Hasil autopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematianmu akibat arsenik! Jelas di bagian atas laporan: Death by arsenic poisoning.
Itu sebuah kalimat pada halaman 295 yang dibacakan oleh salah satu peserta dalam acara peluncuran buku “Mencintai Munir” karya Suciwati. Kalimat itu membuat saya bergidik ngeri.
Saya tak bisa membayangkan betapa remuknya hati keluarga dan kerabat saat menerima kenyataan bahwa Munir kehilangan nyawa karena diracun. Racun yang bisa membunuh dua gajah dewasa sekaligus.
Suatu hal yang keji. Dan, herannya, kasus ini masih dibiarkan mengambang begitu saja—mengambang oleh negara.
Pertemuan dengan Suciwati
Keikutsertaan saya dalam diskusi Kwitangologi Vol. 09 yang diselenggarakan KontraS, benar-benar membuka ruang diskusi lain untuk saya sendiri.
Diskusi itu bertempat di Dia.Lo.Gue di daerah Kemang, Jakarta Selatan, Rabu 14 September 2022. Saat itu KontraS bekerja sama dengan Museum Hak Asasi Manusia Munir dan Imparsial menyelenggarakan peluncuran buku berjudul “Mencintai Munir” yang ditulis langsung oleh Suciwati—Istri Munir.
Pertemuan pertama saya dengan Suciwati terjadi saat Museum Hak Asasi Munir menyelenggarakan pembacaan hasil kerja dari Tim Pencari Fakta Kematian Munir beberapa waktu lalu. Saat itu saya diminta untuk menjadi notulen. Usman Hamid juga hadir pada kegiatan itu.
Suciwati (nomor dua dari kiri) bersama para pembicara dalam diskusi buku Mencintai Munir yang diselenggarakan KontraS di Jakarta | Foto: Teddy
Pada kesempatan itu, jujur, saya tidak sempat berbincang dengan Mbak Suci. Jadi kesempatan kedua ini harus saya manfaatkan. Setidaknya saya harus sempat mengucapkan selamat dan memintanya membubuhkan tanda tangan dalam buku “Mencintai Munir” yang sudah ada di tangan saya.
Peluncuran buku “Mencintai Munir” yang terdiri dari xii + 372 halaman ini dihadiri langsung oleh Mbak Suci. Buku ini dibahas oleh dua orang, Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) dan Lukman Hakim S. (Menteri Agama RI Periode 2014-2019).
Dalam diskusi ini juga hadir beberapa tokoh, seperti: Ibu Sumarsih (Ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan yang tewas saat tragedi Semanggi I), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia), Haris Azhar (Direktur Lokataru), Bivitri Susanti (Salah satu pendiri PSHK).
Tokoh-tokoh itu biasanya hanya saya lihat dari layar kaca, kini saya bisa lihat secara langsung. Mimpi apa ya saya kemarin, hahaha.
Perjalanan “Mencintai Munir”
Emosional. Satu kata itu saya rasa bisa mewakili proses penulisan buku “Mencintai Munir”, setidaknya itu yang saya tangkap dari penjelasan Mbak Suci dalam diskusi peluncuran bukunya.
Bahkan di beberapa momen Mbak Suci mengatakan ia harus meninggalkan laptopnya dan harus memulihkan diri agar siap menulis kembali. Tentu sangatlah berat bagi Mbak Suci.
Saat saya coba membaca sekilas bagian pertama, saya mengetahui bahwa Mbak Suci menulis dengan melibatkan seluruh perasaannya yang bertujuan agar pembaca juga merasa tak berjarak dengan Munir.
Menyampaikan aktivitas Munir semasa hidup menjadi misi utama Mbak Suci dalam buku ini. Meluruskan berbagai berita miring soal Munir juga menjadi tugas buku yang ditulis Mbak Suci.
“Sering kali Munir dikatakan sebagai Antek Asing, bahkan KontraS sempat diserang gara-gara isu itu. Tapi semua itu tidak benar, Munir itu sangat mencintai Indonesia,” tegas Mbak Suci.
Ya saya pun berpikiran demikian, mengingat Munir berangkat dari aktivis mahasiswa yang saya pikir kesehariannya tak pernah luput membicarakan soal kelangsungan bangsa dan negara.
Tidak jauh berbeda dengan Mbak Suci. Fatia Maulidiyanti sebagai Koordinator KontraS hingga tahun 2023 ini mengungkapkan meski sekali pun belum pernah berjumpa dengan Munir, tapi seorang Munir telah menjadi patron dalam menjalankan tugas selamaa di KontraS.
Dalam penyampaian Fatia, saya memperoleh hal-hal menarik. Sejak masa kecil, nama Munir dan KontraS tidaklah asing bagi Fatia—meski hal yang didengarnya adalah hal-hal negatif. Bahkan orangtuanya pun mempercayai bahwa Munir dan KontraS adalah bagian dari antek asing yang merusak jalannya kehidupan bangsa Indonesia.
Namun narasi-narasi negatif tersebut justru mendekatkan Fatia dengan KontraS, bahkan menjadi Koordinator hari ini.
Menginjak 18 tahun kematian Munir, KontraS mendorong Komnas HAM untuk menjadikan kasus kematian Munir menjadi pelanggaran HAM berat. Saat ini pun Komnas HAM disebut sudah membuat tim khusus yang hanya memiliki waktu dua bulan untuk bekerja.
Meski dianggap terlambat, tapi pihak KontraS mengajak semua pihak untuk mengawal hal ini, apa lagi masa jabatan Komisioner Komnas HAM periode ini hampir habis.
BACA JUGA:
- Kwitangologi Vol. 9: Ruang Diskusi Pertama Saya di Jakarta
- Matinya Kritisme: Ancaman Nyata Bali Hari Ini
Sebagai salah satu orang dekat Munir, Lukman Hakim Saifuddin yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI menyebutkan bahwa sosok Munir adalah sosok yang komplit sebagai aktivis HAM. Kesederhanaan menjadi hal yang paling melekat dalam diri Munir.
Tahun 2000 Munir mendapatkan penghargaan dari luar negeri dengan hadiah uang sebesar Rp 500 juta. Hadiah tersebut justru seluruhnya ia serahkan ke KontraS. Menurut Munir, semua hal yang berkaitan dengan pekerjaannya sudah disediakan oleh kantor.
Wah kalau saya jadi Munir sudah saya ambil hadiah itu untuk keperluan keluarga,. Tapi sudah jelas Munir beda dengan saya. Hehe.
Melanjutkan Jalan Perjuangan Munir
Nyawa seorang Munir—seseorang yang dikenal oleh banyak orang, seseorang yang punya banyak teman yang dianggap sebagai orang dekat dan berpengaruh di negeri ini—ssaja bisa dihilangkan dengan mudah dan kasusnya pun tak jelas hingga sekarang. Bagaimana dengan saya yang tidak masuk kriteria di atas?
Kurang lebih pikiran tersebut terbersit dalam kepala saya selama peluncuran buku “Mencintai Munir”.
Masihkah kita bisa abai terhadap pelanggaran HAM yang hampir setiap hari terjadi? Mirisnya lagi pelanggaran tersebut dilakukan oleh tangan-tangan kuasa atas nama stabilitas negara (geleng-geleng kepala).
Meski saya belum membaca buku ini secara lengkap, tapi secara garis besar saya sepakat dengan perjuangan Munir. Memperjuangkan HAM warga negara Indonesia menjadi kewajiban orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih soal HAM.
Peluncuran buku “Mencintai Munir” | Foto: Teddy
Saya kira Indonesia masih memiliki banyak dosa masa lalu yang belum ditebus hingga hari ini. Gerakan 30 September, penghilangan paksa aktivis medio 1997-1998, Semanggi I dan II, dan pembunuhan Munir menjadi beberapa pelanggaran HAM yang dibiarkan oleh negara.
Apakah negara mengharapkan warganya lupa bahwa bangsa ini memiliki masa lalu yang gelap? Mungkin saja.
Tapi saya pikir warga Indonesia tidak semudah itu melupakan dosa-dosa berat itu. Jangankan melupakan dosa-dosa berat semacam itu, hutang Rp 5.000 saja pasti ingat. Atau mungkin negara pura-pura lupa? Biasanya kan orang punya hutang itu pasti lupa kalau dirinya punya hutang. Hahaha.
Saya anjurkan teman-teman membaca buku ini, dan mari setelahnya kita menulis kembali isi dari “Mencintai Munir” akan pesannya dapat terbaca oleh banyak orang di Indonesia.
Sekali lagi saya ucapkan selamat buat Mbak Suci atas buku “Mencintai Munir” semoga siapa pun yang membaca buku ini ikut merasakan perjuangan Munir, getirnya perasaan Mbak Suci saat ditinggalkan, dan yang pasti adalah pembaca dapat mencintai sosok Munir. [T]
- BACA artikel lain dari penulis Teddy Chrisprimanata Putra