AKU tahu betul Busro yang rumahnya satu kilo meter dari rumahku itu adalah preman yang tidak banyak basa-basi. Kalau sepi, dan sedang berkonflik dengan dia, orang bisa hilang kepala. Dan, kalau sedang ramai, setidaknya hidung patah tulang kena tonjok.
Lebih-lebih meremas jari lawannya seperti meremas tete Nursinah yang sering diremasnya malam hari, diam-diam. Bedanya hanya birahi seks melemahkannya dan nafsu membunuh, menggilakannya. Yang jelas, ia selalu gila meremas.
Busro Edan! Begitulah orang-orang membencinya di belakang. “Tai!” cemooh yang lain sangat benci.
Sebab itulah barangkali, Eman, tetangga yang lima langkah dari rumahku, ingin naik haji untuk mengadukan perbuatan umatnya kepada Nabi melalui makomnya di Makkah Al-Madinah yang suci.
Saya tahu, naik haji bisa membangkitkan martabat, pula seseorang bisa dihormati, pula didengar apa saja yang berasal dari mulut, bahkan dari dubur sekalipun. Apalagi, Eman memang jarang didengar jika membicarakan tentang Busro, bahwa lelaki itu benar-benar breng-seks.
Tapi ia memiliki kelebihan lain, kalau berbicara dengan orang yang sedang marah-marah, bisa tidak jadi marah-marah orang itu. Hebat sekali Eman ini. Ilmu apa yang ia punya? Dimana ia bertapa? Orang-orang tak tahu. Akupun tak tahu.
Tak satupun orang bisa marah ke Eman. Tapi Busro menjadi musuhnya yang sangat dekat dengan Eman, ini soal tetangga, ya, aku tahu betul mereka cekcok dan Busro selalu bawa golok.
“Kiwari! Kiwari! Paeh Dia Kuaing! Bedul!” ancam Busro ke Eman sepuluh tahun yang lalu.
“Jawara! Jawara!” riuh orang berbisik.
Eman tak keluar rumah saat itu. Eman juga tak berbicara sekata atau tiga kalimat di balik jendela sambil mengintip misalnya. Tidak ada suara di rumah Eman. Kosong. Senyap. Setelah dijebol rumah itu melalui pintu, ternyata Eman kabur lewat pintu belakang tiga puluh menit yang lalu, bersama istrinya.
Kata orang-orang, Eman bertualang ke Mekah, pergi ke Arab Saudi bersama istrinya. Eman naik haji sambil bekerja jadi tukang sapu masjid Nabawi, sedang istrinya jadi buruh cuci di sana tapi tak lama, hanya enam bulan, dipulangkan oleh majikannya karena istrinya tak becus-becus berbahasa Arab. Dan istrinya mengisi rumah—balik ke kampung. Hidup sendiri. Mereka mandul, tak punya anak, walaupun sudah tiga puluh tahun menikah.
Sementara tiga tahun kemudian dari Mekah, Eman pulang. Menggondol banyak uang juga cerita-cerita pinggiran tentang bagaimana orang-orang Arab bergaul, sholat, bertengkar atau bercanda, hingga saling membantu satu sama lain. Yang ia praktikkan gayanya di kehidupan sehari-hari; kearab-araban, di rumahnya yang kecil di kampung.
Eman. Adalah buruh tani, juga sambil menjadi petani sebelum menjadi seorang haji. Tapi setelah tiga tahun kemudian itu, orang-orang mulai memanggilnya dengan gelar hasil menjual beberapa petak sawah ke seorang saudagar yang juga sama sepertinya, membenci Busro. Darah mati!
Eman, maksudku Haji Eman, telah berhenti bertani dan juga berhenti hidup susah, ia sekarang menjadi seorang Haji—yang mabrur dan sentosa, datang ke setiap pengajian dan juga tongkrongannya yang sebagian besar adalah teman-temannya dahulu. Sambil pakai peci putih—ia selalu mengajak mereka ibadah tepat waktu.
Semua diajaknya sholat berjamaah di masjid. Tapi, sesekali, ia juga membicarakan Busro, bagaimana kabar Busro sekarang?
“Sudah lama sakit. Kena santet!” kata yang lain.
“Astaghfirullah!” Kaget Haji Eman secara islami. “Sejak kapan?” lanjutnya bertanya dengan air muka khawatir.
“Sejak menjadi makelar tanah,” jawab yang lain.
Memang sih di Pantai Anyer itu, parkiran selalu dipegang Busro sejak lama. Busro yang pegang setiap setoran parkiran, sampai ke pedang kecil ibu-bapak yang sudah tua-tua itu, ia yang pegang. Upeti. Semua harus setor ke dia, kalau tidak, kepala atau perut bisa jadi samsak empuk. Darah bisa mengalir di mana saja kalau malam hari. Busro memang beringas.
Tapi karena memang ini sudah lain, rezim pemerintah juga sudah mencair, sudah musimnya parlente juga. Gaya hidup Busro berubah. Dari bengis, agak sedikit tidak, jadi necis.
Ia memilih cara hidup, mempelajari bagaimana caranya menipu orang tanpa harus keras. Mengawini anak orang tanpa harus mengancam ibu bapaknya. Selain ilmu pelet sudah dikuasainya sejak dulu, ia sekarang konsisten mempelajari ilmu menipu dari temannya yang sukses menjadi makelar tanah, hanya karena hasil dari terampilnya jualan hape rusak sejak remaja.
Tapi nyatanya, Busro tak pandai komunikasi dan tak mau berangkat dari nol—jualan hape rusak. Ia menggunakan caranya yang lama; marah-marah, dan mengawini anak orang—bahkan istri temannya sendiri.
Anaknya saja sudah 15 dari tujuh istri kawin cerai, setiap tikungan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels itu (meminjam kalimat bagus dari Pram) itu ada anak istrinya yang masih ada. Memang sih, di sana ia selalu dibenci dengan lirikan tak biasa dari anak-anaknya.
“Abah tukang kawin! Busuk!” hina anaknya suatu kali.
Orang-orang geger. Busro melengos pergi.
Aku masih menonton anaknya meraung-raung waktu itu, gila, rumahnya dijual dan anak istrinya ditelantarkan begitu saja tanpa peduli. Cerai. Busro memilih pergi ke gunung, di sana, ia menikah lagi dengan perempuan anget-anget tai ayam.
Punya anak lagi. Yang ini, ia punya gunung tidak hanya kebun atau anak. Rupanya, ia bukan makelar tanah yang biasa orang-orang ketahui—saktinya sebagai seorang jagoan, ia mendapat tanah hanya karena hasil kawin saja. Menipu para gadis dan janda. Busro tak ubahnya hanya sebagai lelaki bajingan yang mudah bocor lubang pipisnya, dan modal berani bawa golok.
Tapi pertengkaran dengan Haji Eman, ini lebih serius lagi. Mereka selalu bertengkar hanya karena percintaan yang receh di masa lalu. Bahkan sampai sekarang, pun, Haji Eman menebar kebencian tentang dosa besar Busro kepada dirinya—yang diam-diam, mau mencium pacarnya, yang sekarang menjadi istrinya itu—di tempat dangdutan acara hajatan anak dari seorang Kepala Desa di jaman saat Soeharto masih jadi Presiden.
Dengan cerita-cerita kekalahan Busro bahwa ia bukanlah pria yang jantan sebenarnya. Bukan pria yang baik. Sampai sudah jadi Haji, pun, Eman masih meneror Busro dengan kebencian melalui cerita kepada teman-temannya. Tebar-tebar benci kepada semua orang.
“Setelah dari Mekah. Aku kirim doa, jarum kecil-kecil untuk Busro!”
Semua orang terperanjat dari duduknya di sebuah warung. “Haji Edan! Nyantet!” [T]
- BACAcerpen laindi tatkala.co