APA yang dimaksud dengan melihat dunia dengan cara yang baru? Padahal tidak ada yang baru di dunia ini. Dengan mata yang bagaimana kita melihat sesuatu? Apa yang dikatakan mata-mata itu?
Setidaknya, itulah pertanyaan saya yang timbul begitu selesai membaca catatan kurator pada pameran fotografi “Kata Mata” yang diadakan oleh Gulung Tukar di Gutuhaus, Tulungagung, Jawa Timur, 5-25 Mei 2024. Dalam akhir kalimat, dia mengajak pengunjung untuk membuka mata dan menemukan cerita yang tersembunyi di sekitar kita. Adakah cerita yang tersembunyi atau sebenarnya hanya terabaikan?
Setelah memutari ruangan, melihat dan membaca ada suatu pola yang terbentuk. Tiap karya punya suara tersendiri, beberapa menggunakan sudut pandang tokoh tertentu untuk melingkupi hal yang umum. Sebagaimana Dimas Gilang menggunakan tokoh Bu Am untuk memotret ote-ote yang seharga seribu rupiah.
Catur Tutud dan Ongky Prasetyo menggunakan tokoh Lia, seorang pelebur emas yang justru tak tampak dalam foto-foto mereka. Catur dang Ongky fokus pada alat-alat yang diam, tergeletak, dan bernuansa sunyi.
Suhada mengikuti tokoh Pak Paimin dan Mbok Painem masuk ke bandara untuk sekadar melihat pemandangan atau bekerja, juga memasukkan percakapan dari keduanya dalam narasi.
Gelar Prakosa-Rasa Original
Begitu juga dengan Nanda Rahmawati memotret tokoh keponakannya yang sedang bermain gadget di manapun dan kapanpun, seolah dunia anak kecil itu hanya berada di dalam gadgetnya. Dan Laila Muhibbah menggunakan tokoh Nita yang menjalani hari-hari sebagai korban pernikahan dini.
Beberapa menggunakan masyarakat dan latar tertentu untuk melingkupi isu bersama yang mengalami kebuntuan. Seperti karya Rivo Abdulhaq memotret anak-anak SMP yang mengendarai motor dengan cepat tanpa menggunakan helm.
Fokus pada latar TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Segawe, Sulthon Amrullah mengambil jarak jauh dan dekat, terlihat sunyi sekaligus miris. Salsabila Cindy memotret apa-apa yang ada di alun-alun Blitar, yang baginya memperlihatkan keseimbangan manusia dan alam.
Ada juga suara-suara yang menyenangkan, Farhan Nawawi memotret gotong royong pembangunan pondok pesantren, orang-orang terlihat sibuk dan senyum tersemburat dari wajah mereka. Dan foto-foto yang ditata khas gaya 2000 an awal oleh Raihan Wahyu yang menangkap memorinya bersama teman-teman selama perjalanan menuju desa Pakel.
Yang terakhir, sesuatu yang bersifat simbolis. Layar yang memutar video proses pembuatan baju yang berbahankan potongan kain dan majalah. Pada tiang kayu sebelah tergantung sebuah pakaian hasil dari potongan-potongan kain dan kertas di video itu.
Nanda Rahmawati-Ketergantungan Anak pada Gadget
Zidni Khittam, pada pameran ini menggunakan matanya yang berfokus pada sampah kain. Menurutnya usaha upcycling diperlukan agar sampah kain jadi produk baru yang bernilai tanpa menghilangkan bentuk aslinya.
Gelar Prakosa memotret botol Coca-cola yang dipotong, ditaruh terbalik, dan dijadikan pot untuk gulma, foto itu dihadirkan dengan alat proyektor yang mengarah ke lantai, dikelilingi oleh botol-botol bekas berisi gulma. Dengan terang-terangan Gelar menuliskan karyanya adalah satir dari upaya ilusif manusia dalam menjaga lingkungan.
Tentu apa yang dihadirkan bukanlah sesuatu yang baru, terlebih dengan seiringnya penggunaan sosial media. Baik berita mau pun informasi melesat cepat tersampaikan, kita melihat hal-hal semacam itu dengan keterabaian karena terbiasa dengan kondisi tersebut dan mau tak mau menjadikannya “wajar”, seperti anak yang terus-terusan bermain gadget, pernikahan dini di sekitar, sampah-sampah yang menumpuk, dan sebagainya.
Hanya saja ketika hal semacam itu dihardirkan dengan bentuk pameran menjadikannya punya nuansa yang baru, kita mewajarkan hanya karena tak tahu atau bahkan tak peduli dengan cerita kecil dan detail di dalamnya, mungkin inilah yang dimaksudkan “cerita tersembunyi di sekitar kita” yang dimaksud oleh kurator, Benny Widyo.
Rivo Abdulhaq-SMP Sepeda Motor Pelajar
Mata-mata yang “dipinjam” atau disaksikan dalam pameran ini tidaklah seragam. Tiap orang punya fokusnya tersendiri, entah itu dari yang dekat, yang membuat mereka gelisah, yang berkenang, hingga sesuatu yang tampak miris. Keberagaman inilah yang membuat pameran menjadi unik dan menarik. Tiap mata punya fokus, tiap fokus tidak sama dengam mata yang lain.
Menikmati pameran ini seperti menikmati membaca majalah National Geographic versi “pameran”. Apa yang di foto tak ada di narasi, apa yang di narasi tak ada di foto, namun keduanya saling melengkapi satu sama lain. [T]