CASSADAGA, sebuah band yang mengusung genre Experimental Rock, berdiri pada tahun 2014 lewat jalur pertemanan SMA. Nama “Cassadaga” mereka ambil dari sebuah film thriller horor yang berjudul sama. Experimental Rock dipilih menjadi pondasi utama dalam eksplorasi musik-musik mereka.
Dengan formasi 4 personil mereka telah mengeluarkan beberapa karya, di antaranya; single berjudul “Black a Man” dan “Stuck In The Wrong Job” pada tahun 2016 silam. Berselang setahun kemudian, pada tahun 2017 mereka kembali merilis sebuah single berjudul “B.L.U.R (Believe Live Is UR’s). Kemudian berlanjut mengeluarkan mini album atau EP bertajuk “Human Stare”, yang diproduksi secara mandiri dan pada momentum ini pula Cassadaga mengadakan “Human Stare Java Tour” tahun 2017 yang digelar di tiga kota Pulau Jawa (Malang, Bandung dan Jakarta).
Tahun 2018 menjadi tahun yang menarik bagi Cassadaga karena pada momen itu mereka mendapat kesempatan melakukan kolaborasi lintas disiplin seni bersama Teater Kalangan dan seniman visual Swoofone, yang dipentaskan di pagelaran ARTJOG (Yogyakarta).
Dari perjalanan panjang selama 2014, akhirnya pada tahun 2019 Cassadaga mulai merekam lagu demi lagu untuk album pertama mereka dengan judul “R.E.D” secara mandiri melakukan home recording. Proses recording ini bisa dikatakan cukup menarik bagi Cassadaga, karena mereka juga memanfaatkan ruang dengan memposisikan alat untuk mendapatkan karakter sound. Kemudian seiring waktu berjalannya perancangan album, saat ini Cassadaga menjadi tiga personil; Arya Oka pada vocal dan gitar, Artha Yoga pada bass, dan Angga Surya pada drum.
Di penghujung bulan Juni 2022, tepatnya tanggal 30 Juni 2022, Cassadaga resmi merilis album pertama yang bertajuk “R.E.D” (Rebirth End Death) dengan format CD, melalui Skullism Records. Album ini merupakan penantian panjang dari proses yang panjang oleh Cassadaga. Mulai dari proses rekaman yang dilakukan secara mandiri (di rumah salah satu personil), dengan alat-alat seadanya dan beberapa eksperimen tata cara perekaman instrument. Hingga penggarapan sampul album yang dilakukan sendiri pula, bermain dengan kain dan eksperimen pewarnaan yang menghasilkan pola-pola pada sampul album yang berbeda antar sampul satu dengan lainnya. Proses pembuatan komposisi dari setiap lagu yang banyak terpengaruh dari band-band modern dan juga nuansa-nuansa musik lokal Bali yang diadaptasikan pada instrumen modern.
Kurang lebih begitu pengenalan singkat yang bisa saya sampaikan untuk mengenal Cassadaga pada permukaan. Mereka berproses kreatif pada ruang yang menarik untuk dibicarakan lebih dalam dan sangat menarik juga untuk didiskusikan. Apalagi bila kita berangkat dari wacana album mereka. Pada ruang tempat mereka tumbuh, arus modernisasi begitu kencang. Denpasar bisa menjadi sebuah tiang utama untuk segala macam aspek untuk mengukur bagaimana Bali secara keseluruhan berkembang. Yang akhirnya secara tidak langsung Denpasar juga menjadi kiblat bagaimana musik “modern” berkembang, naif jika saya misalnya orang yang berdiam dan tinggal di Singaraja mengatakan menutup mata dan telinga bahwa refrensi musik saya murni datang dari wahyu tuhan. Pasti ada pengaruh sosial dan budaya yang berperan dalam perjalanan mengenal musik. Pun demikian jika kasus itu kita pinjam untuk membongkar bagaimana Cassadaga mengutarakan keresahannya ke dalam bentuk album “R.E.D.”.
“R.E.D (Rebirth . End . Death) adalah judul yang diambil untuk album ini, lagu-lagu pada album ini menceritakan imajinasi para personil Cassadaga tentang Kelahiran Kembali (Reinkarnasi), akhir dari kehidupan, dan kematian, dengan segala pengaruh-pengaruh hal yang mempengaruhi imajinasi tersebut, tentunya pengaruh dasar berasal dari lingkungan religius dan budaya yang kental di Bali.
Pada trek pertama (B.L.U.R) menceritakan tentang kepercayaan diri sebagai seorang manusia ditengah segala macam pergelutan dunia ini yang memiliki banyak sudut pandang, Kemudian kita dibenturkan akan dualisme, perspektif, yang banyak ada pada dunia ini (Welcome to another perception), dapat dikatakan 2 trek ini merupakan prolog dari album.
Pada lagu ketiga megambil topik yang paling penting dari kehidupan kita yakni waktu (All about the time – Kala), di mana seluruh mahkluk di dunia ini memiliki waktunya sendiri dan bagaimana pandangan kita tentang pemanfaatan waktu tersebut.
Juga trek keempat ini berimajinasi tentang akhir dari hidup di dunia ini, dimana kematian menjemput. Sebelum menuju akhir dari proses ini kita akan diingatkan tentang apa yang telah kita lakukan, dan kemudian berlanjut untuk menuju akhir (Wasana) yakni, penebusan dosa (Prayascitta) dengan segala bentuk penebusan yang muncul dalam imaji, dan tak lepas juga dari pengaruh-pengaruh lingkungan.
Namun itu bukan merupakan akhir, karena pada lingkungan di Bali percaya roh dari makhluk yang telah mati akan terlahir kembali, hal ini juga selaras dengan kepercayaan tentang sifat-sifat atma (Roh) di Bali, roh juga merupakan bagian kecil dari alam semesta ini (Bhuvana I).
Kemudian kita akan dihadapkan pada sebuah tirai yang membatasi tahap sebelumnya dan tahap berikutnya (reinkarnasi), kita sudah melalui seluruh alam semesta ini, mulai dari alam nyata dunia ini dan alam setelah kematian (Bhuvana II).
Trek terakhir (Aksara) yang juga memiliki arti tak termusnahkan merupakan epilog dari album ini, menurut kepercayaan akan reinkarnasi (Rebirth) akan selalu berputar dengan siklus yang tak terhentikan.” Begitu mereka menyampaikan gagasan dan wacananya dalam pers rilis yang mereka tuliskan.
Foto: Album R.E.D, Cassadaga
Sebuah keistimewaan tentunya dapat membaca bagaimana musik mereka hadir bukan hanya sebagai hal pengisi waktu luang, tapi ada pola berpikir dan imajiner yang sedang berusaha mereka ciptakan. Dan kemudian mencoba mencari benang merah untuk mereka kaitkan dalam kehidupan sehari-hari dengan apa yang mereka ciptakan, meski terkesan album ini begitu “ketuhanan” sekali tapi patut juga disimak ada apa di balik wacana mereka. Karena saya yang juga memiliki keberjarakan dengan tradisi dan kepercayaan orang hindu Bali, tentu ingin mengetahui lebih bagaimana upaya Cassadaga dalam menyampaikan isi dari album mereka agar menjadi mudah dimengerti.
Sepertinya Cassadaga juga perlu membaca ulang bagaimana ketika karya-karya mereka sampai pada telinga pendengar mereka yang awam dan bahkan asing terhadap pengetahuan keyakinan tradisi Bali. Karena wacana yang mereka bawakan begitu tinggi untuk dibumikan, susah dicerna oleh orang yang sudah memiliki tradisi berpikir oleh lingkungan di luar konteks Bali. Maka penyampaian lain seperti media tulis atau visual sangat berperan penting dalam menolong mereka memperkuat wacana pada album “R.E.D.”.
Saya sempat mengobrol dengan salah satu personil Cassadaga dalam sebuah acara musik yang kebetulan mereka juga ikut meramaikan acara tersebut. Paska acara sedikit iseng mempertanyakan pemilihan judul album, sekilas jika kita artikan “RED” dalam bahasa Inggris berarti merah. Iseng saya bertanya, apakah ada korelasinya antara album ini dengan warna?
Ternyata iya, salah satu personil itu menyampaikan bahwa pemilihan warna merah pun menjadi penguat wacana “ketuhanan” yang mereka angkat. Karena dalam kepercayaan Bali, ada beberapa warna yang dianggap warna “religius”. Seperti warna; merah, putih dan hitam.
Dalam kepercayaan Bali, itu disebut warna Tri Datu kadang digunakan menjadi gelang. Warna itu juga sebagai sebuah simbolik untuk menggambarkan konsep Tri Murti atau kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi) sebutan tuhan dalam agama hindu; Dewa Brahma (pencipta) dilambangkan dengan warna merah, Dewa Wisnu (pemelihara) dilambangkan dengan warna hitam, dan Dewa Siwa (pelebur) dilambangkan dengan warna putih.
Saya tidak begitu paham secara keseluruhan bagaimana konsep itu, mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Tapi menariknya adalah ada ruang Cassadaga menemukan penguat wacananya. Bagaimana kenyataan itu mereka pinjam untuk menggambarkan isi dari keseluruhan albumnya, bagaimana warna itu mereka pilih kemudian diberi makna lain.
Ketika saya mengobrol dengan salah satu personilnya, dia juga menyampaikan bahwa judul album memang “R.E.D” sengaja dipilih untuk menguatkan wacananya. Pun dengan performatifitas mereka ketika pentas di atas panggung, Cassadaga memiliki ciri khas yaitu selalu memasang tiga kain berukuran 1,5 meter berbentuk persegi dengan warna merah, putih dan hitam.
Kain itu selalu ditebar di ruang mereka pentas sebagai sebuah simbolik ketuhanan sekaligus karakteristik dalam perform mereka. Mereka selalu memasangnya berubah-ubah, sesuai tempat di mana mereka pentas dan arah mata angin dengan panggung seperti apa. Karena dalam kepercayaan orang hindu, bahwa tiap Dewa memiliki arah mata angin dan warnanya tersendiri. Itu menjadi point lebih membuat mereka untuk menarik untuk disaksikan secara langsung.
Balik pada album mereka, bagi saya pemilihan judul “R.E.D” secara tidak langsung memberi makna yang multitafsir. Bisa diartikan sesuai singkatan yang mereka pilih atau bisa jadi orang menafsirkan sebagai warna merah. Atau mereka memang memilih hal tersebut sama-sama memiliki peran dalam album ini.
Jika benar mereka memilih judul album ini dengan dua makna yang saling berkaitan, maka ini akan menjadi diskusi yang sangat lebar. Album ini bisa menjadi pijakan berangkat untuk Cassadaga bagaimana mengeksplorasi karya mereka ke depan. Bagaimana selanjutnya membaca ulang makna dalam warna lainnya seperti; hitam, putih, kuning atau bahkan pink dalam realitas kehidupan mereka sebagai orang Bali.
Karena hal-hal tradisi tersebut juga begitu dekat dengan tiap personilnya, bagaimana dalam realitasnya sehari-hari selalu melakukan sembahyang atau upacara agama lainnya yang kerap selalu mengggunakan simbolik dan banyak warna.
Bali begitu kental dengan tradisi dan budayanya, tapi bagi teman-teman Cassadaga yang sedang berada pada era globalisasi yang begitu kencang pasti memiliki pertanyaan dan pernyataan soal bagaimana tradisi dan modern berjalan berdampingan. Seperti teman-teman musisi muda di Bali selalu ada cara dalam menyampaikan hal begitu religious untuk dibumikan kembali. Hanya saja hal tersebut memang lumayan sensitif jika tidak dengan pengetahuan pembacaan yang luas dan penyampaian yang matang. Harus ada pertanggung jawaban dan latar belakang yang kuat.
Karena seperti yang saya pikirkan sejauh ini, musik yang diciptakan Cassadaga diselamatkan oleh simbol warna yang mereka pilih. Bagaimana kemudian jika semisalnya pendengar mereka adalah seorang yang buta warna? Orang yang susah dalam membedakan warna, lantas bagaimana Cassadaga menyiasati hal tersebut? Adakah media lain untuk memperkuat wacana-wacana karya mereka selanjutnya?
Karena dalam pembacaan saya, warna memiliki sifat, karakteristik, emosi dan latar belakang yang berbeda. Saya sempat membaca artikel tentang warna dan kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata warna memiliki peran yang sangat penting untuk menggambarkan sesuatu kejadian, bisa menjadi berbagai macam simbolik. Warna juga menjadi salah satu simbolik sifat chakra dalam tubuh manusia.
Bahkan warna berkembang begitu banyak dalam tiap suatu budaya masyarakat. Sesederhana hal yang saya temukan adalah misalnya warna “hijau tentara”, di mata masyarakat Indonesia mungkin saja kita sepakat hijau tentara yang dimaksud adalah hijau gelap mirip seperti lumut di pinggir sungai. Tapi bagaimana jika misal warna “hijau tentara” itu dipakai misalnya di negara Amerika? Menjadi apakah dia?
Hal-hal itu yang kemudian saya tangkap untuk mengulas album “R.E.D” karya teman-teman Cassadaga. Bahwa warna yang disepakati dalam kehidupan tiap masyarakat itu memiliki latar belakang sosial, politik dan budaya yang begitu kompleks.
Maka menjadi pertanyaan besar untuk teman-teman Cassadaga, berada pada ruang yang mana album ini berdiri. Sebab jika dibaca ulang, tidak ada makna yang kuat untuk pendengar ambil sebagai titik terang karya ini. Jika membicarakan lirik sebagai teks yang berdiri sendiri, mungkin harus ada pula yang menceritakan tiap proses kehidupan dari lahir sampai reinkarnasi versi kepercayaan hindu Bali.
Atau membicarakan dari segi musik yang mereka coba utrakan lewat dua silang budaya modern dan nuansa musik tradisi Bali yang kuat? Saya rasa itu juga tidak begitu kuat, sebab tidak ada elemen atau alat musik yang menunjukan bahwa itu “Bali banget”.
Album ini seolah berdiri pada ruang yang begitu banyak memiliki pintu, atau bisa jadi album ini juga bisa dipakai sebagai alat untuk mengiris ulang lapisan soal proses hidup dan mati hingga lahir kambali orang Bali. Tapi sekilas jika kita dengarkan tiap lagu dalam album, nuansa Bali-nya memang bisa dirasakan dari melodi yang begitu dekat saya dengar dalam keseharian tradisi musik gambelan Bali. Atau nada-nada pengulangan seperti lagu yang berjudul “Aksara” dalam album ini, hampir sama rasanya ketika saya mendengar musik tradisi yang digunakan untuk upacara keagamaan di Bali.
Maka menarik dinantikan apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh Cassadaga? Apakah menjadikan album “R.E.D” sebuah laboraturium untuk membaca ulang bagaimana warna berperan dalam kehidupan masyarakat khusunya Bali. Atau mengambil sikap bahwa hal tersebut hanya kebetulan, dan makna sebenarnya album “R.E.D” ini adalah “Reinkarnasi” dan akan berkutat pada proses hidup dan mati kepercayaan hindu Bali. Atau tetap akan membawa dan menjadikan “R.E.D” sebagai makna multitafsir yang sama-sama kuat?
Tulisan ini-pun, tidak akan memberikan makna atau garis yang tebal untuk kita sepakati bersama menyoal wacana yang telah diutarakan oleh Cassadaga. Tapi satu yang ingin saya sampaikan sebelum tulisan ini saya tutup, “Beli nae kaset mereka, biar makin rajin ngeband wkwk”. Salam! [T]