JOE, begitu panggilan pria ganteng itu. Ia kebanggaan keluarga dan kerabatnya. Koneksinya banyak, dari orang-orang penting hingga kepeduliannya kepada orang-orang miskin. Ia menguasai banyak bahasa dan cepat menyelesaikan masalah. Itulah alasannya ia mendapat posisi penting dan strategis di perusahaan besar event organizer (EO) terkemuka itu. Salah satu EO yang bisnisnya telah merambah dunia, baik event hiburan, pameran, konferensi tingkat tinggi negara-negara sampai kongres ilmiah para ilmuwan.
“Orang-orang hebat memberi kita motivasi. Tapi jangan lupa, orang-orang yang menderita membuat kita bersyukur. Kalau mau jujur, ketimbang motivasi, rasa syukurlah yang membuat kita lebih cepat sukses!”
Kata-kata itu selalu diucapkannya kepada rekan-rekan kerjanya, keluarga dan kerabat atau saat ia diminta mengisi kelas motivasi di sejumlah instansi pendidikan di kotanya. Kata-kata itu juga salah satu quote yang sering ia ingatkan melalui akun media sosialnya.
“Karena, setinggi apa pun, kita tak pernah sempurna!”
Pengikutnya banyak sekali dan sebagian besar adalah kaum hawa. Tubuh ganteng dan wajah macho-nya menjadi salah satu daya tariknya. Jangan-jangan kaum lelaki ada juga yang naksir. Tetapi, ada seorang yang kurang menyukainya. Bosnya sendiri. Bos yang merasa posisinya bakal terancam. Ia model manusia, yang dengan mudah dapat melakukan segala cara untuk kepentingannya.
***
Saat ini, ia tengah mempersiapkan event prestisius, eksibisi kerajinan tangan tradisional oleh sebuah departemen pemerintah di kota Amsterdam. Kerajinan tangan yang telah menjalani proses kurasi yang ketat akan dikenalkan dalam sebuah event internasional di sebuah hotel di dekat Rijkmuseum, Belanda. Di salah satu ruang pertemuan gedung departemen itu, Joe memaparkan persiapan maupun panduan implementasi eksibisi yang akan mereka laksanakan. Hadir langsung Pak Menteri, sejumlah jajarannya dan seorang gadis cantik bernama Agnes, yang selama ini terus memberi perhatian kepada Joe.
Joe menggunakan setelan batik coklat muda dengan dasar warna hitam, membuatnya anggun. Ia berhasil memadukan unsur tradisional dengan sikap gayanya yang konsevatif, sebuah paduan selaras. Bahasa tubuhnya mengutarakan kekuatan dan superioritas.
“Baik, Bapak Menteri, Mbak Agnes dan bapak ibu semua. Venue eksibisi, kami sampaikan, berkat upaya keras tim dan bantuan kedutaan RI di Denhaag, kita mendapatkan hall paling strategis!”
Joe menampakkan wajah bangga dan semua yang hadir mengangguk tampak puas dan excited.
“Terkait akomodasi. Ini juga kabar baik untuk kita semua, Pak Menteri. Karena semua delegasi dipastikan mendapat kamar di hotel tempat eksibisi berlangsung, Park Central Amsterdam. Agen perjalanan yang kami gandeng memang sangat responsif.”
Agnes, terus memandangi Joe.
“Bagaimana soal makanan?” Pak Menteri menggoda. Joe tersenyum.
“Aman, Pak. Kami sudah mendapat izin untuk menyewa dapur hotel. EO telah menyiapkan dua orang chef untuk Indonesian food. Ini dengan pertimbangan jumlah delegasi kita yang cukup banyak. Bapak Ibu yang bisa menikmati western food dapat langsung memesan di restoran hotel atau restoran sekitar.”
Pak Menteri tersenyum puas.
“Untuk kargo properti pameran, sudah fix ya, Pak Joe?” tanya Agnes.
Gadis itu ingin kepastian. Atau apakah sekadar basa-basi? Busana yang dikenakannya match dengan rambut lurus yang dicat coklat kekuningan, diikat ke belakang membuat giwang berlian yang dikenakannya sangat jelas terlihat. Bulu mata palsunya membuatnya terlihat makin sensual.
“Ya, Mbak Agnes. Untuk kargo, pagi ini sudah saya konfirmasi ke pihak maskapai dan sudah mendapat kepastian tertulis,” jawab Joe mantap.
Agnes melanjutkan pertanyaannya. “Ini kan event besar. Apakah sudah ada kepastian back up di venue dari pemerintah?”
Sesungguhnya ini harus dijawab oleh Pak Menteri sebagai perwakilan pemerintah. Namun Agnes menatap Joe yang saat itu memakai sweater dengan kerah kemeja menyembul keluar. Serasi dengan rahangnya persegi dan rambutnya yang tersisir rapi. Dalam usianya yang sudah memasuki 37 tahun, sebetulnya ia tergolong telat menikah.
Joe pun cepat menanggapi.
“Terimakasih, Mbak Agnes sudah mengingatkan. Sesuai info valid dari staf kementerian bapak!”
Ia mengangguk kepada Pak Menteri.
”Staf dari Indonesia House of Amsterdam akan mendampingi selama pameran berlangsung,” kata Pak Menteri.
Pertemuan itu berlangsung singkat dan efektif. Tentu saja lantaran kecakapan seorang Joe yang begitu profesional dan taktis. Ia sangat puas. Namun ada firasat buruk yang membayanginya. Kehadiran Agnes. Ia adalah ketua delegasi. Meskipun yang bersangkutan adalah seorang pengusaha eksport import kerajinan tangan eksklusif, namun posisinya sebagai ketua delegasi ini lebih karena, ia adalah putri dari sang Menteri sendiri. Joe berusaha menyingkirkan perasaan-perasaannya itu.
***
Langit Amsterdam pagi itu begitu cerah, sangat ideal buat mengisi waktu santai. Event eksibisi delegasi Indonesia sudah hampir seminggu berjalan dan sukses besar-besaran. Dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang begitu padat mendatangi venue dan sejumlah proposal kerja sama perdagangan yang telah masuk ke perwakilan pemerintah.
Joe sejauh ini, merasa sangat puas. Ia dapat memberikan skema terbaik dan solusi setiap masalah yang terjadi selama agenda berlangsung. Bukan hanya urusan formal eksibisi, termasuk promosi yang sangat efektif, juga hal-hal di luar ajang pameran seperti masalah fasilitas kamar hotel bagi delegasi, delegasi yang kehilangan dompet dan lain-lain.
Dan firasat yang dirasakannya saat masih di tanah air, akhirnya menjadi nyata. Beberapa kali Agnes menghubunginya untuk bertemu secara pribadi. Sejauh ini, ia masih bisa mengelak. Sampai akhirnya tadi malam, ia menerima telepon dari Agnes saat sedang berada di kamarnya membuat laporan.
“Joe, untuk sekali saja. Lusa kita sudah pulang ke Indonesia.” Agnes memaksa.
“Maaf, Mbak Agnes. Posisi saya sedang dalam bekerja. Menjalankan tugas kantor.”
Agnes terus mengintimidasi. “Takut sama bosmu? Nyatanya kerjamu awesome banget tuh!”
“Terimakasih, Mbak Agnes”
Agnes memotong. “Sudah ah, gak usah pake mbak-mbak. Gue jauh lebih kecil, hahaha!”
“Oh iya… masalahnya bukan semata hasil kerjaan. Ini soal ketentuan kantor, Agnes.”
“Sudahlah, event ini punya papa gue. Kamu tenang aja.”
“Ehm, gimana ya?” Joe ragu-ragu.
“Okay, besok gue tunggu di lobi yah. Jam 10. See you!”
Agnes menutup teleponnya. Joe begitu risau. Begitu banyak hal yang dirisaukannya, membuat tidurnya kurang nyenyak. Baru menjelang pagi ia terlelap kelelahan.
Demi tidak mengecewakan Agnes, Joe menemuinya di lobi. Mereka bercakap beberapa saat, sebelum keduanya keluar meninggalkan lobi.
Kini mereka sudah duduk intim bersebelahan, di atas cruise di Prins Hendrikkade 25, 1012 TM, bersiap menikmati wisata kanal Amsterdam. Ini merupakan wisata khas dan wajib jika berkunjung ke Amsterdam. Dikenal memiliki kanal-kanal yang indah, sering disebut sebagai Venesia di utara. Bagi Agnes itu adalah sebuah kesempatan baik mendekati Joe.
“Bagus ya Joe? Gue sebetulnya sudah sering ke Eropa, tapi baru kali ini berlayar di kanal.”
Joe tidak tahu harus menjawab apa. Agnes melanjutkan.
“Perasaan sering kali bikin bego ya? Hehehe… menurutmu bagaimana?”
Joe berusaha menjawab. “Ya, yang menarik dari Amsterdam adalah spirit kebebasannya.”
“Kanal ini, kebebasan juga?”
Agnes mulai menggenggam tangan Joe. Boat yang mulai bergerak membuat angin dingin menerpa tubuh mereka. Joe cenderung pasif.
“Ya, ini adalah banjir yang dibiarkankan dan diterima oleh penduduk Amsterdam. Ia dibebaskan masuk ke tengah kota melalui kanal-kanal ini.”
“Wahhh, gue baru sadar. Ini banjir yang diterima dan dikelola dengan cerdik ya?”
“Kini jadi salah satu obyek wisata favorit buat warga dunia.” Joe menegaskan rasa kagumnya.
Ia mengangguk.
Genggaman tangan Agnes kian erat. Joe makin gelisah.
Tiba-tiba Agnes mendekatkan wajahnya ke tubuh Joe yang tegap. Sesaat menyandar di bahunya, menyusuri lehernya lalu mencium bibir Joe yang kebingungan. Kedua lengan Agnes bergelayut pada leher Joe. Sudah beberapa kali ia berusaha memanggil Joe untuk datang ke kamarnya di hotel. Tapi Joe selalu menolak dengan segala cara. Kini maksudnya sedikit terpenuhi. Agnes begitu bergairah, sampai nafasnya terasa sesak.
Joe, tak sedikitpun dapat menikmati kejadian itu. Alih-alih sensasi seksual. Namun ia tetap bertahan. Hatinya justru terasa perih dan tak berguna. Baginya waktu itu terasa panjang sekali. Rumah kanal yang berjejer di tepi kanal seakan memberinya kenangan buruk. Sepintas terlihat bayangan antara warna coklat tua dan merah pada bangunan-bangunan yang tinggi dan ramping itu. Bayangan yang telah membuatnya benci. Sampai akhirnya ia mampu melepaskan aksi gadis anggun itu. Mereka tak bicara apapun, di dalam mobil saat kembali ke hotel.
***
Baru saja masuk kamar hotelnya, Joe mendengar nada dering dari ponselnya. Ia merasa tahu, siapa yang menghubunginya.
”Joe, bahkan untuk sekadar membuat gue senang sesaat saja, lu tak bersedia. Sebegitukah mahal diri lu?”
Wanita itu begitu marah. Joe, merasa kerongkongannya tercekik. Ia bimbang. Ia memilih diam. Kenapa perempuan itu tak mau mengharagi orang lain sedikit saja? Ia membantin dengan sedih. Ia tak berdaya.
“Kamu betul-betul telah menginjak-injak harga diri gue!” Wanita itu terus membabi buta dalam perasaan kalah dan dicampakkan.
“Mimpi aja gue gak bakal pernah mendapat perlakuan kayak begini. Lu siapa sih?”
Akhirnya dia menutup teleponnya, setelah mengancam Joe.
Dengan hati kesal yang tak tertahankan, ia menghubungi kepala perusahaan EO yang mengurus project eksibisinya itu, bosnya Joe. Menerima keluhan si anak Menteri, atasannya Joe langsung menanggapi dengan sigap. Bahkan ada rasa senang mengetahui staf andalannya itu menimbulkan keluhan dari kliennya. Ia meminta maaf, dan berjanji langsung memberi sanksi begitu Joe kembali ke tanah air. Ia mengatakan itu, bahkan sebelum melakukan konfirmasi masalah terlebih dahulu. Baginya ini sebuah kesempatan untuk menyingkirkan Joe, yang dikhawatirkan akan mengancam karirnya sebagai pimpinan salah satu cabang perusahaannya. Pimpinan cabang dengan gaji fantastis dan fasilitas menggiurkan. Joe begitu cemerlang saat ini. Jangan sampai lelaki ganteng itu merebut posisinya!
Sore itu begitu menyiksa bagi Joe. Dia menyesali firasatnya. Kalau saja tak dikuasai firasat buruk itu, mungkin saja itu tak menjadi nyata. Dan ia takkan mengalami kesulitan sebegitu besar saat ini. Dalam perasaan bimbangnya, ia menyeret kakinya ke luar hotel. Ia tak tahu pasti untuk apa. Ia hanya ingin keluar dari kamarnya. Memakai mantel dan mengalungkan syal untuk menahan udara dingin yang mulai terasa menjelang malam itu. Ia merasa sendirian di sebuah lorong yang gelap.
Saat menyusuri area di salah satu sisi gedung museum, tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya menatap pola warna-warni pelangi dari lampu hias yang dipasang di salah satu atap gedung tersebut. Ornamen lampu hias itu seakan telah memberi kekuatan pada kedua kakinya yang gontai. Ia mulai merasakan tubuhnya hangat. Ia mulai menyadari tempat itu semakin ramai dan diliputi suasana bahagia. Ia terus menatap lampu hias pelangi itu. Sesekali mencium aroma ganja yang menyelinap disampingnya.
Sepasang muda-mudi bergumul di hadapannya, menikmati gelora cinta masa mudanya. Di sudut yang lain, pun tampak sepasang lelaki berpelukan mesra. Merdeka, bebas dan tetap dihargai. Karena semua sama. Ia melepaskan syalnya, ingin berteriak namun berusaha menahan suaranya. Semua orang yang lewat seakan menghadiahinya senyuman. Kerlap-kerlip lampu pelangi itu telah mengembalikan jiwa dan raganya. Kekuatannya. Ia bergegas cepat menuju kamarnya lalu menelepon seseorang.
“Hai Joe, lu berubah pikiran?” Agnes, masih saja berharap.
“Maaf Agnes, saya bukan laki-laki yang sesuai untukmu. Seperti yang kamu katakan, saya bukan siapa-siapa.” Ia tetap berusaha sopan.
“Maaf gue tadi sempat emosi. Mengapa lu merasa bukan siapa-siapa? Kalau gue yang mau, gimana?” Wanita itu memang dominan.
“Karena saya seorang gay!”
Tanpa basa-basi dan tak perlu berpanjang lebar, Joe langsung ke pusat masalah.
Agnes bagai tersengat petir. Seketika ia memutus percakapannya. Bukannya merasa simpati kepada Joe. Ia malah merasa jijik dan emosional karena merasa tertipu. Sungguh sikap sangat konservatif. Lalu ia kembali menghubungi atasan Joe. Menumpahkan kekesalannya. Menurutnya, Joe tidak pantas ada di perusahaan bonafid itu. Seorang pendosa dengan kelainan seksual, dapat memberi citra buruk bagi perusahaan. Kepala cabang yang mendengar kabar ini semakin sumringah karena mendapat tambahan amunisi untuk menekan Joe. Amunisi yang diyakininya dapat menjadi sangat efektif.
Sementara Joe sendiri, kini merasa jauh lebih ringan. Beban yang dalam beberapa hari ini telah menggelayuti pundaknya seakan telah lepas. Ironisnya, itu bukanlah beban pekerjaan. Melainkan masalah-masalah yang diciptakan lantaran intrik dan segala macam ambisi manusia terhadap manusia lain. Homo homini lupus!
***
Joe duduk di hadapan bosnya, di ruang kantor pimpinannya itu yang dipenuhi asap rokok.
“Joe, selamat ya atas kesuksesan event eksibisi kementerian!”
Joe yang peka, sangat mudah merasakan itu apresiasi palsu dari seorang pimpinan yang pendengki. Namun ia tetap menjawab dengan sopan. “Terima kasih, Pak! Apa yang telah bu Agnes sampaikan kepada Bapak?”
Si bos agak terkejut karena Joe kurang banyak basa-basi dan mendahului masuk ke pokok pembicaraan.
“Oh ya. Saya rasa itu hal biasa. Keluhan-keluhan klien, hal yang tak bisa kita halangi.”
“Termasuk keluhan-keluhan yang tak relevan dengan bisnis kita?”
“Faktanya, keluhan itu nyata ada!” Si Bos membalas dengan sangat culas.
“Bapak seharusnya dapat melihat secara obyektif keluhan yang disampaikan klien. Dan mestinya dapat membela staf, yang telah bekerja sepenuh hati untuk perusahaan dan sesuai dengan SOP perusahaan!” Nada bicara Joe cukup kencang.
“Bukankah tadi saya telah mengapresiasi capaian anda? Namun, saya tidak mau perusahaan ini dijauhi, kehilangan pasar lantaran pegawai yang… ehm…” Si Bos kehilangan kata-katanya. Pada dasarnya ia seorang pengecut.
Joe melanjutkan dengan tenang. “Pegawai yang memiliki orientasi seksual berbeda, seperti saya?”
Bos jahat itu menunduk, namun tetap berusaha menyerang.
“Maaf ya, Joe, dalam keyakinan kami, itu dosa dan kami sulit menerimanya.”
Ia tetap menunduk, sementara Joe tegak terus menatapnya. Anehnya, sedikitpun ia tak merasakan kebencian. Lampu hias warna-warni pelangi di atap Rijksmuseum, aroma ganja yang menyelinap dan senyuman setiap orang di taman museum itu telah menantinya… di mana semua orang takkan pernah bertanya, apa pilihan seksual anda, apa agama anda… [T]
BACA cerpen-cerpan lain di rubrik CERPEN atau baca tulisan lain dari PUTU ARYA NUGRAHA