BERSYUKUR Sumarjono bisa bekerja sebagai pegawai di salah satu universitas di kota Purwokerto, Jawa Tengah. Meskipun hanya sebagai pegawai honorer, Sumarjono sangat beruntung. Betapa tidak, ijazah SMA yang ia miliki sulit untuk bersaing di pasar kerja yang kini banyak diisi lulusan perguruan tinggi.
Sumarjono sudah punya rencana ke depan. Sambil bekerja ia akan kuliah sore hari untuk mendapat gelar sarjana. Siapa tahu ia akan diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sehingga gelar sarjananya dapat digunakan untuk kenaikan pangkat dan jabatan.
Awalnya Sumarjono membayangkan akan bekerja sebagai tata usaha atau pegawai administrasi di kampus. Beberapa temannya yang lulus SMA menjadi tata usaha di kantor pemerintah. Keterampilannya dalam bidang elektronik dan komputer dapat menjadi bekal saat bekerja.
Namun bayangan Sumarjono sirna ketika ternyata dia ditempatkan sebagai penjaga malam di kamar jenazah fakultas kedokteran. Pekerjaan yang tak pernah ia impikan. Pekerjaan yang mengharuskannya berhubungan dengan mayat-mayat hasil autopsi untuk kepentingan anatomis dan pendidikan di fakultas kedokteran.
Autopsi jenazah biasanya dilakukan terhadap korban kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri yang tidak beridentitas dan tidak memiliki kerabat, keluarga, atau ahli waris yang mengakuinya. Mayat-mayat itu akan disimpan di kamar jenazah selama 1×24 jam. Tentu saja bentuk mayat bermacam-macam. Ada yang rusak dan kehilangan anggota badan. Meski ada pula yang masih utuh.
Mendengar ditempatkan bekerja di kamar jenazah membuat ciut nyali Sumarjono. Ia berencana untuk mengundurkan diri saja, batal bekerja di kampus jika hanya sebagai penjaga malam di kamar jenazah. Namun orang tuanya berang. Mencari pekerjaan dengan ijazah SMA saat ini tidak mudah. Banyak tetangganya yang hanya menjadi pelayan toko dan rumah makan. Orang tuanya menyarankan Sumarjono untuk menjalani dulu pekerjaannya. Siapa tahu suatu saat diangkat sebagai PNS dan pindah ke bagian tata usaha.
Sumarjono tak ingin mengecewakan orang tuanya. Ia memutuskan untuk menerima pekerjaan itu. Masalah ketakutannya akan berurusan dengan mayat dan cerita tentang hantu di kamar jenazah ia hadapi saja. Tokh semua orang juga akan meninggal dan menjadi mayat, pikirnya.
***
Sudah lebih dari satu bulan Sumarjono bekerja di kamar jenazah. Ia sering membantu dokter dan mahasiswa residen untuk mengeluarkan mayat dari kamar jenazah maupun menemani mereka melakukan autopsi. Lantaran akrab dengan para dokter, banyak teman kerja Sumarjono yang memanggilnya dengan sebutan Dokter Joni.
Malam ini Sumarjono tugas jaga malam sendirian. Biasanya ia ditemani oleh Anjar atau Udin yang sesama pegawai honorer. Namun hari ini mereka mendapat tugas lain dari pimpinan fakultas, sehingga Sumarjono harus berada di kamar jenazah seorang diri. Ia harus menjaga beberapa mayat yang tersimpan di kamar jenazah. Semua mayat tanpa identitas dan tak ada pihak yang mengakuinya sebagai keluarga.
Udara malam terasa dingin. Sumarjono berinisiatif membuat secangkir kopi untuk mengusir kantuk dan dingin. Belum lagi sempat beranjak dari kursinya, sesosok tubuh laki-laki yang keluar dari kamar jenazah melintas di depannya. Sumarjono kaget. Diamati laki-laki itu. Lebih kaget lagi, wajah laki-laki hancur berantakan. Hidung dan telinganya tidak ada. Bola matanya rusak dan hancur.
Seketika Sumarjono ingat. Tadi siang baru saja datang mayat korban tertabrak kereta api. Entah lengah atau sengaja bunuh diri, saat kereta melintas ia tertabrak. Tubuhnya hancur. Mayat itu tidak memiliki identitas. Sumarjono segera melihat kantong mayat di kamar jenazah. Masih utuh tersimpan jenazah itu. Pasti arwah korban tabrak kereta itu yang tadi gentayangan, pikir Sumarjono.
Melihat mayat berjalan atau mendengar suara rintihan dan tangisan dalam ruang jenazah hampir selalu ditemui Sumarjono. Malam ini pun bukan hanya sekali ia melihat mayat berjalan ke luar kamar jenazah. Menjelang tengah malam, ketika ia sedang menyeruput kopi, tiba-tiba muncul sosok perempuan berjalan sambil menangis. Wajahnya pucat. Tampak bercak darah di sekujur pakaiannya.
Meski sering melihat hantu di kamar jenazah, Sumarjono tetap saja kaget dan merinding. Apalagi hantu perempuan itu seolah sengaja hendak menghampiri Sumarjono. Cepat-cepat Sumarjono keluar menjauhi kamar jenazah. Perempuan itu korban pembunuhan di ladang jagung dan belum teridentifikasi.
Bukan hanya mengerikan. Perilaku arwah gentayangan di kamar jenazah kadang juga membuat Sumarjono jengkel. Waktu itu Sumarjono sedang tidur di atas sofa, di luar kamar jenazah. Tiba-tiba ada yang mendorongnya, sehingga terjatuh dari sofa. Saat membuka matanya, di hadapannya berdiri hantu laki-laki tua dengan muka yang penuh luka.
“Sialan kamu yaa…?” ucap Sumarjono.
Antara kaget, marah, dan takut, Sumarjono bangun dan mengumpat arwah korban tabrak lari itu. Arwah itu malah seperti mengejek Sumarjono sambil mondar-mandir di depan kamar jenazah. Sumarjono memberanikan diri. Ia peluk arwah penasaran itu dari belakang. Agak aneh, risih, dan menyeramkan. Namun sekejap mayat itu telah hilang dari hadapannya.
Memeluk mayat bukan sekali dua kali Sumarjono lakukan. Biasanya kalau sudah merasa kesal diganggu arwah gentayangan di kamar jenazah, ia akan memeluk dari belakang mayat itu. Memang ada perasaan geli dan takut juga memeluk mayat. Anehnya, mayat itu sekejap hilang dari pandangannya.
Keusilan hantu-hantu di kamar jenazah bermacam-macam. Pernah Sumarjono tertidur di kursi dekat pintu. Betapa terkejut ia ketika bangun, ternyata dia sudah tertidur di depan toilet. Ada hantu yang memindahkannya tidur. Pernah pula, kopi yang baru saja ia buat tiba-tiba tumpah, seolah ada tangan yang sengaja menumpahkannya.
“Kamu jangan kurang ajar ya..!” kata Sumarjono kesal. Entah kepada siapa ia berkata, karena tak tampak yang menumpahkan kopinya.
Bukan hanya itu. Arwah penasaran di kamar jenazah juga pernah usil hingga ke rumah Sumarjono. Sewaktu pergantian jaga malam dengan Anjar, ia pulang ke rumah naik sepeda motor. Sampai di rumah, anaknya yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak berteriak ketakutan. Anaknya bilang ada hantu tanpa kepala yang membonceng motor Sumarjono.
Istrinya juga sempat dibuat cemburu ketika Sumarjono pulang tengah malam untuk mengambil rokok dan korek api yang tertinggal di rumah. Bukannya disambut hangat, istrinya malah cemberut sambil mengomel.
“Siapa perempuan yang kamu bonceng ..!!?” tanya istri Sumarjono sewot.
Tentu saja Sumarjono kaget. Ia tidak merasa memboncengkan seseorang. Rupanya arwah hantu perempuan yang baru saja bunuh diri dan tersimpan di kamar jenazah mengikutinya sampai rumah.
***
Satu tahun bekerja di kamar jenazah, Sumarjono mulai merasa tidak nyaman. Bukan lantaran honor yang diterima hanya cukup untuk makan sehari-hari bersama istri dan dua orang anaknya. Ia merasa risih karena setiap jaga malam selalu saja melihat arwah gentayangan. Kalau hanya melihat saja mungkin ia sudah mulai kebal. Namun mayat-mayat itu kadang usil mengganggunya.
Betapa tidak, saat sedang merokok untuk menghilangkan kantuk, tiba-tiba ada tangan tanpa anggota tubuh lain menampar dan menjatuhkan rokoknya. Pernah pula ia melihat kepala yang melayang di depannya. Hanya kepala saja. Entah hantu dari arwah yang mana ia tak tahu.
Meski demikian, tidak semua hantu yang berseliweran di kamar jenazah itu menyeramkan. Pernah Sumarjono harus tertawa ketika menjumpai sosok hantu yang lucu. Wajahnya mirip pelawak Charlie Caplin. Jalannya terpincang-pincang. Rupanya dia adalah badut yang tertabrak truk di jalan raya. Walau lucu, Sumarjono tetap merasa kasihan pada arwah penasaran itu. Rupanya hantu yang ada di kamar jenazah arwahnya masih belum sempurna, sehingga selalu gentayangan.
Sebenarnya bukan hanya Sumarjono yang mengalami hal menyeramkan di kamar jenazah. Rekan kerjanya, Anjar dan Udin juga sering diganggu hantu yang ada di kamar jenazah. Mereka sudah kebal dengan berbagai ulah arwah gentayangan itu. Bahkan Anjar pernah melempar hantu dengan sandal jepit yang ia pakai. Anehnya, sandal jepit itu justru berbalik arah mengenai wajah Anjar sendiri.
Sumarjono berencana untuk mendatangi seorang kyai. Ia berharap dapat ditutup aura dan cakranya agar tidak dapat lagi melihat hantu dan arwah gentayangan di kamar jenazah. Ia sudah berada di puncak kejenuhan dan kejengkelan bekerja di kamar jenazah.
Namun rencana Sumarjono tak sesuai harapan. Kyai yang didatangi bukannya menutup aura dan cakranya, malah menyarankannya untuk bersyukur. Kata sang kyai, kemampuan Sumarjono melihat hantu adalah gawan bayen atau pembawaan dari sejak bayi. Pupus sudah harapannya. Ia akan tetap terus melihat hantu bergentayangan di kamar jenazah tempatnya bekerja.
“Terima saja kenyataan. Ini sudah kodratmu, gawan bayen…,” kata sang kyai.
Sumarjono tak habis akal. Ia akan terus berusaha agar tidak berhubungan lagi dengan mayat-mayat yang belum diterima di alam baka. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi. Ia memilih kuliah di fakultas ekonomi. Dengan harapan, suatu saat kelak ia dapat menjadi bendahara atau kepala bagian keuangan di kampus.
Lebih dari sekadar itu, dengan kuliah yang jam kuliahnya sore hingga malam, Sumarjono akan menjadikannya alasan mengajukan pindah tempat tugas kepada pimpinan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sumarjono disetujui untuk pindah tempat tugas. Ia ditempatkan sebagai administrasi di lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat.
Sudah barang tentu Sumarjono riang bukan kepalang. Ia tidak lagi bekerja malam di kamar jenazah. Ia tak lagi harus ketakutan dan menahan emosi ketika berhadapan dengan hantu yang aneh-aneh di kamar jenazah. Meskipun ia masih tetap dapat melihat mahkluk halus, tetapi tidak menyeramkan seperti yang ia temui di kamar jenazah.
Kabar yang ia terima, pegawai penggantinya di kamar jenazah masih lebih muda darinya. Meski demikian Sumarjono tidak begitu merasa gembira dengan pegawai yang baru itu. Menurut kabar dari teman-temannya, pegawai pengganti Sumarjo sering tertawa dan bicara sendiri saat bertugas di kamar jenazah. Bahkan kadang juga saat tidak bertugas. [T]
- Ini adalah cerita fiksi misteri bersambung. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa hanyalah kebetulan dan rekaan penulis semata
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole