UNTUK makan malam nanti, seorang ibu memasak sesuatu di dapur. Ia sangat sibuk. Sedang hujan baru saja turun saat hari menjelang sore. Dua bocah kecil, anaknya, bermain di luar rumah saat hujan baru saja tiba. Tentu menambah kerepotan dirinya—membuatnya khawatir.
Khawatir mereka akan demam. Batuk, pilek. Khawatir anaknya akan dibuat celaka oleh hujan.
Tapi dua bocah itu tak mau tahu ibunya akan sekhawatir apa, mereka menyelinap keluar rumah secara diam-diam, seolah memeragakan diri mereka sebagai bandit kecil. Mereka terus bermain berburu ikan-ikan kecil di parit. Bersama seekor anjing peliharaan, mereka tetap bermain dengan seru.
Ini musim hujan. Kota yang kering. Parit kecil atau dua bocah itu menyebutnya juga sungai kecil. Air melimpah tidak seperti biasanya. Tapi tidak ada ikan di sana. Hanya ada sampah yang sesekali tersangkut di jaring mereka.
Setelah satu jam berburu, satu anak paling besar berdiri dengan gagah. Ia melemparkan jaring penuh plastik ke hadapan adiknya. Si adik marah. Ia membuka celananya kemudian—mengeluarkan burung kecilnya di dalam celana. Mata sang kakak berburu seperti elang mendelik tajam, memastikan apakah sudah ada ikan mabuk setelah si adik kencing di sana.
Tidak ada ikan di parit. Hanya ada kondom, bungkus plastik mie instan dan sabun. Sang adik mengeluarkan itu semua dari jaring. “Kita dapat balon seperti punya ayah, Kak!” Si Adik menunjuk ke kondom di dalam jaring.
“Wah, iyah. Itu balon seperti punya ayah!”
“Mengapa tidak ada ikan di sungai kecil ini, Kak?
“Mungkin mereka tidak ada di sini. Coba kita ke sana!”
Sepuluh meter mereka bergeser. Di sana pun mereka tidak mendapat apapun selain sampah plastik dan ranting-ranting kayu. “Di sini juga sama saja tidak ada ikan, Kak.”
“Iya. Coba nanti kita tanya Ayah, mengapa di sungai kecil tidak ada ikan?!”
Langit kian mendung dan hujan semakin deras. Sore sebentar lagi lenyap. Petir mengkilat-kilat meneror mereka. Terburu-buru seorang perempuan membawa gayung keluar rumah. Mencari anaknya tak ada di kamar mandi. Dan ia menemukan mereka sedang asik bermain hujan.
Kilat-kilat bertambah meneror mereka. Langit menjadi gelap terang, menjadikan suasana antara hidup dan mati kepada dua bandit kecil itu seketika.
“Kakaaaaa…. hujan!” teriak sang ibu di depan pagar. “Ayo cepat masuk! Ajak adik masuk! Cepetaaaan…”
“Iya, Mamah, sebentar lagi,” balas anak paling besar. “Ayo, Dek, bawa jaringnya!” suruhnya sang kakak kepada si adik.
Mereka pun lekas berlari menuju rumah. Sedangkan Pator, sang anjing kesayangan mereka, menggonggong kencang kepada wanita yang berteriak seperti penyihir itu. Walau hanya seekor anjing—tampaknya ia lebih mengerti perasaan dua bocah itu yang masih ingin bermain lebih lama.
Tapi apa boleh buat. Mereka bertiga juga sama takutnya hingga berlari ke dalam rumah saling menyalip. Anjing itu berhenti di beranda, dan berhenti menggongngong—merasa takut dirinya ketika melihat dua bandit kecil itu tertangkap dan digeplak… plakk… plakk… plakkk….
“Ampun Mah! Ampun Mah!” teriak dua bocah itu keras.
***
Untuk anak-anaknya, seorang ibu seakan memiliki jam kerja sampai 24 jam. Tak ada kata bersantai untuk seorang ibu. Bahkan, pula tak ada hari libur. Apalagi memiliki dua anak yang masih kecil itu, seperti dirasakannya memiliki dua monster besar. Tentu. Jika tidak dibuat repot karena tingkah, paling tidak ia akan dibuat repot karena anak-anaknya sakit.
Sebab musim hujan, musim dimana penyakit sangat rentan terjadi kepada kanak-kanak. Bahkan kepada orang dewasa sekalipun. Sebab itu ia mengkilir mungil telinga kedua anaknya. Tanda kekesalannya, tanda kasih sayangnya barangkali.
Untuk keluarganya, sang ibu juga memiliki waktu yang lebih. Sebagaimana memasak mesti tiga kali dalam sehari. Tak boleh kurang. Dan menu mesti berbeda agar suami tak bosan. Agar anak tak bosan. Pula dalam seminggu sekali, kamar mandi seperti kuil kecil yang harus ia jumpai dalam keadaan bersih. Menyucikan pakaian dirinya, anak-anaknya dan suaminya tentu saja. Walaupun panas sudah jarang muncul untuk menjemur, tapi ia tetap mencuci dengan suka cita.
Sebab itulah kemudian, barangkali, mengapa seorang ibu dianggap makhluk istimewa oleh kebanyakan orang. Dan dianggap layak untuk diperingati setahun sekali di “Hari Ibu”. Walau sebenarnya kita tidak pernah tahu—siapa yang mengutuknya bekerja begitu berat di dalam rumah jika musim hujan sudah tiba?
Dari luar. Angin masih ribut. Hujan turun masih sangat deras sampai jam 8 malam. Kilat-kilat masih meneror di luar sana. Seorang lelaki, suaminya, baru saja datang mengetuk pintu sepulang bekerja. Karena terhalang suara hujan dan guntur, suara ketuk pintunya nyaris tak terdengar sampai ke dalam rumah.
Basah kuyup tubuhnya dan menggigil. Ia terus mengetuk pintu memanggil sang istri di dalam kamar. Pator sang anjing pun terkejut. Ia terbangun dari sudut tembok sebelah timur ruang keluarga, dan menggonggong seolah memberi tahu bahwa seseorang telah datang dan mengetuk pintu lebih dari enam kali.
Perempuan itu kemudian menyaut, dan lekas berjalan menuju suara anjing itu dan lelaki yang memanggilnya keras di depan pintu. “Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!” katanya tegas kepada dua bandit kecil itu.
“Iya, Mamah.” jawab mereka sambil memegang telinga dan pantatnya yang memerah.
Perkara kebengalan suaminya tak mau mendengar pesan sang istri untuk membawa mantel saat pergi bekerja menjadi perkara besar. Lantas pertengkaran pun terjadi di antara istri dan suami di depan pintu.
Si istri seakan merasa sia-sia bila harus mempertegas berkali-kali, bahwa mantel adalah benda sakral di musim penghujan yang wajib dibawanya ke mana saja.
“Anak sama ayah sama saja!” sungut sang istri. Lekas ia pergi ke dapur menyiapkan makan malam tanpa senyum.
Sedang lelaki itu hanya terdiam menahan tubuhnya menggigil di balik pintu. Tidak lama kemudian, ia pun pergi ke kamar mandi tanpa senyum.
***
“Aku lupa tadi pagi membawa mantel.” ucap lelaki itu sudah rapi.
Sang istri hanya terdiam. Terus terdiam sampai waktu makan malam selesai. Ia sama sekali tidak menanggapi ajakan mengobrol suaminya. Ia bersikap dingin. Ia memilih pergi ke kamar tidur setelah makan malam tandas di ceruk piring.
“Selesai makan minta Ayah antar kalian ke kamar untuk tidur!” kata si ibu kepada dua bocah itu lalu pergi ke kamar.
“Iyah, Mah.”
Kemudian satu bocah berbisik kepada ayahnya, “Mamah sedang marah. Karena tadi kami main hujan di luar,” bisiknya pelan.
“Ayah juga sih tidak membawa mantel,” tegur si kakak dengan suara agak keras.
“Kalian juga salah. Hujan-hujanan,” balas ayahnya. “Ayo habiskan. Biar cepat kita bisa tidur. Ayah sudah mengantuk!”
Sang anak mengangguk. Makanan cepat dihabiskannya. Suasana malam yang cukup tegang itu membuat mereka melupakan cerita dan pertanyaan tadi sore: mengapa kondom dan sampah plastik lebih banyak hidup di sungai kecil dari pada ikan-ikan? Pertanyaan itu terlupa begitu saja. Raib di dalam kepala mereka.
Sekembalinya mengantar dua bandit kecil itu untuk tidur, si ayah duduk di kursi sambil merokok. Lelaki itu membayangkan bagaimana sang istri repot mengurus rumah sendiri. Tiba-tiba ia merasa bersalah telah meninggalkan istrinya mengurus dua anak sendirian, dan satu ekor anjing di musim hujan. Ia melamun hingga tengah malam. Ia merokok banyak sekali.
Di luar sana. Hujan masih belum berhenti. Angin masih terus bertengkar dengan pohon, dengan apa saja yang ia terpa. Satu pohon tumbang dan satu pohon lagi terkena petir, lima ratus meter dari rumah mereka. Sedang lelaki itu masih tetap melamun dan baru berhenti di jam 01.30.
Ia pergi dari meja makan menghampiri sang istri kemudian. Sangat pelan dirinya ketika membuka–menutup pintu kamar. Ia rebahkan tubuhnya ke ranjang yang sama juga pelan-pelan.
Tapi sang istri justru menghindar. Membelakangi suaminya. Ia masih tak peduli. Ia tak benar-benar sudah tidur dari tadi. Ia justru baru saja selesai menangis. Air mukanya layu dan matanya lembab berair di balik selimut.
“Maafkan Ayah, ya, Mah,” ucap laki-laki itu menyesali. “Besok ayah tidak jadi pergi ke toko. Libur beberapa hari tak apa. Biar bisa kita urus anak. Biar bisa kita urus rumah sama-sama.”
Sesekali tangan laki-laki itu memeluk istrinya. Tapi sang istri masih tetap bersikap dingin. Ia hanya menjawab dengan menggeserkan badannya. Menghindar dari badan suaminya ketika sang suami mendekat dan memeluk.
Laki-laki itu semakin terpukul rasa bersalah. Tak ada kehangatan baginya selain ranjang yang beku.
“Kita bikin anak satu lagi, yah, Mah?!” bisik lelaki itu masih merayu. [T]