DI bilangan selatan Jakarta, mereka duduk berpandangan. Adam dengan Caramel Macchiato dan Isaac dengan Green Tea Latte. Di antara riuh rendah suara dan derai tawa, mencuat pula musik Frank Sinatra, My Way, kala mereka khusyuk menyelami dasar kesunyian masing-masing. Sebab, di dunia mereka, kehidupan adalah sesuatu yang lain. Hasrat lain. Cinta lain. Kesedihan lain. Kebebasan lain. Maka, mendengar musik jenis ini, sontak mengiris-ngiris kesedihan.
Mendengar Frank Sinatra merontokkan derita yang mengutui kepala. Mendengar Frank Sinatra sama dengan mengundang duka panjang yang celaka. Seperti koor, mereka sambil lalu mengikuti nyanyian: My friend, I’ll say it clear. I’ll state my case, of which I’m certain…
“Isaac.”
“Ya, Adam?”
“Aku pernah mencuri dengar pertengkaran Bapak dan Ibu. Bapak menyesali Ibu mengandung-melahirkanku. Tersendat-sendat Bapak berucap: Itu anak iblis dan iblis bisa mewujud sosok banci…”
“Lalu, Adam?”
“Lalu ia menyeretku dari kamar. Dipaksanya aku masuk ke mobil. Ia membawaku ke dokter spesialis. Ibu hanya menangis. Di jalan, tak hentinya ia memakiku banci. Dan…”
“Dan, apa?”
“Saat berhenti makan di warung tepi Kebun Jeruk, seorang pengamen waria datang bernyanyi menghibur kami. Aku girang bukan main. Bapakku berang setengah mati. Ia menyumpahi, meludahi, dan memaki. Ia menendang tulang kering waria itu, lalu mengusirnya.”
Isaac terdiam. Mendengar kisah itu membuat hatinya nyeri. Ia juga terkenang mendiang ayahnya yang––karena laporan warga komplek dan guru sekolah––pernah menggunduli kepalanya. Orang-orang komplek melaporkan karakter Isaac yang seperti perempuan. Guru-guru di sekolah melaporkan kesehariannya yang bermain bersama perempuan. Dengan membotaki, ayahnya berharap Isaac terlihat sangar dan maskulin. Tetapi wajahnya yang manis, jarinya yang panjang dan lentik, dagunya yang berbelah, serta kulitnya yang putih, membuatnya lebih menyerupai seorang perempuan yang mengidap alopecia areata.
“Bencong setan! Pergi sana, memalukan!” Terngiang pula suara mendiang ayahnya tertambat di kepala. Suara makian yang sering kali diiringi tonjokkan, jambakan, atau terjangan ke perutnya. Tonjokan itu membuat hidungnya berdarah. Jambakan itu menggugurkan berhelai rambut dari kepala. Terjangan itu membilurkan tulang rusuknya. Seperti biasa, ibunya hanya menangis, lalu datang memeluknya, sambil gemetar menyeka sudut-sudut matanya yang basah.
Tapi apalah artinya menangis, yang menurut Isaac, tak bisa mengubah apa-apa. Apalah artinya perempuan, yang menurut ayahnya, tak dapat berbuat apa-apa. Ayahnya sering kali membentak Ibu kala melindungi Isaac dari pukulan: “Ini urusan laki-laki, kau diam sajalah!” atau “Ini salahmu. Gagal mendidik anak!” atau “Rahimmu kotor. Melahirkan bencong sampah!” Bekas yang patut Isaac lupakan. Tetapi goresnya terlalu dalam, meluka panjang, membuatnya sukar terlupakan.
Pernah suatu ketika, saat berbelanja ke mall, Isaac dan mendiang ayahnya berbarengan ke toilet. Ayahnya kencing berdiri di urinoar, sedang ia masuk ke bilik toilet. Di luar toilet, Ayahnya mendelik, dan berujar, lelaki sejati itu kencing berdiri…
Semenjak itu Isaac mencemasi toilet. Ia hanya mampu menguntai harap. Bahwa kelak saat tumbuh dewasa penisnya mengkerut menjadi grapefruit, belahan jeruk berdaging merah. Payudaranya membesar menyerupai buah pir.
“Isaac.”
“Ya, Adam?”
“Kenapa, ya? Saat duduk berhadapan cermin, aku selalu menyaksikan seorang gadis yang, sekali waktu rambutnya tergerai dan lain waktu disanggul, membayang cantik di situ. Kakinya singsat seperti pandai merawat diri. Itu jugalah alasan mengapa aku suka mengoleksi boneka barbie, ketimbang hot wheels. Lebih suka bermain lompat tali, ketimbang bola kaki.”
“Itu gejala narsisme, Adam.”
“Apa itu narsisme?”
“Kau mencintai bayanganmu dan bayangan itu kembali mencintaimu.”
“Sekiranya aku mengalami kelahiran kedua, Isaac. Aku pastilah anak perempuan yang cantik. Anak perempuan yang memberi kegembiraan bagi semua. Sialnya tak ada kelahiran kedua. Di dalam kehidupan yang rapuh ini, aku hanya dikutuk mati berkali-kali.”
Isaac mendengus, menyungging senyum haru. Matanya jatuh iba, berkaca-kaca, seperti menahan tangis di tenggorokan. Isaac mengerti, bahwa mereka adalah perempuan lain tanpa rahim dan air susu. Tak hadir dari tanah liat dan tulang rusuk. Bukan tamar, ular dan cadar. Sementara di Taman, tak ada pohon pengetahuan buat mereka. Tapi mereka adalah Mur. Mencari cahaya demi Cahaya, kasih demi Kasih. Memurnikan duka abadi yang kelak akan kalian pahami.
“Eh, Isaac, kau pernah mendengar waria yang dibakar oleh laki-laki di Jakarta?”
“Aku tahu, Adam. Aku tahu. Aku membacanya di Jakarta Post. Mengetahui itu membuatku dirundung ketakutan tak berkesudahan.”
“Aku benci kota ini. Aku membenci laki-laki di kota ini. Aku ingin mengencingi Jakarta dan laki-laki Jakarta!”
“Mengapa pula membenci laki-laki Jakarta, Adam?”
“Mereka, bajingan-bajingan ibukota, hanya ingin memorotiku. Pernah aku mencintai seseorang. Saking cintanya, aku berbakti melayani semua permainannya. Aku menjilati jejak keberandalan pada lubang terkotor kehidupannya. Aku jugalah yang mencecap seluruh kesengsaraannya yang muncrat sepat di tenggorokan.”
“Kau harus belajar melupakannya, Adam. Belajar memaafkannya.”
“Kota ini juga kejam, Isaac. Kota yang dibangun dengan susunan api dan darah, kekerasan dan amarah, tak akan mengenali keragaman. Tidak hanya gedung-gedung dibakar, etnis minoritas pun diperkosa, minoritas agama dipukuli. Sementara minoritas seksual: dibakar, diperkosa, dan dipukuli. Bayangkan, Isaac, bayangkan. Bila seseorang sepertiku beretnis minoritas dan beragama minoritas, ditambah miskin dan berkulit hitam, apa pulalah penderitaan yang mereka alami.”
Isaac tak menyahut. Hanya bergidik mengangkat bahu. Hidungnya kembang kempis.
“Mengapa ya, Isaac, mereka tak mengerti. Banyak orang tak mengerti. Bahwa sebagian orang terlahir tidak merdeka dan karena itu harus berjuang memerdekakan dirinya?”
“Tak tahulah, Adam. Tak tahulah.”
“Tak ada ruang aman di sini, Isaac. Orang-orang tetap akan mencibirku. Bapakku tetap akan menghambur sesal, menghujaniku dengan pukulan. Ibu hanya bisa menangis. Dan untuk kesekian kali, kota tetap akan menebar teror, menebar ketakutan.”
“Adam yang baik. Tak perlulah gusar. Bila kau lelah, beristirahatlah. Bila kau berapi-api, percayalah, kau tak akan terbakar sendiri.”
Kian sore Starbucks kian pelik. Di sudut jauh, sepasang kekasih duduk bersampingan. Bicara dalam dan saling menggenggam. Sepasang yang lain, duduk berhadapan. Berbicara dalam dan tak saling menggenggam. Ditatapnya muka Isaac dan Isaac menatapnya pula. Adam menundukkan kepalanya sebentar. Hanya sebentar. Lalu kembali mendongak.
“Kalau tak salah ingat, di Utrecht, kau menulis riset tentang pengalaman kebertubuhan kan, Isaac?”
“Betul, Adam. Kenapa?”
“Apa temuanmu?”
“Tubuh adalah cakrawala kehidupan yang memaknai dunia, Adam. Ia lebih banyak tahu dari kesadaran. Tubuh juga lokasi paling berdaulat milik manusia.”
“Tapi, Isaac. Di sini, di negeri ini, mengapa pengalaman berketubuhan menjadi objek pengaturan kebudayaan?”
“Maksudmu, mengapa negara mengendalikan tubuh, gitu?”
“Iya, Isaac. Soalnya aku menyaksikan dari dekat bagaimana negara dan masyarakat meringkus tubuh minoritas seksual dan menjebloskannya ke dalam penjara moral. Memenjarakan tubuh mereka dengan hukum dan kitab suci. Seolah mereka adalah ahli langit dan bumi.”
“Begitulah, Adam, bila kesolehan negara mengangkangi kehidupan privat setiap orang. Itu pulalah alasan mengapa minoritas seksual dianggap menyimpang dan berdosa, bahkan bukan warga negara sekaligus warga agama yang baik.”
“Semua mereka beranggapan bahwa ini sekadar urusan jepong, sepong, dan tempong, Isaac. Seolah penderitaan ini hanya urusan selangkangang semata. Omong-omong, di Belanda bagaimana?”
“Pemerintah dan masyarakatnya menghargai keragaman seksual, Adam.”
“Terus, Isaac?”
“Kebebasan individu menjadi prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia. Tak ada seorang pun melecehkan martabat manusia dengan mengganggu keyakinan privatnya.”
Isaac kembali mencermati wajah Adam. Tatapannya lembut. Lekat-lekat ia pandangi bibir tipis Adam yang, sekalipun tampak samar, seperti dibalut merah lipstik. Sementara di bawah rambutnya yang berponi, terlihat betapa matanya sayu dan mati dan tak memancarkan apapun.
Merasa ditatap tajam dan dalam, Adam mendeham. Mendeham pelan sekali. Isaac lalu meraih rokok, membakarnya, menyesap, mengempas gugusan asapnya ke udara, dan sambil lalu mengikuti nyanyi Frank Sinatra: And more, much more than this, I did it my way…
“Isaac.”
“Ya, Adam?”
“Kau punya bokin? Atau apalah, semacam join misalnya? Atau barangkali, seseorang yang sedang kau cintai?”
Isaac termenung. Termenung dalam sekali. Direngkuhnya tangan Adam dan Adam merengkuh tangannya pula. Dan dengan nada rendah yang sengaja dipelankan, Isaac menjawab: “Aku akan menikah dengan lelaki Belanda, Adam.”
Di luar Starbucks cuaca mendung. Awan hitam sehitam logam bergerak. Angin santer. Musim hujan tak lagi menyenangkan di Jakarta. Hampir setiap hari turun hujan. Hampir tiap hari pula turun air mata. Tubuh Adam basah oleh keduanya. [T]
Maret, 2024.
- BACA CERPEN LAIN DI TATKALA.CO