Beruntung sore itu saya melihat poster yang dibagikan oleh akun Marjin Kiri di cerita Whatsapp. Poster itu menginformasikan acara diskusi sekaligus launching buku oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di kantornya—daerah Kwitang, Jakarta Pusat.
Saya putuskan untuk datang dalam diskusi itu, sekaligus bertatap muka dengan admin dari akun Marjin Kiri. Maklum sudah lama saya berkomunikasi dengan admin Marjin Kiri (karena saya menjadi reseller buku-buku Marjin Kiri di Bali), tapi belum pernah sekali pun bertatap muka.
Singkat cerita, saya sudah berada di halaman kantor KontraS kira-kira pukul empat sore. Belum banyak orang yang datang. Terlihat orang-orang KontraS mempersiapkan hal-hal teknis. Stand Marjin Kiri saya lihat menjadi satu-satunya stand yang sudah siap menerima tamu, jadi tanpa pikir panjang saya langsung menghampiri stand Marjin Kiri.
“Halo, Kak. Saya Teddy reseller Marjin Kiri dari Bali.”
“Oh, halo juga. Akhirnya kita ketemu juga ya, kapan-kapan main ke gudang kita ya.”
Tidak hanya bertemu dengan Kak TC dan Oci dari Marjin Kiri, saya juga beruntung bisa bertemu dan ngobrol bareng Kang Agah—seorang pelukis yang sudah keliling Indonesia. Kang Agah juga sering berbagi ilmu dengan membuat workshop. Ia juga terlihat antusias saat mengetahui saya berasal dari Bali. Katanya ia pernah membuat workshop di daerah Canggu.
Oh iya, belakangan juga saya tahu bahwa banyak ilustrasi dari KontraS adalah karya dari Kang Agah—salah satunya, ya, buku yang akan dilaunching oleh KontraS itu.
Seperti halnya gerakan-gerakan yang pernah saya temui bahkan saya lakukan di Bali, zine menjadi media alternatif untuk menyebarluaskan gagasan bagi suatu kelompok. Saya ingat awal tahun 2022, saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam komunitas Nalar Mahasiswa dan Pemuda (Narmada) Bali merilis sebuah zine dengan judul Lini Edukasi Narmada (Linear).
Jadi, saya rasa, Kwitangologi dari KontraS memiliki semangat serupa dengan yang kami lakukan. Kwitangologi sendiri dirilis setiap 4 (empat) bulan sekali—jadi dalam zine tersebut diupayakan terdapat rangkuman informasi saat ini hingga empat bulan mendatang.
“Menolak Kekerasan, Merawat Kebebasan” menjadi tema Kwitangologi Vol. 9. Tidak hanya memuat tulisan dari tim KontraS, zine ini juga menyediakan kolom khusus untuk warga. Edisi kali ini memuat tiga karya warga, yakni: satu ilustrasi dan dua esai yang masingi-masing berjudul “Semakin Nyata Militer di Ranah Sipil” dan “Merawat Kebebasan Pers di Tengah Terjadinya Kekerasan Terhadap Para Jurnalis”.
Menariknya lagi, KontraS menghadirkan salah satu kontributor (warga), yakni Saffah Salisa Az-zahro (mahasiswi semester 6 STHI Jentera). Dalam tulisan ini, saya hanya merangkum sebagian isi dari Kwitangologi Vol. 9, sisanya kalian bisa baca langsung di laman resmi KontraS, yakni: www.kontras.org.
Foto: Diskusi sekaligus launching buku oleh KontraS di kantornya—daerah Kwitang, Jakarta Pusat
Isu-isu yang akan diangkat dalam zine ini, seperti: RKUHP, kinerja POLRI, Daerah Otonomi Baru (DOB), penempatan banyak aparat aktif sebagai plt kepala daerah, konflik agraria, hingga peristiwa bangkrutnya Sri Lanka. Mari kita bahas satu per satu.
Ribut-Ribut Soal RKUHP
Lewat tagar #SemuaBisaKena persoalan RKUHP menjadi viral di sosial media. Selain karena tuntutan mahasiswa dan rakyat di tahun 2019 belum sepenuhnya terakomodir, juga masih banyak aturan yang “ngawur” di dalamnya.
Dalam zine ini, ada beberapa hal yang membuat RKUHP dianggap berbahaya dan mengganggu iklim demokrasi di Indonesia.
Pertama, “Ngeluh dan Kritik Presiden”, bagian ini membahas pasal 218 dan 219 soal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Kenapa pasal ini berbahaya? Pertama, karena tidak ada penjelasan yang rinci soal kehormatan, harkat dan martabat dari seorang Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, karena dalam aturan ini, definisi kritik juga dibatasi. Dalam penjelasannya, kritik harus bersifat konstruktif dan sebisa mungkin memuat solusi. Pertanyaannya, kalau rakyat dalam penyampaian kritiknya dituntut untuk memberikan solusi, apa gunanya keberadaan pemerintah dengan instrumen lengkap plus digaji oleh rakyat?
Kedua, “Mengkritik Pemerintahan yang Sah Menyebabkan Macet”—bagian ini membahas pasal 240 tentang penghinaan terhadap Presiden. Bagian ini lebih menyoroti tentang maksud dari “kerusuhan”.
Dalam aturan ini, yang dimaksud dengan kerusuhan adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menimbulkan keributan, keonaran, kekacauan, dan huru-hara. Kemudian pertanyaan yang timbul di kepala adalah, seperti apa klasifikasi keonaran, keributan, kekacauan, dan huru-hara yang dimaksud? Tentu hal ini akan menjadi penilaian yang bersifat liat, yang asumsinya hanya bisa dibuat oleh para penguasa. Bukan begitu?
Ketiga, “Mengkritik Polisi atau Lembaga Negara Lain” menjadi bagian yang sangat tidak masuk akal menurut saya. Bagian ini mengatur soal penghinaan terhadap kekuasaan hukum dan lembaga negara. Bukan rahasia umum bahwa di negara ini sering kali kritik diplintir menjadi penghinaan agar bisa dijerat.
Na, masalahnya sekarang lembaga negara atau kekuasaan umum tentu menjadi objek kritik apabila rakyat tidak puas dengan kinerja mereka. Lantas jika kritik yang dilayangkan tidak enak di telinga, apakah itu masuk kategori penghinaan? Atau mungkin sayanya saja yang terlalu over thingking?
Keempat, “Ngekos Bareng Supaya Hemat” nyatanya tidak hanya membuat rakyatnya enggan untuk menyampaikan kritik, penguasa pun bernafsu untuk mengatur kehidupan pribadi dari rakyatnya. RKUHP ini memiliki ambisi untuk mempidana pasangan yang tidak terikat hubungan suami istri tapi tinggal bersama. Meski hal ini akan ditindak oleh aparat jika terdapat aduan saja, tetapi tentu ini menjadi usaha negara untuk mengatur kehidupan pribadi rakyatnya—bahkan bisa dikatakan terlalu jauh. Menurut kalian gimana?
Kelima, “Menggelandang di Jalan”. Kalau penghinaan terhadap kekuasaan hukum dan lembaga negara menjadi bagian yang tidak masuk akal, bagian penggelandangan menjadi hal yang lucu bagi saya. Kenapa?
Bayangin aja ada orang yang menggelandang di jalan bisa dikenakan denda. Terus kira-kira mereka harus menggelandang di jalanan karena apa ya? Ya karena enggak punya uang. Aturan ini sangat mengada-ada.
Tentu apa yang disebutkan di atas hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya persoalan yang timbul dari RKUHP. Sebagai warga negara kita patut awas dengan produk-produk yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, karena apapun itu, akan berdampak dan mengikat terhadap warga negara Indonesia. Baik itu saya, anda, dan kita semua.
Aksi Represif Masih Marak Dilakukan oleh Aparat
Siapa yang tidak mengetahui jargon POLRI? PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan). Sejauh ini tampaknya Kapolri beserta jajarannya harus banyak mengevaluasi diri untuk dapat mencapai titik PRESISI tersebut. Apalagi hingga hari ini sangat banyak kriminalisasi yang dialami oleh aktivis. Ingat Dandhy Laksono? Ananda Badudu? Kemudian yang paling anyar adalah Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang terjerat hukum akibat mempublikasikan hasil riset lewat kanal Youtube? Itu baru dari sisi kriminalisasi.
POLRI juga tampak tidak berhasil menghadirkan keadilan bagi setiap warga negara. “Hukum tidak memandang bulu” tampaknya hanya sekadar slogan tanpa arti.
Saya, sebagai umat Hindu, masih sangat ingat bagaimana seorang oknum dosen di salah satu universitas secara terbuka melakukan penistaan terhadap agama Hindu. Merendahkan berbagai tradisi, budaya, ritual yang telah hidup dalam satu daerah seiring dengan agama yang dianut, yakni Hindu. Kasusnya sudah dilaporkan sejak April 2021, tapi hari ini sudah sampai mana prosesnya? Sampai lupa? Buktinya oknum dosen tersebut masih bisa beraktivitas seperti biasa di luar sana, dan mungkin saja masih melakukan hal yang sama.
Jadi, tolonglah Pak Kapolri. Kalau memang mengusung jargon PRESISI, ya dilakukan dengan maksimal. Kalau memang berkeadilan menjadi sebuah upaya perbaikan institusi, ya lakukan dengan konsisten. Saya benar kan? Hehe.
Mudahnya Investasi = Rakyat Terintimidasi
Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru (DOB) Papua untuk Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan beberapa waktu lalu sudah resmi disahkan jadi undang-undang. Seperti apa yang dikatakan dalam zine, juga beberapa portal berita daring bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak kehadiran undang-undang ini. Hal ini tentu karena dalam penyusunannya tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat Papua.
Foto: Diskusi sekaligus launching buku oleh KontraS di kantornya—daerah Kwitang, Jakarta Pusat
Di dalamnya tercium kepentingan pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, tepatnya pada pasal 76 yang mengamanatkan bahwa pembentukan DOB di papua dapat dilakukan secara bottom up atau top down.
Artinya tanpa harus menunggu aspirasi rakyat, pemerintah pusat bisa dengan mudah membentuk DOB di Papua. Kira-kira apa kepentingan pemerintah pusat selain kepentingan investasi? Ada yang bisa bantu menjawab?
Tidak hanya Papua. Kwitangologi Vol. 9 juga membahas tentang konflik agraria di beberapa wilayah Indonesia. Sangihe, Wawonii, dan Wadas menjadi studi kasus dalam zine ini. Investasi adalah kunci (baca sambil nyanyi dan bayangkan wajah Giring). Jika Sangihe dan Wawonii pihak yang berkonflik adalah warga dengan perusahaan swasta (yang dilindungi negara), maka di Wadas pihak yang berkonflik adalah warga dengan negara—mengingat tambang batu andesit yang akan dibuka di wilayah Desa Wadas akan menjadi pemasok utama untuk pembangunan Bendungan Bener—salah satu proyek strategis nasional dari pemerintah pusat.
Kini yang jadi pertanyaan, aparat berada di pihak siapa? Warga atau pemilik modal (perusahaan swasta yang dilindungi negara)?
Bagi-Bagi Jabatan Untuk Para Bintang
Pemilu dan Pilkada sudah dekat. Beberapa kepala daerah akan meninggalkan jabatannya untuk menunggu waktu kembali berkontestasi. Kemudian jabatan yang ditinggalkan akan diisi oleh pelaksana tugas (plt) yang diutus oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sampai di titik ini permasalahan mulai muncul. Kenapa banyak plt yang berasal dari institusi TNI/POLRI? Apalagi ada yang masih aktif di dunia militer.
Sebut saja penunjukkan perwira tinggi TNI Brigjen Andi Chandra As’Aduddin sebagai plt Bupati Seram Bagian Barat. Belum lagi beberapa daerah yang diisi oleh purnawirawan jenderal, seperti di Papua Barat dengan penunjukkan Paulus Waterpauw yang merupakan mantan perwira tinggi POLRI.
Wajah militeristik yang lekat dikaitkan dengan satu komando tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja. Dalam dunia militer, perintah atasan adalah mutlak. Tidak boleh dibantah. Tentu berbeda dengan menghadapi masyarakat sipil yang terbuka dan demokratis. Pendekatan militer tidak akan berhasil. Tidak hanya mempertimbangkan hal tersebut, Mendagri juga seolah-olah lupa bahwa terdapat norma secara jelas melarang anggota TNI/POLRI aktif mengambil tugas di luar kedua institusi tersebut.
Belakangan juga dapat kita lihat bahwa wajah militer mulai meramaikan jabatan-jabatan sipil. Belum lagi terlihat ketergantungan Presiden RI dengan tokoh-tokoh militer dalam mengatasi berbagai krisis akibat pandemi. Apakah kaum militer ingin mengembalikan kejayaannya seperti masa orde baru?
Tidak Rugi Membaca Kwitangologi
Saya sama sekali tidak merasa rugi meluangkan waktu untuk datang dan mengikuti diskusi yang diadakan oleh KontraS. Banyak insight baru bisa saya dapatkan soal penanganan kasus HAM oleh pemerintah di Indonesia. Juga nyatanya banyak kasus HAM yang belum dituntaskan oleh pemerintah. Apalagi saya menulis ini bersamaan dengan saya membaca novel Leila S. Chudori berjudul “Laut Bercerita” yang menceritakan perjuangan aktivis dan keluarga yang menanti kepastian kerabatnya akibat penghilangan paksa oleh rezim. Tentu membantu saya menghayati persoalan HAM di Indonesia.
Tidak hanya memantik diskursus baru, Kwitangologi Vol. 9 juga kaya akan ilustrasi yang memudahkan pembaca untuk memahami konteks yang dibicarakan, jadi saya berikan apresiasi tinggi kepada Mischievous Digital Labor telah menghadirkan perwajahan sampul yang bernas, dan kepada Tuan Parkodi atas ciamiknya ilustrasi dan tata letak Kwitangologi Vol 9.
Tapi ada satu hal yang saya bingungkan, di bagian “Aku Disiksa Oleh Negara”. Saya belum menangkap, apakah ini sebuah cerita pendek, memoar, atau sebuah esai—mungkin perlu dijelaskan lebih rinci agar memudahkan pembaca awam seperti saya untuk mengkategorikannya. Dan karena membaca zine ini, saya kembali bersemangat untuk melanjutkan Linear ke edisi selanjutnya dan semoga saja saya mendapat kesempatan menulis di Kwitangologi Vol. 10.
Selalu jaga nyala perjuangan, karena kalau bukan kita, siapa lagi? Panjang umur hal-hal baik. [T]