ENAM tahun yang lalu, aku belum memahami setiap rasa yang datang. Banyak impian yang aku semogakan. Dari mimpi menjadi cita-cita bahkan ketakutan yang luar biasa. Padahal, aku belum cukup dewasa, hanya perempuan kecil yang tidak bisa bergaul dengan hebat, tidak bisa berada di keramaian, bahkan lebih memilih berimajinasi dengan pikiran sendiri.
Aku mengenal banyak orang dengan kepribadian yang berbeda. Tanpa mengobrol pun, rasanya sudah tahu bagaimana ia akan memperlakukan aku kelak. Terlalu banyak pikiran buruk yang muncul, meski hanya bersalaman dan menyebut nama.
Kalian tahu? Aku tidak punya banyak teman, apalagi sahabat. Aku merasa dunia tidak baik untuk menjadi asik. Peduli apa mereka tentang aku, benakku.
Aku putuskan, kalian akan mengenal diri ini dari sisi terburuknya. Apa yang ingin dibahas paling awal? Kehidupan keluarga? Tidak akan aku ceritakan kepada kalian, sebab bagiku bercerita tentang keluarga adalah kaku.
Untuk memulai cerita, aku perlu memperkenalkan diri, maka sebut saja aku sesuka hati kalian. Pemilik raga ini hidup sederhana bersama keluarga yang lengkap. Tidak seperti kebanyakan orang yang memiliki privilege sejak lahir, maka usahalah yang menuntunku sampai ke titik ini.
“Kalau orang bilang mustahil, harusnya kamu dengan lantang mengatakan bahwa tidak ada yang mustahil,” kata Ibu.
Perkataan itu tertanam dalam benakku. Kalau dipikir-pikir, aku menjadi salah satu anak yang beruntung di muka bumi ini. Kenapa tidak? Aku memiliki orang tua dan kedua saudara yang selalu menjadi tempat pengaduan.
Tapi, semua berubah sejak aku beranjak dewasa. Lebih suka menyendiri dan tidak banyak berinteraksi dengan orang-orang di rumah. Aku enggan untuk mengungkapkan segala rasa yang berlomba-lomba masuk ke duniaku. Semua terserak. Mereka juga sibuk dengan dunianya sendiri, bukan sebab perubahanku, tapi karena dunia sedang dilanda virus mematikan. Hingga kami sibuk membentengi diri sendiri dengan aku yang berusaha menjadi pahlawan kesiangan.
Aku membantu mencari sumber pertahanan hidup sembari menggeluti Sekolah Menengah Atas. Hal itu mengganggu proses belajar, tapi aku tidak bisa berbuat banyak hal. Kalian tahu? Aku tidak dipaksa, hanya saja sudah menjadi kewajiban untuk membantu. Meskipun aktivitas bertemu, berkumpul, dan bermain bersama teman menjadi hilang. Pagi hingga sore, berkelana dengan keringat.
Lalu, ketika bulan menggantikan matahari maka sudah saatnya melanjutkan tanggung jawabku sebagai siswa. Tidak hanya aku yang bersikeras, tapi mereka juga berupaya agar tak terhanyut dalam air yang tenang. Kegiatan berulang hingga waktu kelulusanku tiba. Prestasi di sekolah menurun karena fokusku terbagi, tapi untuk pertama kalinya mereka tidak marah, sebab aku sudah lulus jadi tak pusing memikirkan pelepasan beasiswa. Begitulah.
Setelah itu, aku memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan segala cara tanpa memberitahu siapapun. Aku mendaftarkan diri dengan bantuan dan semangat dari para guru di sekolah. Rasanya mustahil ketika harapan ini bisa menjadi kenyataan, tapi pesan Ibu selalu membawaku pada keberanian.
“Jika aku gagal hari ini, maka Tuhan sudah tentukan jalan yang lebih baik dari usahaku,” kataku dalam diam.
Sembari mencari bekal untuk membayar uang kuliah dan tempat tinggal, aku juga berusaha untuk menggunakan segala bentuk penghargaan yang sudah pernah menjadi hak milik. Harapanku hanya mimpi ini tidak merepotkan. Imajinasi-imajinasi yang sudah dirangkai sedemikian rupa akan mendapatkan tempat, kataku.
Kala itu, entah hari apa sungguh tidak ingat. Aku mendapat pesan dari temanku. Katanya, “Aku lulus di Universitas Udayana dan dapat beasiswa, kamu gimana?”
Rasanya bahagia dan terharu mendengar ia sudah berhasil mewujudkan salah satunya mimpinya. Tapi, pikiranku kalang kabut dengan segala hal buruk. Aku yang masih berkutik dengan pelanggan menemui pesan yang membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Dan itu membuatku tidak fokus dan ingin buru-buru membuka gawai.
Apalah dayaku harus menunggu waktu pulang sembari memastikan rasa yang muncul menjadi netral. Meskipun sangat sulit.
Pukul 18:00 WITA, aku sudah memasuki ruangan kecil dalam rumah dengan ketakutan dan ketidaksiapan. Rasa itu membawaku menelusuri halaman dengan menuliskan nomor pendaftaran serta nama. Dengan jaringan sedikit lambat membuat dunia semakin dramatis. Entahlah, aku tidak bisa mengucapkan banyak hal, hanya doa dalam hati hingga pengumuman memunculkan kalimat, “Selamat Anda diterima di Universitas Pendidikan Ganesha”.
Gemetar sekujur tubuh. Tidak pernah rasanya aku berada di situasi ingin mengambil dua pilih, menyerah dan berjuang.
“Sekolah jauh-jauh, bukannya di sini ada kampus ternama juga?”
“Jurusan Bahasa Indonesia, mau jadi apa?”
“Kalau mimpi jangan tinggi-tinggi, mau gantiin presiden?”
Semua muncul kembali dalam ingatan, pengumuman itu adalah secercah harapanku. Tapi, juga kelemahan yang membuatkan takut untuk melangkah lebih jauh. Bahkan, orang tuaku tidak memberi ucapan selamat kepada anaknya karena jalan sudah terpenuhi. Mereka tidak jahat, hanya saja tidak mengerti bagaimana mengungkapkan rasa bangga dan kagum kepada anaknya. Aku paham karena mereka bukan sosok yang romantis.
Satu hal, ketika aku beritahu kelulusan ini, hanya ada pertanyaan “bayarnya berapa?”. Iya, mereka takut aku berhenti di tengah jalan karena tidak ada biaya. Mereka tidak ingin aku memusingkan hal yang menjadi tanggung jawab mereka.
Sedikit lega rasanya ketika aku beritahu bahwa pemerintah sudah membiayai sampai lulus. Itulah kejutan yang sesungguhnya. Aku lulus di kampus impian dengan beasiswa.
“Banggalah dengan perjuanganmu,” kata Ibu.
“Orang tuamu tidak berpendidikan tinggi, tapi jadilah salah satu yang membuat kami merasa pernah berpendidikan,” ungkap Bapak.
“Selamat, Kak, aku ingin menjadi sepertimu,” kata adikku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
“Kamu beruntung!” Sepenggal harapan dari kakak ku yang paling cuek.
Kalimat itu mengantarkan aku menuju Singaraja, meskipun harus merepotkan Bapak dengan membawaku mengendarai sepeda motor karena aku belum mengenal jalan.
Pertigaan Jalan Teuku Umar menjadi saksi bisu betapa semangatnya perjuangan orang tuaku membawa anak tengahnya ini menuju tempat impian, Universitas Pendidikan Ganesha. Semua perjalanan belum selesai. Setelah itu, aku harus meyakinkan diri sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan dan berpacu dengan usia orang tuaku. [T]
- Cerpen ini adalah hasil workshop Cipta Sastra dalam acara Pekan Raya Cipta Karya Mahima yang diselenggarakan Komunitas Mahima, Selasa 28 November 2023, di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali.
- Baca CERPEN lain