MALAM MINGGU. Kami berkumpul. Kami hanya berempat: Aku, Agus, Adi dan Janu.
Tempat kami berkumpul di bawah pohon mangga di depan rumah Adi. Janu, seperti biasa, mengeluarkan arak dari tas plastik. Kami menyambut arak dengan hangat.
Minuman dituang. Kami bergilir menenggak dan merasakan kehangatan di luar, dan kehangatan di tubuh. Sembari minum, kami membahas abanyak topik. Mulai dari politik, gossip artis, anime, sampai masalah permainan lato-lato.
Ketika malam mulai larut, persediaan topic sudah mulai menipis. Aku mencoba memulai perbincangan dengan topik baru.
“Aku tertarik dengan sebuah quotes dari sastrawan Sujiwo Tejo, tadi aku lihat di tiktok. Dalam sebuah podcast dia berkata tentang kewibaaan seekor singa dan kucing yng belum banyak diketahui,” kataku.
“Tentang apa itu? Coba ceritakan pada kami,” kata Adi.
“Ini cukup panjang, seperti sebuah dongeng,” kataku.
“Iya, coba ceritakan,” kata Janu.
Iya, quotes itu memang pendek, namun aku narasikan agar malam itu kami bisa pulang lebih larut lagi. Kami bertiga sudah berkeluarga, tinggal Janu yang masih belum menikah, dan sibuk meniti karir dalam berkesian.
Begini ceritanya:
Di sebuah hutan yang belum terjamah tangan jahil manusia, suatu hari, ada sebuah pertemuan antarseluruh penghuni hutan.
Semua binatang berkumpul, dari binatang yang paling kecil, sampai yang terbesar. Mereka saling bertegur sapa satu sama lain, menanyakan kabar dan saling bercanda. Mereka memperlihatkan keakraban mereka setelah sekian hari tidak bertemu dan berkumpul seperti saat itu.
Selang beberapa lama, tiba-tiba keheningan mulai menyelimuti pertemuan itu. Hal itu terjadi bersamaan dengan datangnya sang penguasa hutan. Dialah sang raja rimba, singa yang perkasa.
Tak ada satu pun hewan yang berani menegur sapa, semua hening dan tak berani bergerak bak sekumpulan hewan yang diawetkan. Tidak ada aktivitas selama sang raja melangkahkan kakinya menuju singgasana. Langkah penuh wibawa terdengar sangat keras karena keheningan yang terjadi. Bahkan angin yang biasanya berhembus menggugurkan daun, ikut mengheningkan aktivitasnya.
Beberapa hewan merasa langkah demi langkah dari sang raja seakan sangat lambat, entah karena ketakutan yang menyelimuti mereka, atau memang sang raja dengan sengaja ingin memperlihatkan kewibawaannya di tengah penghuni hutan.
Setelah sang raja sampai di singgasana, keheningan masih menyelimuti, bahkan hela napas dari seekor kelinci pun terdengar begitu keras di telinga seluruh penghuni hutan. Dapat dibayangkan betapa heningnya suasana saat itu. Sang raja pun enggan mengeluarkan sepatah kata untuk memulai pertemuan itu dan membiarkan suasana tetap hening. Tak ada satu pun binatang di sana yang berani memulai pertemuan itu.
Akhirnya dari balik kerumunan binatang itu, berjalanlah si kucing hutan masuk di sela-sela kerumunan mendekati singgasana sang raja. Semua binatang terheran-heran, sambil saling lirik satu sama lain. Namun tak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun. Raut pertanyaan dapat terlihat jelas dari guratan di wajah binatang-binatang itu.
Andaikan mereka dapat mengeluarkan komentar, seluruh hutan akan gemuruh dengan tindakan yang dilakukan si kucng yang berani atau bertindak ceroboh itu, yang mencoba mendekati sang raja yang terlihat sangat garang di atas singgasana, sambil menjilati bulu-bulu di tubuhnya.
Kucing itu berjalan dengan santai, melenggang dan sesekali melihat binatang-binatang di sekitarnya. Dia tahu, banyak yang kagum dengan tindakannya. Dia kini merasa setara dengan sang raja. Hening ketika melewati penghuni hutan dan decak-kagum terarah kepadanya.
Tak lama, kucing tiba di dekat singgasana, tak terhenti disana, sang kucing naik ke singgasana dan berdiri di samping sang raja hutan. Kura-kura yang melihat kejadian itu, langsung masuk ke cangkang miliknya karena ketakutan dan tak sanggup melihat apa yang akan terjadi kepada si kucing.
“Ayo cepat mulai rapatnya, Yang Mulia,” kata kucing menggema di keheningan hutan.
“Siapa kau berani memerintah aku?” kata singa dengan garang.
“Saya, si kucing. Teman Yang Mulia dulu. Dulu kita sering main bersama,” kata si kucing dengan suara yang tenang.
“oh, ya, ya. Ke mana saja kau selama ini, tak pernah kelihatan?”
“Eh, anu, Yang Mulia, saya, saya sibuk di rumah,” kata si kucing agak gelagapan.
Semuanya bengong dengan mulut menganga melihat dan mendengar keberanian yang dilakukan sang kucing. Kura-kura yang sedari tadi bersembunyi di cangkangnya, semakin merasa ketakutan mendengar ucapan kucing di samping sang raja yang garang.
“Baiklah penghuni hutan, kita mulai pertemuan ini karena sudah semua berkumpul untuk menghadiri pertemuan hari ini,” kata singa.
Kura-kura yang mendengar ucapan sang raja hutan akhirnya merasa lega, dan mulai mengeluarkan kepalanya untuk mengikuti rapat itu. Semua binatang kecil yang tadinya bersembunyi di balik tubuh binatang besar di depannya, mulai memperlihatkan kepalanya untuk mengikuti rapat hutan itu.
Setelah diskusi dan usul saran terjadi secara kondusif, rapat akhirnya selesai dengan kembali hening mengikuti langkah sang raja meninggalkan singgasana dan diakhiri dengan lompatan panjang dari sang raja masuk ke dalam lebatnya hutan.
Suasana hening masih terasa walau sang raja sudah tak di sana. Monyet yang sedari tadi di atas pohon turun dan mendekati si kucing.
“Kucing, aku tak menyangka, kau begitu berani berbicara dengan singa, mantap, Cing,” kata monyet dengan nada cengengesan kepada si kucing yang sibuk menjilati bulu di tubuhnya.
Semua binatang yang ada di sana mengiyakan perkataan si monyet dan ikut meberikan pujian kepada sang kucing.
“Apa yang membuatmu berani seperti itu, Cing?” tanya si landak yang penasaran dengan tindakan si kucing.
“Oh itu, begini . . .,” jawab si kucing sembari masih sibuk menjilati bulu di punggungnya.
Semua binatang hening, menanti jawaban dari si kucing.
“Aku memang berani pada sang singa, tak ada yang aku takutkan. Karena dulu aku juga garang dan berwibawa seperti dia. Dulu, kami berteman,” kata si kucing dengan santai di hadapan kerumunan binatang hutan.
“Kau pernah berwibawa seperti sang singa?” tanya kura-kura yang ikut penasaran dengan perkataan sang kucing.
“Iya, dulu aku garang seperti sang singa, semua takut padaku. Sekali tengok, semua akan hening seperti yang terjadi tadi,” jawab sang kucing masih dengan santai dan tenang.
“Terus, kenapa sekarang kau tak memiliki karisma itu lagi?” Pertanyaan muncul dari balik kerumunan binatang hutan.
“Iya, dulu waktu aku masih muda, begitu garang dan berwibawa. Bahkan singa pun segan kepadaku, dan mau berteman dengan aku. Namun kini kalian bisa lihat, aku sudah tak memiliki karisma itu, karena aku sudah menikah,” lanjut kucing.
Semua binatang terhening sejenak dan gelak tawa mulai terdengar di seluruh hutan itu. Semua binatang tak mampu menahan tawa mereka, pecah dan seakan membuat keheningan karena kehadiran sang raja yang terjadi sebelumnya terlupakan semuanya.
Agus mulai tertawa di sela-sela keasyikannya menenggak minuman. Janu senyum-senyum dan ikut tertawa lepas. Adi tetap dengan ekspresi datarnya. Aku senyum dan tertawa kecil sambil menghisap rokok yang hampir habis.
Si monyet yang tertawa lepas dari atas pohon sampai terjatuh karena tak kuat menahan tawa. Si kura-kura yang belum mengerti tentang apa yang dimaksud kucing. Monyet tolah-toleh kebingungan. Akhirnya dia bertanya kepada kelinci di sampingnya.
“Kenapa semua tertawa, apa yang salah dari kata-kata sang kucing?” tanya kura-kura kepada kelinci.
Aku melihat Adi yang masih belum dapat tersenyum. Padahal ceritaku ini kukemas agar lucu. Kutambahkan lagi ceritaku dengan spontan agar Adi juga merasakan leluconku.
“Kau tak mengerti?” tanya kelinci sambil setengah tertawa melihat kepolosan sang kura-kura.
“Bantu aku, jelaskan sedikit,” rengek sang kura-kura.
“Ketika si kucing muda, dia merasa sangat tangguh dan ditakuti semua binatang, namun kini dia ciut dan takut sama istri. Istri membuat wibawa dan karismanya hilang dan kini lihatlah si kucing tak dapat segarang singa.” Kelinci menjelaskan sambil di selingi tawa dari mulutnya.”
Kura-kura mulai terlihat tersenyum dan tertawa lepas ketika semua binatang sudah mulai merasa lelah tertawa dari awal cerita si kucing. Alhasil semua tatapan tertuju ke sang kura-kura yang terguling-guling tertawa terbahak-bahak. Suasana kembali riuh dengan gelak tawa melihat sang kura-kura yang terlalu polos.
Aku, Agus dan janu, terus saja tertawa. Kendaraan yang lewat sesekali menghentikan tawa kami, namun tawa berlanjut ketika kendaraan berlalu dan menjauh.
Adi tetap saja terdiam dan lebih memilih melihat layar HP.
Aku bertanya-tanya. Kenapa Adi? Apakah ceritaku terlalu biasa dan sudah sempat ia dengarkan? Apa nada suara karakterku yang kurang pas? Banyak pertanyaan muncul di tengah-tengah gelak tawaku.
“Si Kucing itu bernasib sama denganku saat ini,” kata Adi bagai Satpol PP yang membubarkan tawa kita bertiga.
Kita bertiga langsung terdiam. Tak ada satu aktivitas pun yang dilakukan. Abu rokok terjatuh di terpa angin. Gelas minuman hanya dipegang oleh Janu. Dan bahkan kendaraan yang lewat seakan memilih jalan lain. Hening hampa, hanya menundukkan kepala. Cerita yang kukarang dengan spontan kini membuat suasana malam minggu menjadi tidak enak.
Untuk menetralkan suasana, aku merasa sebaiknya ceritaku aku tambahi lagi. Dan aku mulai bercerita lagi.
“Cerita ini belum selesai,” kataku.
Agus dan Janu memandangku. Adi seakan tak peduli.
Kucing kemudian naik ke singgasana yang sebelumnya diduduki oleh singa. Binatang lain kembali tertegun. Mereka takut perbuatan kucing akan diketahui oleh singa, dan singa menjadi marah.
Dari atas singgasana kucing berkata.
“Teman-temanku sesama binatang, tadi aku sengaja mendekati singa di atas singgasana karena aku ingin mengembalikan keperkasaanku sebagai binatang yang jantan. Meski aku sudah kawin, aku tak ingin keluarga dan istri jadi alasan atas kelemahanku, atas ketidakberdayaanku. Aku ingin kembali berteman dengan siapa saja, termasuk dengan singa,” kata si kucing.
Binatang lain bengong. Binatang-binatang jantan yang lain seperti menyadari sesuatu. Dan mereka pun bubar.
Aku melirik Adi. Ia tampak sedikit tersenyum. [T]
[][][]
KLIK untuk BACA cerpen-cerpen lain