SUATU KETIKA kami berziarah ke makam kakek dan nenek di pemakaman umum, pagi itu kami melihat ada satu makam yang tidak ditaburi bunga di atas gundukan tanahnya. Kami yang masih bocah pun bertanya kepada ayah, kenapa makam itu tidak ditaburi bunga, padahal masih baru? Ayah yang tidak ingin kami mengusulkan banyak pertanyaan langsung mengajak kami agar cepat-cepat meninggalkan pemakaman. Di dalam perjalanan pertanyaan itu masih berkelebat menghantui pikiranku, karena aku tidak mendapatkan jawabannya. Saat kami sudah jauh meninggalkan pemakaman, aku kembali bertanya kepada ayah.
“Yah, tadi ayah belum sempat memberikan jawaban pada kami, kenapa makam tadi tidak ditaburi bunga, padahal kan masih baru?” aku memutar ulang pertanyaan tadi.
“Ayah tidak tahu, Sam,” jawab ayah datar yang membuatku tidak puas dengan jawabannya itu. Sebab dari mimik mukanya, ayah seperti sedang menyimpan sesuatu yang sangat rahasia dan tidak berani membocorkannya pada siapa pun.
Aku diam. Tapi, pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku seperti garis orbit planet-plenat yang mengelilingi tata surya. Jika ayah tidak mau menjawabnya, biarlah nanti aku akan bertanya pada ibu atau paman. Mereka pasti tahu alasannya.
Setiba di rumah, aku melihat paman sedang membuat ukiran patung dari kayu yang begitu rumit. Tapi, adik ayah itu tampak terampil sehingga tidak sedikit patung-patung rumit yang telah dilahirkan dari kedua tangannya. Lantas aku menghampirinya.
“Paman, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Aku memulai pembicaraan dengan paman agar bisa mengajukan pertanyaanku tadi yang belum sempat dibalas sama ayah.
“Boleh,” jawab paman sambil mengukir patung hewan di bawah tebing air terjun. Patung itu seolah hidup.
“Bukankah di dalam salah satu hadis, Nabi pernah lewat di tengah pemakaman bersama para sahabatnya dan beliau pernah mendengar jenazah yang ada di dalam kubur itu sedang disiksa, lalu beliau menancapkan satu batang pelepah kurma yang masih baru. Lalu, beliau bersabda bahwa selama batang pelepah kurma itu masih segar, maka selama itu pula siksa kubur si mayit diringankan. Jadi, selama ada peziarah yang menancapkan pelepah kurma dan selama itu pula siksanya diringankan. Betulkah begitu, Paman?” Lanjutku bertanya pada paman yang justru membuatnya menghentikan pekerjaannya. Kemudian, lelaki itu meletakkan palu dan alat ukirnya, dan duduk di kursi.
“Betul, Sam. Apa yang kau tanyakan tadi memang benar. Tapi, kenapa kamu bertanya soal itu?” paman balik bertanya.
“Tadi, ketika kami sedang berziarah ke makan kakek dan nenek, aku melihat sebuah makam baru, tapi di atas gundukan tanahnya tidak ditaburi bunga dan di nisannya juga tidak ditulis namanya. Itu sebenarnya makam siapa, Paman?”
Paman mengambil gelasnya dan menyeruput kopi dengan pelan.
“Itu adalah makam seorang pengkhianat bangsa, Sam,” jawab paman dengan memasang mimik muka penuh kemarahan. “Ia adalah orang yang telah membunuh bangsanya sendiri demi kepentingan politiknya.”
Jawaban paman membuatku makin penasaran dan ingin mengorek lebih dalam informasi tentang orang yang disebut pengkhianat bangsa itu. Apa bedanya orang biasa dengan pengkhianat? Apakah benar orang itu seorang pengkhianat bangsa? Dan bukankah kita sama-sama manusia?
“Kenapa orang itu disebut sebagai pengkhianat, Paman? Kenapa ia membunuh bangsanya sendiri hanya demi kepentingan politiknya sendiri?”
Tiba-tiba…
“Saam!”
Ibu memanggilku dari arah teras rumah. Mau tidak mau aku harus mendatangi ibu dan harus meninggalkan paman yang belum memberikan jawaban. Di dalam rumah, tampak ayah sedang makan di meja makan.
“Kamu tidak perlu mempertanyakan makam yang tadi,” ujar ayah sambil makan. “Orang-orang yang menguburkan jasad orang itu sudah tahu kalau setiap makam baru harus ditaburi bunga untuk meringankan siksa setiap orang yang dikubur.”
“Tapi, kenapa makam itu tidak, Yah?”
“Bukankah ayah barusan sudah bilang jangan bertanya soal makam itu?!” Kedua mata ayah menusuk tajam ke arah mukaku.
“Karena hanya orang itu seorang pengkhianat bangsa?”
Ayah diam.
***
Sore harinya, ketika aku sedang bermain di lapangan desa bersama teman-temanku, aku menyaksikan para tentara sedang menangkapi dan mengumpulkan rakyat kecil di tengah lapangan. Bahkan para tentara itu menyuruh kami pulang. Lalu, dari kejauhan aku mengintip dari balik semak-semak apa yang dilakukan oleh para tentara itu di sana. Mereka tampak sedang menginterogasi orang-orang lemah itu sambil mengintimidasi. Jika mereka tidak memberikan jawaban yang diinginkan oleh tentara itu, maka tamparan atau pukulan yang akan menjawabnya. Apakah memang sekeji itukah para tentara kita? Bukankah seharusnya mereka melindungi dan mengayomi rakyat kecil?
“Mereka itu bukan rakyat kecil biasa,” jawab ayah saat aku menanyakan apa yang aku saksikan di lapangan. “Mereka adalah komplotan para pengkhianat bangsa yang ingin menguasai negara ini.”
“Maksud, Ayah?”
“Sudah, sudah, jangan bertanya lagi soal itu!” Ayah berdiri dari kursi duduknya. Rupanya beliau masih marah karena pertanyaanku tadi pagi.
Aku melihat paman yang tampak sedang bekerja mengukir patung yang belum selesai itu. Mungkin itu pesanan seseorang yang harus diselesaikannya.
“Paman, barusan aku melihat banyak tentara menangkapi dan mengumpulkan orang-orang di lapangan desa. Lalu, mereka ditanya dan diinterogasi, bahkan mereka ada yang dipukuli.”
“Mereka ditangkap karena menjadi anggota salah satu partai yang dilarang di negara kita, Sam,” ujar paman.
Dengan panjang lebar paman menjelaskan bahwa di kota kami pernah datang seorang lelaki yang sangat pintar dan alim. Orang itu dulunya pernah tergabung dalam salah satu partai yang paling berbahaya untuk diikuti karena ideologinya dapat merusak ideologi bangsa yang telah ditanamkan oleh para pemimpin bangsa ini. Lalu, partai itu mengumpulkan massa yang kebanyakan dari kaum proletar yang berhaluan sosialis untuk melakukan pemberontakan. Di ibu kota, para pejuang pemberontakan itu berhasil menangkapi dan membunuh para perwira. Kemudian, jasad para perwira itu dibuang ke dalam sumur dan dicor.
“Mereka adalah manusia paling biadab yang pernah ada di atas muka bumi ini,” kata paman dengan geram. “Otak mereka telah diracuni oleh suatu paham politik yang dapat mengubah manusia berhati baik menjadi manusia berhati bengis. Sebut saja Pol Pot, anak seorang petani miskin di desa dan seorang guru yang baik hati. Setelah paham komunis meracuni otaknya, ia berubah menjadi manusia yang paling jahat di atas bumi Kamboja.”
“Apakah paham komunis itu tidak jauh lebih berbahaya dari paham panteis yang ingin menguasai pemerintahan dengan memakai kedok agama, Paman? Apakah paham sosialis itu tidak jauh lebih berbahaya dari paham theologis yang membawa-bawa nama Tuhan dan nabi demi makar terhadap pemimpin yang sah?”
Paman tentu saja terpana dengan pertanyaanku itu.
“Tentu saja kedua paham itu jauh lebih berbahaya dari kedua paham sebelumnya. Tapi, kita sebagai kaum alit tidak bisa melawan kekuasaan kaum elit, Sam. Kita hanya dijadikan boneka oleh para penguasa di negeri ini. Kita hanya dijadikan korban oleh para pemimpin bangsa ini.”
“Lalu, siapakah yang layak disebut sebagai pengkhianat bangsa, Paman? Apakah orang yang menginginkan kemerdekaan atas bangsanya melalui ideologi komunis, atau orang yang ingin menjual bangsanya pada penjajah melalui paham Panteis?”
“Tentu, yang jauh lebih berbahaya adalah mereka yang ingin menjual bangsa dan negaranya sendiri melalui jalan panteis, sebab mereka ingin mendapatkan kekuasaan dengan memakai kedok agama dan Tuhan sebagai topeng. Dan sampai kiamat negata kita akan terus seperti ini, dikuasai dan dipimpin oleh orang-orang ini.”
“Lalu, siapakah nama orang yang makamnya tidak ditaburi bunga itu, Paman?”
“Namanya adalah Tan. Dia adalah seorang pemikir yang menginginkan bangsanya terlepas dari paham khurafat dan tahayul yang disubur-suburkan oleh para penyebar kebohongan. Dia telah membangunkan dan menyadarkan kaum alit bahwa kita selama ini telah dijadikan alat untuk berkhianat pada presiden. Tapi, dialah yang dituduh telah mengadakan pemberontakan dan pengkhianatan terhadap pemimpin yang sah.”
***
Pagi keesokan harinya, aku dan paman berziarah ke pemakaman untuk menaburkan bunga di atas makam pahlawan tak dikenal itu. Kami memanjatkan doa ke langit agar jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara ini diterima dan segala dosanya diampuni oleh Allah. Aku yakin bahwa Tuhan Mahatahu siapa di antara mereka yang pengkhianat negara dan yang bukan, yang komunis dan yang bukan.
“Apakah paham komunis itu, Paman?”
“Meniadakan Tuhan.”
“Apakah orang yang berkhianat dan makar terhadap pemimpinnya masih layak disebut sebagai pengikut paham panteis, Paman? Apakah orang yang mencuri uang negara dengan jalan korupsi masih layak disebut sebagai orang yang bertuhan?”
“Tentu saja tidak.”
“Jadi, orang yang mengaku beragama dan bertuhan tapi memakai keduanya untuk melakukan kejahatan di muka bumi lebih berbahaya dari mereka yang mengaku komunis dan sosialis?”
“Kira-kira begitulah.” Paman menepuk-nepuk pundakku. Kami berjalan di bawah sinar matahari pagi yang ditutupi oleh awan-awan tipis yang menghiasi langit kampung kami.
“Kalian dari mana?” kata seorang bapak-bapak tua yang merupakan juru kunci pemakaman menyapa kami dengan ramah.
“Kami dari makam itu, Pak.” Paman menunjuk makam tanpa bunga itu.
“Itu makam seorang petani yang dicurigai sebagai mata-mata Tan.” Jawaban dari mulut orangtua itu membuat aku kaget bukan buatan. Begitu juga paman. Kami berdua saling berpandangan.
“Makam Tan tidak diketahui di mana. Alasannya agar kelak tidak seorang pun bangsa kita yang mengenalnya sebagai seorang pahlawan revolusi.” [T]
2024
- BACAcerpen laindi tatkala.co