri sebagai platform “Objek Kebendaan” dengan melukis di atas keramik. Juga Nunung W.S. perupa abstrak senior yang karya abstraknya mahir memanfaatkan aneka warna untuk menciptakan karya yang beresonansi dengan alam bawah sadar, mencerminkan mimpi dan emosi.
“Wanita Karir” karya Mangku Muriati | Foto: Selvi Agnesia
Pemetaan dalam skala lebih mikro pada karya-karya seniman perempuan ARTSUBS ini, hanya upaya kecil saya untuk menulis lebih mikro dan spesifik. Namun, yang esensial bagi saya adalah mengamati bagaimana seniman perempuan—secara jujur—memandang di dalam dan di luar dirinya melalui tema Ways of Dream, juga bekal pemikiran, pengetahun dan ekspresi terbuka mereka menerima modernitas dalam dinamika wacana seni rupa kontemporer.
Meskipun hanya ada sekitar 19 seniman dari 150 seniman yang menunjukan keterlibatan perupa perempuan yang sangat minim. Sehingga tidak mengherankan bila sosok perempuan akan melalui jalan yang cukup sulit untuk dapat terbaca dalam pemetaan dan percaturan juga pasar dunia seni rupa Indonesia, tetapi ARTSUBS menjadi salah satu letupan baru yang membuka jalan tersebut. Aneka mimpi untuk dibaca dan menumbuhkan ekosistem baru di ranah percaturan seni rupa kontemporer Indonesia, juga di perhelatan ARTSUBS selanjutnya. Semoga! [T]
BACA artikel lain dari penulis SELVI AGNESIA