MENYANDANG predikat sebagai dosen favorit di fakultas bagi Dina Bestiari tentu satu kebanggaan tersendiri. Di tengah kehidupan mahasiswa yang kadang acuh terhadap suasana perkuliahan, mereka menempatkan Dina Bestiari sebagai dosen idola bagi mahasiswa.
Penilaian mahasiswa terhadap Dina Bestiari memang tidak mengada-ada. Sosok dosen muda ini dikenal cantik, ramah, murah senyum, dan baik hati. Penampilannya selalu rapi, busananya kekinian. Setiap hari tampak ceria dan wangi aroma parfumnya yang branded membuat penampilannya semakin menawan. Tak heran bila banyak mahasiswa dan dosen lain yang menyebutnya “ibu harum”, lantaran aroma tubuh Dina yang selalu wangi.
Mengajar Marketing Communication, kuliah Dina Bestiari tidak pernah membuat mahasiswa mengantuk. Setiap materi kuliah disampaikan dengan cara yang menarik. Maka kuliah pun seringkali terasa begitu cepat berlalu. Berbeda dengan dosen-dosen senior yang kadang membuat mahasiswa merasa begitu lama berada di dalam kelas.
Ruang kuliah 8 tempat Dina mengajar tidak terlalu jauh dari ruang dosen. Namun dia selalu membiasakan diri untuk masuk kelas sepuluh menit sebelum jadwal kuliah. Dia harus mempersiapkan segala sesuatu agar kuliah berjalan lancar. Memastikan AC ruangan berfungsi. Memastikan laptop dan power point yang akan ditayangkan tidak mengalami masalah. Begitulah Dina Bestiari, dosen muda yang selalu ingin tampil sempurna.
Seperti pagi ini, Dina Bestiari sudah berada di kampus pukul 06.30. Jadwal kuliahnya dimulai pukul 07.00, kuliah sesi pertama. Kampus masih terasa sepi. Parkir mobil dosen tampak masih lengang. Hanya ada mobil dinas dekan yang memang menginap di kampus setiap hari.
Entah mengapa, pagi ini perasaan Dina Bestiari tidak seperti biasanya. Suasana kampus yang masih sepi membuat dirinya sedikit merinding. Apalagi jalan menuju ruang 8 harus melewati sungai kecil yang cukup menyeramkan jika suasana sepi.
***
Betul firasat Dina Bestiari. Ketika melewati sungai kecil di kampus, ia melihat beberapa anak kecil telanjang bermain air di sungai. Dina menghentikan langkahnya. Ia perhatikan dengan seksama anak-anak kecil itu.
Betapa terkejut Dina. Anak-anak yang bermain di sungai itu wajahnya menyeringai. Mata mereka sedikit melotot dan menonjol. Lidah mereka menjulur panjang. Giginya tampak merah seperti berdarah. Anehnya, mereka tidak mempunyai alat kelamin. Laki-laki bukan, perempuan juga tidak. Sungguh menyeramkan.
“Makhluk apa itu..?!” tanya Dina Bestiari heran.
Bulu kuduknya berdiri. Bergegas ia berjalan cepat menuju ruang kelas. Wajahnya pucat pasi. Mahasiswa yang sudah berada di kelas merasa heran. Tidak seperti biasanya yang tampil ceria, Dina Bestiari tampak ketakutan.
“Ibu Dina, kenapa?” tanya Feri Haryono selaku koordinator kelas.
“Seremmmm… !” jawab Dina Bestiari.
Kemudian ia menceritakan kepada mahasiswa apa yang dilihatnya di sungai kecil tadi.
“Hiiii…!” sahut mahasiswa berbarengan. Wajah mereka ketakutan.
“Kalian waktu melewati sungai itu melihat anak-anak kecil bermain nggak?” tanya Dina Bestiari.
“Tidak Bu..” jawab mahasiswa kompak. Aneh. Dina Bestiari tak habis pikir. Kenapa hanya dia yang menyaksikan anak-anak tak berjenis kelamin itu di sungai kecil dalam kampus.
Dina mencoba mengkonfirmasi kepada teman-teman dosen yang lain, apakah mereka pernah melihat anak-anak bermain di sungai kecil. Semua dosen menjawab tidak pernah. Ia semakin penasaran, sekaligus ketakutan. Apakah selama ini ia hanya berhalusinasi saja? Mengingat ia memang sangat menyukai anak-anak, baik di rumah maupun di lingkungan wilayah tempat tinggalnya. Tapi, bukankah semua perempuan secara alami akan menyukai anak-anak?
Bukan hanya sekali Dina menyaksikan anak-anak kecil aneh dan misterius itu bermain di sungai kecil. Pada perkuliahan berikutnya, ia kembali melihat sekitar lima atau enam anak-anak kecil yang bermain di sungai. Wajah dan bentuknya sama persis dengan yang dia lihat minggu sebelumnya. Kali ini mereka tertawa ke arahnya, dan memanggil-manggil namanya.
“Ibu Dina… ibu Dina…,” kata anak-anak itu sambil melambaikan tangan, seolah mengajak Dina Bestiari untuk turun ke sungai.
Dina terkejut. Dari mana mereka tahu namanya? Semakin takut dan gemetaran Dina. Secepatnya ia bergegas menuju ke kelas. Seperti biasa, mahasiswa terkejut melihat dosen mereka yang datang tergopoh-gopoh dengan wajah pucat.
“Saya melihat lagi anak-anak kecil itu!” kata Dina Bestiari sambil minum air mineral yang ia bawa untuk mengurangi kecemasannya.
“Ibuuuu… Seremmm…!” teriak mahasiswa perempuan mendengar cerita Dina.
Kelas menjadi tegang. Perkuliahan belum segera dimulai. Dina masih mencoba menenangkan diri. Sementara mahasiswa juga hanyut dalam suasana mencekam. Ruang kuliah yang sejuk tak mampu mendinginkan suasana penuh misteri di kampus.
***
Dina Bestiari mencoba mencari tahu tentang keberadaan anak-anak di sungai itu. Salah satu dosen senior, Tata Sugita menyarankan agar menemui penjaga malam kampus yang bernama pak Untung. Konon Pak Untung memiliki mata batin untuk melihat hal-hal yang bersifat gaib.
Tak ingin membuang waktu, Dina segera mendatangi penjaga malam kampus yang saat itu sedang bersiap pulang ke rumah setelah semalaman berjaga. Pak Untung tidak menduga didatangi dosen, karena selama ini ia hanya bergaul dengan para pegawai administrasi.
Dina Bestiari menjelaskan peristiwa yang dialaminya saat melewati sungai kecil di kampus kepada Pak Untung. Tak segera menjawab, Pak Untung sedikit merenung. Seolah ia sedang berkomunikasi dengan makhluk-makhluk aneh itu. Sejenak hening, lantas ia tersenyum.
“Mereka siluman ular, Bu Dina…,” jelas pak Untung.
“Hahh.. siluman ular? Tapi mereka seperti manusia,” kata Dina seolah tak percaya.
“Betul, Bu Dina. Mereka adalah jelmaan siluman ula weling, ular belang yang sering muncul di pinggiran sungai,” terang Pak Untung.
“Dulu pernah ada kejadian. Pegawai yang sedang membersihkan sungai terjatuh, kemudian digigit ular-ular itu sampai berdarah. Nah, darahnya itu yang diminum ular-ular itu, sehingga gigi anak-anak kecil yang tampak di sungai itu seperti merah berdarah,” lanjut Pak Untung menjelaskan.
“Terus gimana nasib pegawai itu, Pak?” tanya Dina penasaran.
Pak Untung diam sejenak. Wajahnya tampak sedih.
“Meninggal, Bu,” jawab pak Untung dengan nada sedih.
Dina Bestiari kaget diselimuti takut.
“Tapi mengapa mereka selalu muncul kalau saya lewat di sungai, dan memanggil nama saya?” tanya Dina.
“Mungkin karena ibu Dina menyukai anak-anak, jadi mereka meminta perhatian,” jawab Pak Untung.
“Tapi saya ketakutan, Pak,” kata Dina.
Pak Untung hanya tersenyum tipis.
“Apa yang harus saya lakukan agar tak melihat anak-anak di sungai itu?” tanya Dina Bestiari. Ia benar-benar tak ingin melihat lagi anak-anak yang menyeramkan itu.
“Kalau ibu Dina lewat sungai itu, lemparkan permen saja. Nanti mereka tidak menampakkan diri lagi,” terang Pak Untung.
“Permen..?” Dina tidak mengerti maksud Pak Untung.
“Iya, siluman ular itu suka pada bau anyir darah manusia. Tetapi mereka tidak menyukai rasa manis dan aroma permen,” jelas Pak Untung.
Dina Bestiari mencoba memahami penjelasan pak Untung. Meski sepintas sepertinya tidak masuk akal, namun dia mencoba mengikuti saran pak Untung. Ketika perkuliahan berikutnya ia melewati sungai itu, masih tampak anak-anak kecil bermain di sungai. Dengan sisa-sisa keberanian, Dina segera melempar beberapa permen yang ia siapkan dari rumah.
Aneh tapi nyata. Anak-anak siluman ular itu berlarian ketakutan dan menghilang ke dalam arus air sungai. Betapa lega hati Dina Bestiari. Detak jantungnya tak lagi berdegup kencang seperti minggu sebelumnya. Ia pun masuk ke ruang kuliah dengan senyum manisnya. Mahasiswa menyambutnya dengan rona ceria.
Perkuliahan minggu berikutnya Dina Bestiari tak lagi melihat anak-anak siluman ular itu bermain di sungai. Hanya suara gemericik air sungai yang mengalir tersentuh bebatuan. Meski tetap saja sungai itu tampak wingit di mata Dina Bestiari. [T]
- Ini adalah cerita fiksi misteri bersambung. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa hanyalah kebetulan dan rekaan penulis semata
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole