WAKTU ADALAH suatu hal yang tidak dapat ditentukan oleh manusia, waktu bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bisa juga menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.
Setiap orang akan selalu berhadapan dengan berbagai rintangan dan juga hambatan dalam setiap perjalanan, namun semua itu akan dapat dilalui jika orang itu berani untuk melangkah. Jika memulai untuk melangkah saja amatlah susah, maka perjalanan kita akan tersendat dan tidak akan ke mana-mana.
“Tidurlah untuk bermimpi yang indah, kemudian bangunlah untuk mewujudkannya”.
“Langit Dibelah Dua”. Buku dua lakon sebabak karya Gde Aryantha Soethama ini merupakan salah satu buku yang bagus, karena isinya yang ringkas dan alurnya yang menarik. Dalam buku ini terdapat dua lakon, yang pertama yakni berjudul “Langit Dibelah Dua” dan yang kedua berjudul “Pulau Penyu”.
Judul “Langit Dibelah Dua” mewakili dua lakon dalam buku ini. Dua lakon di dalamnya mengangkat dua hal yang berlawanan. Dalam lakon pertama menceritakan tentang kebencian menghadapi masa depan dan terlalu terbuai dengan masa lalu, sedangkan lakon kedua menceritakan tentang mimpi masa depan yang amat terlalu besar, dengan mudahnya terbuai dengan berbagai iming-iming, sampai-sampai kehilangan segala hal termasuk orang-orang terkasihnya.
Dua lakon di dalam buku ini mengangkat tema yang berbeda, lakon pertama “Langit Dibelah Dua” mengangkat tentang kebencian menghadapi masa depan dan kerinduan yang menggebu-gebu selalu pada masa silam. Sedangkan lakon yang kedua “Pulau Penyu” mengangkat tentang dampak pariwisata terhadap lingkungan dan juga kehidupan sosial masyarakat setempat.
Pada lakon yang pertama diceritakan tokoh Ikun (wanita 35 tahun) ini memandang masa lalu sebagai sesuatu yang sudah pasti, banyak kenangan manis. Sedangkan masa depan itu ruwet, membuat panik, penuh tanda tanya dan ketidakmengertian. Kendati masa depan itu menjanjikan kebahagiaan, kenikmatan, kekayaan, Ikun tidak peduli. Baginya itu tetap ruwet.
Ikun selalu mengusik ibunya untuk menceritakan berbagai masa lalunya dan sangat tidak senang apabila ada yang membicarakan atau membahas masa depan terlebih lagi membahas usia. Ia sangat tidak senang saat ulang tahunnya dirayakan, karena Ikun menganggap itu merupakan suatu hal untuk menyambut masa depan yang selama ini ia anggap ruwet, bahkan ia tidak mau menikah karena beranggapan menikah hanya akan menambah beban saja dan membuat hidupnya semakin ruwet.
Melalui problematika tersebut dapat diartikan bahwa lakon yang pertama menceritakan tentang orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang sering disebut dengan anti sosial atau Social anxiety yaitu ketakutan atau kecemasan ketika berada dalam lingkungan sosial dan ketakutan menghadapi masa depan. Dapat diartikan juga dengan gangguan kepribadian, yang dimana terjadi penyimpangan perilaku dari norma-norma, yang terus dilakukan dari waktu ke waktu, dan mengarah pada perbuatan yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Dalam lakon “Langit Dibelah Dua” Ikun diceritakan selalu bersikap layaknya seperti anak kecil, padahal usianya sudah menyentuh kepala tiga yakni 35 tahun. Ikun merupakan seorang yang digambarkan cantik dan pintar. Ia kerap kali didatangi oleh Tuan Samudra (teman ayah Ikun) sampai empat kali hanya untuk menawarkan pekerjaan sebagai sekretaris bahkan menjadi direktur di perusahaannya.
Namun Ikun selalu menolak kesempatan tersebut bahkan menganggap Tuan Samudra sebagai orang yang cerewet dan memaksakan, padahal Tuan Samudra hanya ingin membalas budi Ayahnya karena banyak membantu Tuan Samudra mengembangkan usahanya.
Pada titik ini mungkin sebagian pembaca akan geram dengan tingkah laku Ikun yang selalu menolak kesempatan emas yang bisa saja membuat masa depannya cerah, namun prinsip Ikun tidak dapat digoyahkan, ia tetap konsisten dengan kebenciannya terhadap masa depan yang menurutnya ruwet itu, dan ia selalu terbelenggu oleh buaian masa lalunya. Padahal tanpa adanya masa depan maka tidak akan ada masa lalu yang tercipta.
Mungkin saja tokoh Ikun mengalami trauma yang mendalam sehingga membuatnya benci dengan masa depan dan mempengaruhi kejiwaannya, yaitu mengalami kecemasan sosial yang berlebihan.
Tokoh Suhadak (teman masa kecil Ikun) dalam lakon ini datang saat ulang tahun Ikun dengan memberikan hadiah boneka yang dulu pernah diberikan Ikun 10 tahun yang lalu. Suhadak justru membuat Ikun semakin terbuai dengan masa lalu dan semakin membenci masa depan, dengan diiming-imingi kisah yang seakan-akan menggambarkan betapa ruwetnya masa depan itu.
Suhadak bahkan menyarankan Ikun untuk menceritakan segala keluh kesahnya kepada boneka yang diberikannya. Jelas hal tersebut dianggap tidak wajar oleh Ibu dan Pelayan Ikun, karena dengan hal itu gangguan kejiwaan Ikun semakin menjadi-jadi.
Dari keseluruhan alur lakon “Langit Dibelah Dua”selain social anxiety dapat diartikan bahwa tokoh Ikun mengidap gangguan kejiwaan Syndrome Peter Pan, gangguan ini cenderung banyak diderita oleh kaum pria, namun pada cerita “Langit Dibelah Dua”yang menderita gangguan ini adalah wanita yaitu Ikun.
Umumnya pengidap Syndrome Peter Pan ini mereka akan takut dengan komitmen dan tanggung jawab besar yang harus dipikul, sehingga memilih bersikap kekanak-kanakan dan selalu bergantung pada orang lain, dan akan berdampak pada orang-orang disekitarnya.
Terbukti dari tokoh Ikun yang selalu bergantung pada ibunya dan selalu menolak tua, menghindari masa lalu, tidak mau menikah, selalu menganggap masa depan sebagai hal yang menakutkan dan lain sebagainya.
Kemudian pada lakon kedua “Pulau Penyu”bercerita tentang dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial masyarakat setempat. Pariwisata yang memberi iming-iming besar dan melambung tinggi, tanpa disadari bisa menjerumuskan orang-orang pada jurang bencana, cengkeram kejahatan dan perilaku buruk.
Diceritakan tokoh utama Gantus dan Kacong, dua anak muda yang bermimpi besar mengubah dan membangun Pulau Penyu. Gantus yang bekerja sebagai pedagang acung dan Kacong bekerja sebagai pemandu wisata (guide), Gantus bermimpi ingin memiliki artshop penyu dan Kacong bermimpi memiliki museum penyu.
Mereka diceritakan kerap kali mengalami kemalangan, mulai dari tanah pulau yang menyempit karena habis dijual, populasi penyu hampir habis karena selalu diburu untuk dijual dan lain sebagainya. Bahkan mereka saking ingin mewujudkan impian besarnya, mereka rela melepaskan segala hal yang mereka cintai termasuk kekasihnya, karena janji manis Tuan Bunciang (seorang germo) yang telah menipu mereka dengan tipu muslihatnya.
Mereka beranggapan Tuan Bunciang adalah orang yang baik sekaligus amat berjasa karena mengangkat derajat dan martabat pulau mereka, mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang ditipu dan berhadapan dengan seorang muncikari kelas kakap buronan polisi.
Gantus dan Kacong selalu berbicara tentang masa depan mereka yang cerah, gemilang, sukses, hingga terkenal ke seluruh jagat. Mereka bahkan menganggap bahwa mimpi mereka sudah menjadi kenyataan, seperti kata-kata Kacong ; “Aku sudah menjadi tuan besar di sebuah museum” dan Gantus ; “Aku sudah jadi eksportir kaya” (hal.61). Sampai-sampai membuat pedagang acung lainnya keheranan dengan tingkah laku mereka.
Kemudian datanglah polisi yang menanyakan keberadaan buronan yang ternyata itu adalah Tuan Bunciang, ia kerap kali menyamar dengan mengganti-ganti namanya. Ia memang seorang eksportir, namun eksportir perempuan atau seorang germo (muncikari). Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar, mereka terlalu percaya bahwa Tuan Bunciang adalah orang yang bisa memperbaiki kehidupan mereka ternyata justru malah sebaliknya, mereka percaya dan rela untuk dibodoh-bodohi oleh Tuan Bunciang yang licik.
Mereka hanya bisa meratapi nasibnya yang malang dan berusaha mengejar Tuan Bunciang Bersama polisi untuk menyelamat sisa harapan mereka, yaitu kekasihnya. Mengutip kata-kata dari tokoh pedagang acung II ; “Kasihan Gantus dan Kacong, sudah kehilangan rezeki, kehilangan mimpi, kehilangan kekasih. Itulah nasib anak muda yang tak selalu gemilang” (hal.67).
Dari cerita lakon kedua “Pulau Penyu” ini, dapat diartikan bahwa Gantus dan Kacong mengalami Maladaptive Daydreaming atau ketika khayalan menjadi adiksi. Maladaptive daydreaming adalah ketika kondisi seseorang terjebak dalam khayalan mereka dalam waktu yang lama, sehingga mengabaikan hubungan dan kewajiban di dunia nyata.
Penyebab maladaptive daydreaming terjadi ketika seseorang mengalami trauma, kekerasan, maupun kesepian. Mereka mencari cara untuk ‘kabur’ dari penderitaannya dengan cara berkhayal selama berjam-jam. Perbedaan berkhayal biasa dengan berkhayal maladaptive terletak dari bagaimana khayalan ini dapat membuat keterikatan emosional yang kuat dengan individu.
Keterikatan emosional biasanya dapat menggantikan perasaan sakit hati atau trauma di dunia nyata. Saking lelah dan bosan dengan kehidupan di dunia nyata, penderitanya bisa menghabiskan waktu untuk melamun dan memikirkan cerita menarik yang membuat dirinya merasa bahagia.
Bahasa yang kerap diungkapkaan oleh anak muda masa kini yaitu “halu”. Halu atau melamun dalam batas wajar sah-sah aja, yang terpenting masih tetap bisa membedakan dunia khayalan dengan dunia nyata. Paling terpenting, tidak menarik diri dari dunia nyata.
Tingkah laku tokoh Gantus dan Kacong ini bisa saja dikategorikan sebagai maladaptive daydreaming karena dari hakikat dan ciri-cirinya itu terdapat pada tokoh Gantus dan Kacong.
Mereka mengalami tekanan yang begitu banyak yang mungkin saja dapat menyebabkan depresi seperti tanah mereka yang mulai menyempit karena banyak dijual untuk dijadikan tambak, turis yang jarang berdatangan ke pulau mereka, tanah banyak dibeli orang luar sehingga mereka hanya akan menjadi kuli di tanah sendiri, kehilangan ratusan dolar karena turis tidak jadi ke pulau dan terhalang menikah karena biaya menikah yang begitu besar. Bisa saja dengan berbagai problematika tersebut membuat mereka agak sedikit kehilangan arah dan berkhayal berlebihan atau berimajinasi yang berlebihan. Dalam kenyataannya, banyak sekali orang-orang yang seperti itu, sama halnya dengan politisi yang gagal nyaleg.
Kedua lakon tersebut ceritanya sangat dekat sekali dengan kehidupan masyarakat, mulai dari takut dengan masa depan yang rumit dan menakutkan, serta kehidupan sosial sehari-hari masyarakat yang dapat mempengaruhi mental karena beratnya beban hidup dimasa kini terutama dalam ekonomi terlebih lagi karena pariwisata dan masyarakat bisa terjerumus ke dalam berbagai hal yang membahayakan seperti prostitusi atau perdagangan manusia (human trafficking).
Konflik yang dihadirkan pada kedua lakon ini juga sangat menarik emosional pembaca karena dekat dengan masyarakat dan lumayan susah ditebak akan berjalan dan berakhir seperti apa.
Kedua lakon itu sangat bagus jika digarap lebih dalam lagi pada sebuah pertunjukan teater ataupun drama terutama lakon “Pulau Penyu” dengan latar alam Bali selatan.
Akhir cerita dari kedua lakon tersebut kurang lebih hampir sama, yakni menggantung begitu saja tanpa akhiran yang jelas ataupun mendetail. Pada lakon pertama diakhiri dengan Ikun yang terus menerus berbicara dengan bonekanya, sedangkan pada lakon kedua diakhiri dengan pertikaian pedagang acung yang berbeda pendapat mengenai turis atau tibum yang mereka lihat dari kejauhan.
Mungkin akan lebih bagus jika ditutup dengan akhir dari perjalanan tokohnya, seperti lakon pertama, apakah tokoh Ikun akan selamanya kukuh dengan pendiriannya dan terganggu seperti itu? Dan pada lakon kedua apakah tokoh Gantus dan Kacong berhasil dalam pengejarannya ataukah mereka gagal dan meratapi nasib sialnya selamanya atau mungkin kembali ke pulau dan merintis usaha bersama, dan lain sebagainya?
Secara keseluruhan buku dua lakon sebabak “Langit Dibelah Dua” ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya karya dari Gde Aryantha Soethama yang bagus dan pencinta drama atau naskah drama akan senang membaca bacaan seperti ini.
Jika biasanya lakon dipentaskan dipanggung, sementara dalam buku ini lakon dipentaskan melalui naskah yang dapat dibayangkan atau diimajinasikan sendiri oleh pembacanya. Tentu saja lakon yang ditulis bisa saja digarap dan dikembangkan lagi untuk menjadi sebuah pertunjukkan atau pementasan drama di atas panggung, dengan alur dan konflik cerita yang unik seperti itu, biasanya akan membuat penonton terhanyut dan larut dalam ceritanya. [T]