2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Makam Tanpa Bunga | Cerpen Khairul A. El Maliky

Khairul A. El MalikybyKhairul A. El Maliky
October 19, 2024
inCerpen
Makam Tanpa Bunga | Cerpen Khairul A. El Maliky

Ilustrasi tatkala.co

SUATU KETIKA kami berziarah ke makam kakek dan nenek di pemakaman umum, pagi itu kami melihat ada satu makam yang tidak ditaburi bunga di atas gundukan tanahnya. Kami yang masih bocah pun bertanya kepada ayah, kenapa makam itu tidak ditaburi bunga, padahal masih baru? Ayah yang tidak ingin kami mengusulkan banyak pertanyaan langsung mengajak kami agar cepat-cepat meninggalkan pemakaman. Di dalam perjalanan pertanyaan itu masih berkelebat menghantui pikiranku, karena aku tidak mendapatkan jawabannya. Saat kami sudah jauh meninggalkan pemakaman, aku kembali bertanya kepada ayah.

“Yah, tadi ayah belum sempat memberikan jawaban pada kami, kenapa makam tadi tidak ditaburi bunga, padahal kan masih baru?” aku memutar ulang pertanyaan tadi.

“Ayah tidak tahu, Sam,” jawab ayah datar yang membuatku tidak puas dengan jawabannya itu. Sebab dari mimik mukanya, ayah seperti sedang menyimpan sesuatu yang sangat rahasia dan tidak berani membocorkannya pada siapa pun.

Aku diam. Tapi, pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku seperti garis orbit planet-plenat yang mengelilingi tata surya. Jika ayah tidak mau menjawabnya, biarlah nanti aku akan bertanya pada ibu atau paman. Mereka pasti tahu alasannya.

Setiba di rumah, aku melihat paman sedang membuat ukiran patung dari kayu yang begitu rumit. Tapi, adik ayah itu tampak terampil sehingga tidak sedikit patung-patung rumit yang telah dilahirkan dari kedua tangannya. Lantas aku menghampirinya.

“Paman, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Aku memulai pembicaraan dengan paman agar bisa mengajukan pertanyaanku tadi yang belum sempat dibalas sama ayah.

“Boleh,” jawab paman sambil mengukir patung hewan di bawah tebing air terjun. Patung itu seolah hidup.

“Bukankah di dalam salah satu hadis, Nabi pernah lewat di tengah pemakaman bersama para sahabatnya dan beliau pernah mendengar jenazah yang ada di dalam kubur itu sedang disiksa, lalu beliau menancapkan satu batang pelepah kurma yang masih baru. Lalu, beliau bersabda bahwa selama batang pelepah kurma itu masih segar, maka selama itu pula siksa kubur si mayit diringankan. Jadi, selama ada peziarah yang menancapkan pelepah kurma dan selama itu pula siksanya diringankan. Betulkah begitu, Paman?” Lanjutku bertanya pada paman yang justru membuatnya menghentikan pekerjaannya. Kemudian, lelaki itu meletakkan palu dan alat ukirnya, dan duduk di kursi.

“Betul, Sam. Apa yang kau tanyakan tadi memang benar. Tapi, kenapa kamu bertanya soal itu?” paman balik bertanya.

“Tadi, ketika kami sedang berziarah ke makan kakek dan nenek, aku melihat sebuah makam baru, tapi di atas gundukan tanahnya tidak ditaburi bunga dan di nisannya juga tidak ditulis namanya. Itu sebenarnya makam siapa, Paman?”

Paman mengambil gelasnya dan menyeruput kopi dengan pelan.

“Itu adalah makam seorang pengkhianat bangsa, Sam,” jawab paman dengan memasang mimik muka penuh kemarahan. “Ia adalah orang yang telah membunuh bangsanya sendiri demi kepentingan politiknya.”

Jawaban paman membuatku makin penasaran dan ingin mengorek lebih dalam informasi tentang orang yang disebut pengkhianat bangsa itu. Apa bedanya orang biasa dengan pengkhianat? Apakah benar orang itu seorang pengkhianat bangsa? Dan bukankah kita sama-sama manusia?

“Kenapa orang itu disebut sebagai pengkhianat, Paman? Kenapa ia membunuh bangsanya sendiri hanya demi kepentingan politiknya sendiri?”

Tiba-tiba…

“Saam!”

Ibu memanggilku dari arah teras rumah. Mau tidak mau aku harus mendatangi ibu dan harus meninggalkan paman yang belum memberikan jawaban. Di dalam rumah, tampak ayah sedang makan di meja makan.

“Kamu tidak perlu mempertanyakan makam yang tadi,” ujar ayah sambil makan. “Orang-orang yang menguburkan jasad orang itu sudah tahu kalau setiap makam baru harus ditaburi bunga untuk meringankan siksa setiap orang yang dikubur.”

“Tapi, kenapa makam itu tidak, Yah?”

“Bukankah ayah barusan sudah bilang jangan bertanya soal makam itu?!” Kedua mata ayah menusuk tajam ke arah mukaku.

“Karena hanya orang itu seorang pengkhianat bangsa?”

Ayah diam.

***

Sore harinya, ketika aku sedang bermain di lapangan desa bersama teman-temanku, aku menyaksikan para tentara sedang menangkapi dan mengumpulkan rakyat kecil di tengah lapangan. Bahkan para tentara itu menyuruh kami pulang. Lalu, dari kejauhan aku mengintip dari balik semak-semak apa yang dilakukan oleh para tentara itu di sana. Mereka tampak sedang menginterogasi orang-orang lemah itu sambil mengintimidasi. Jika mereka tidak memberikan jawaban yang diinginkan oleh tentara itu, maka tamparan atau pukulan yang akan menjawabnya. Apakah memang sekeji itukah para tentara kita? Bukankah seharusnya mereka melindungi dan mengayomi rakyat kecil?

“Mereka itu bukan rakyat kecil biasa,” jawab ayah saat aku menanyakan apa yang aku saksikan di lapangan. “Mereka adalah komplotan para pengkhianat bangsa yang ingin menguasai negara ini.”

“Maksud, Ayah?”

“Sudah, sudah, jangan bertanya lagi soal itu!” Ayah berdiri dari kursi duduknya. Rupanya beliau masih marah karena pertanyaanku tadi pagi.

Aku melihat paman yang tampak sedang bekerja mengukir patung yang belum selesai itu. Mungkin itu pesanan seseorang yang harus diselesaikannya.

“Paman, barusan aku melihat banyak tentara menangkapi dan mengumpulkan orang-orang di lapangan desa. Lalu, mereka ditanya dan diinterogasi, bahkan mereka ada yang dipukuli.”

“Mereka ditangkap karena menjadi anggota salah satu partai yang dilarang di negara kita, Sam,” ujar paman.

Dengan panjang lebar paman menjelaskan bahwa di kota kami pernah datang seorang lelaki yang sangat pintar dan alim. Orang itu dulunya pernah tergabung dalam salah satu partai yang paling berbahaya untuk diikuti karena ideologinya dapat merusak ideologi bangsa yang telah ditanamkan oleh para pemimpin bangsa ini. Lalu, partai itu mengumpulkan massa yang kebanyakan dari kaum proletar yang berhaluan sosialis untuk melakukan pemberontakan. Di ibu kota, para pejuang pemberontakan itu berhasil menangkapi dan membunuh para perwira. Kemudian, jasad para perwira itu dibuang ke dalam sumur dan dicor.

“Mereka adalah manusia paling biadab yang pernah ada di atas muka bumi ini,” kata paman dengan geram. “Otak mereka telah diracuni oleh suatu paham politik yang dapat mengubah manusia berhati baik menjadi manusia berhati bengis. Sebut saja Pol Pot, anak seorang petani miskin di desa dan seorang guru yang baik hati. Setelah paham komunis meracuni otaknya, ia berubah menjadi manusia yang paling jahat di atas bumi Kamboja.”

“Apakah paham komunis itu tidak jauh lebih berbahaya dari paham panteis yang ingin menguasai pemerintahan dengan memakai kedok agama, Paman? Apakah paham sosialis itu tidak jauh lebih berbahaya dari paham theologis yang membawa-bawa nama Tuhan dan nabi demi makar terhadap pemimpin yang sah?”

Paman tentu saja terpana dengan pertanyaanku itu.

“Tentu saja kedua paham itu jauh lebih berbahaya dari kedua paham sebelumnya. Tapi, kita sebagai kaum alit tidak bisa melawan kekuasaan kaum elit, Sam. Kita hanya dijadikan boneka oleh para penguasa di negeri ini. Kita hanya dijadikan korban oleh para pemimpin bangsa ini.”

“Lalu, siapakah yang layak disebut sebagai pengkhianat bangsa, Paman? Apakah orang yang menginginkan kemerdekaan atas bangsanya melalui ideologi komunis, atau orang yang ingin menjual bangsanya pada penjajah melalui paham Panteis?”

“Tentu, yang jauh lebih berbahaya adalah mereka yang ingin menjual bangsa dan negaranya sendiri melalui jalan panteis, sebab mereka ingin mendapatkan kekuasaan dengan memakai kedok agama dan Tuhan sebagai topeng. Dan sampai kiamat negata kita akan terus seperti ini, dikuasai dan dipimpin oleh orang-orang ini.”

“Lalu, siapakah nama orang yang makamnya tidak ditaburi bunga itu, Paman?”

“Namanya adalah Tan. Dia adalah seorang pemikir yang menginginkan bangsanya terlepas dari paham khurafat dan tahayul yang disubur-suburkan oleh para penyebar kebohongan. Dia telah membangunkan dan menyadarkan kaum alit bahwa kita selama ini telah dijadikan alat untuk berkhianat pada presiden. Tapi, dialah yang dituduh telah mengadakan pemberontakan dan pengkhianatan terhadap pemimpin yang sah.”

***

Pagi keesokan harinya, aku dan paman berziarah ke pemakaman untuk menaburkan bunga di atas makam pahlawan tak dikenal itu. Kami memanjatkan doa ke langit agar jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara ini diterima dan segala dosanya diampuni oleh Allah. Aku yakin bahwa Tuhan Mahatahu siapa di antara mereka yang pengkhianat negara dan yang bukan, yang komunis dan yang bukan.

“Apakah paham komunis itu, Paman?”

“Meniadakan Tuhan.”

“Apakah orang yang berkhianat dan makar terhadap pemimpinnya masih layak disebut sebagai pengikut paham panteis, Paman? Apakah orang yang mencuri uang negara dengan jalan korupsi masih layak disebut sebagai orang yang bertuhan?”

“Tentu saja tidak.”

“Jadi, orang yang mengaku beragama dan bertuhan tapi memakai keduanya untuk melakukan kejahatan di muka bumi lebih berbahaya dari mereka yang mengaku komunis dan sosialis?”

“Kira-kira begitulah.” Paman menepuk-nepuk pundakku. Kami berjalan di bawah sinar matahari pagi yang ditutupi oleh awan-awan tipis yang menghiasi langit kampung kami.

“Kalian dari mana?” kata seorang bapak-bapak tua yang merupakan juru kunci pemakaman menyapa kami dengan ramah.

“Kami dari makam itu, Pak.” Paman menunjuk makam tanpa bunga itu.

“Itu makam seorang petani yang dicurigai sebagai mata-mata Tan.” Jawaban dari mulut orangtua itu membuat aku kaget bukan buatan. Begitu juga paman. Kami berdua saling berpandangan.

“Makam Tan tidak diketahui di mana. Alasannya agar kelak tidak seorang pun bangsa kita yang mengenalnya sebagai seorang pahlawan revolusi.” [T]

2024

  • BACAcerpen laindi tatkala.co
Cintaku dan Cinta Kawanku | Cerpen Kadek Susila Priangga
Untuk Mamah dan Nenek | Cerpen Alfiansyah Bayu Wardhana
Tumbal Politik | Cerpen I Made Sugianto
Hyang Ibu
Jerit Padi Luka Pesisir | Cerpen Gede Aries Pidrawan
Arus Pelayaran | Cerpen Karisma Nur Fitria
Sejak Itu Samsu Berubah | Cerpen Khairul A. El Maliky

Sumbi Tak Mengandung Anak Tumang | Cerpen Amina Gaylene
Tags: Cerpen
Previous Post

Sajak-Sajak Angga Wijaya | Meditasi Akhir Tahun

Next Post

Final Tajun Cup V: Misi Revans The Winner atas Planet

Khairul A. El Maliky

Khairul A. El Maliky

Pengarang novel yang lahir di Kota Probolinggo. Buku terbarunya yang sudah terbit antara lain, Akad, Pintu Tauhid, Kalam, Kalam Cinta (Penerbit MNC, 2024) dan Pernikahan & Prasangka Cinta (Segera). Di sela-sela mengajar Sastra Indonesia, pengarang juga menulis dan mengirimkan cerpennya ke berbagai media massa.

Next Post
Final Tajun Cup V: Misi Revans The Winner atas Planet

Final Tajun Cup V: Misi Revans The Winner atas Planet

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co