18 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Homo erectus. /Sumber ilustrasi: Google Images

Homo erectus. /Sumber ilustrasi: Google Images

Curangologi: Filsafat Curang Seri 3 – Paleokultur

Gde Hariwangsa by Gde Hariwangsa
February 2, 2018
in Opini
12
SHARES

 

MASIH saya ingat sebuah cerita di waktu masa kecil. Kata orang-orang dewasa yang bercerita pada saya, saya diciptakan dari lempung, atau bahasa Indonesianya tanah liat. Imaji yang terkonstruksi di kepala – Tuhan membikin boneka dari tanah liat, kemudian meniup boneka itu dari hidung, maka terciptalah saya. Saya lantas hidup dan bernafas. Itu cerita masa kecil yang masih saya ingat. Ya, cerita tentang Tuhan dan penciptaan manusia.

Pada usia SMP, ketika mulai mengenal pelajaran biologi, baru saya ketahui sistem reproduksi manusia. Baru saya pahami bahwa manusia merupakan mahluk hidup yang berkembang biak dengan cara melahirkan (vivipar), Cara sederhana menandai mahluk hidup yang berkembang biak dengan melahirkan adalah memiliki ‘daun telinga’. Itu cara mengingat yang diajarkan oleh Pak Dasiran, guru pelajaran biologi saya saat di SMP Bintang Laut Solo.

Pelajaran tentang sistem reproduksi manusia, baik yang pria maupun wanita, kian memberikan pemahaman yang lebih masuk akal daripada pengetahuan tentang ‘tanah liat’ sebagai bahan baku manusia. Wanita menghasilkan sel telur (ovum) dan pria menghasilkan sperma dan kemudian bertemu hingga menjadi benih kehidupan yang terus tumbuh dan hidup menjadi manusia (individu) baru, kian menarik minatku belajar ilmu biologi saat itu.

Dan kata-kata Louis Pasteur yang paling membekas di otak saya sampai kini; “Omne vivum ex ovo, omne ovum ex vivo” (“seluruh kehidupan berasal dari telur, seluruh telur berasal dari kehidupan”).

Teknologi curang di bangku sekolah, mulai ‘bermukim’ dalam diri manakala di bangku SMP ini. Ia hadir karena suatu kebutuhan agar saya dapat nilai bagus untuk pelajaran biologi dan sejarah, yang begitu banyak memakai istilah latin. Pasalnya, Pak Guru Dasiran sudah mengingatkan agar tidak salah dalam menulis nama, dan tempat.

Sungguh sulit menghafal tulisan nama-nama dan istilah-istilah asing, maupun tahun-tahun kejadiannya. Seperti misalnya ; Louis Pasteur , Von Heine Geldern , Charles Robert Darwin, Alfred Russel Wallace, Eugene Dubois, Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus erectus Soloensis, Omne vivum ex ovo, omne ovum ex vivo, Omnis cellula e cellula , dan lain sebagainya.

Barangkali, saya tidak berbakat menghafal pelajaran ilmu-ilmu sosial, maka muncullah akal curang secara alamiah. Setiap ulangan, saya membikin ‘contekan’, dengan menulis nama-nama, istilah-istilah, maupun tahun-tahun kejadian – di pangkal paha. Jadi tertutup celana pendek.

Maka, setiap ulangan sejarah atau biologi, kedua pangkal paha saya penuh dengan tulisan ‘contekan’. Inilah pembelajaran saya tentang me-‘manipulasi’ pencapaian hasil ulangan. Selain itu juga meng-‘korupsi’ kepercayaan Pak Guru Dasiran yang telah bersusah payah mendidik. Kelakuan saya itu, hanya demi keuntungan saya pribadi..Dan tindakan ini — jika tak segera kuperbaiki — akhirnya merugikan diri saya kelak.

Mengapa merugikan? Saya harap adik-adik pelajar SMP tidak mengikuti jejak curang saya itu. Ya, sangat merugikan. Ketika saya memasuki kelas 1 SMA, teknologi curang menulis ‘contekan’ di pangkal paha sudah tak bisa saya lakukan. Sebab, harus bercelana panjang. Akibatnya, semua pelajaran yang mengandung hafalan dapat nilai yang kurang bagus. Barulah pada kwartal ke 2, muncul kesadaran akan kesalahan masa lalu. Tindakan curang, harus segera saya hentikan.

Tujuan saya bersekolah adalah menggali dan memahami ilmu pengetahuan, bukan mengejar nilai. Saya lantas bekerja keras melatih otak untuk memahami, tak sekedar menghafal. Menurut saya, memahami pasti hafal, dan hafal belum tentu memahami. Saya memilihi memahami. Lebih dari itu, tentu jika tindak curang itu saya teruskan, akan merusak kepribadian saya. Pak Dasiran tak menginginkan saya menjadi seseorang yang kelak memakai jaket orange, menjadi tahanan KPK. Ya, Pak Guru Dasiran tak menginginkan saya menjadi koruptor.

Mungkin karena waktu SMP – setiap ulangan biologi dan sejarah saya suka ‘nyontek’ – maka hingga kini pelajaran itu saya sukai, meski tak terlalu mendalami. Bisa juga karena saya lahir di Solo – Jawa Tengah, tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus Soloensis. Tepatnya di Desa Sangiran.

Fosil Pithecanthropus erectus Soloensis di temukan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, ahli paleontologi asal Berlin, pada tahun 1936. Sebelumnya, pada tahun 1891, Uegene Dubois menemukan fosil mahluk mirip manusia di Desa Trinil. Ia memberi nama ilmiah Pithecanthropus erectus.

Kata-kata ‘Soloenis’ kembali ter-update dalam pikiran saya ketika koreografer dan mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta Sardono Waluyo Kusumo, mementaskan repertoar bertajuk ‘Soloensis’. Karya ini dipentaskan di tiga kota ; Hamburg, Seoul, dan Jakarta. Pada tahun 1999, dipentaskan di Rio de Jeneiro. Sardono Waluyo Kusumo memang kelahiran Solo juga, mungkin karena itulah ia juga terobsesi menciptakan karya tarinya yang bertajuk ; ‘Soloensis’. Entahlah.

Berbicara soal Soloensis, seingat saya, bahwa manusia Jawa ini merupakan mata rantai yang hilang (missing link) antara manusia purba dan manusia modern. Penemuan ini lantas menjadi acuan para ilmuwan untuk membenarkan teori evolusi Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace. Tapi yang masih menjadi pertanyaan saya, benarkah leluhur kami (mengacu teori Darwin) berawal dari ‘primata’? Benarkah Homo Erectus merupakan leluhur kami?

Menurut Darwin, berdasarkan penemuan penemuan tulang belulang hewan dan manusia purba termasuk kera purba. Primata tersebut secara bertahap mengalami ‘perbaikan biologis’ selama jutaan tahun sehingga menjadi manusia. Kalau demikian, mengapa tindakan-tindakan biadab selalu dikaitkan dengan ke-‘purbaan’ leluhur kami? Saya tetap kurang yakin kalau leluhur di masa lampau itu punya perilaku biadab, meski masih terbelakang. Belum ada bukti sejarah tentang kebiadaan para leluhur itu.

Saya belum pernah mendengar cerita ‘leluhur purba’ kita membakar sesama, atas dasar prasangka mencuri amplifier. Seperti yang menimpa MA, awal bulan Agustus 2017 di Bekasi. Belum pernah saya dengar juga ‘leluhur purba’ melakukan persekusi dengan menelanjangi dan mengarak pasangan yang (diprasangkai) melakukan tindak mesum, di Tangerang. Menurut saya, tindakan main hakim sendiri ini merupakan tindakan ‘memanipulasi’ kebenaran hukum. Dan saya tidak yakin kalo ‘leluhur purba’ saat itu sudah mengenal teknologi manipulasi.

Tentang kekerasan, saya juga belum pernah mendengar ‘leluhur purba’ melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga maupun terhadap anak-anak. Baik kekerasan phisik, psikis, maupun seksual – seperti yang dilakukan manusia modern. Saya juga tidak pernah mendengar kebiadaban ‘leluhur purba’, meng-korupsi hak-hak individu lain dan lingkungan sosialnya demi kepentingan diri sendiri, hingga menyengsarakan kehidupan koloni (komunitas)-nya. Tak ada bukti sejarah, bahwa manusia era paleo memakai rompi oranje. He..he..he Mas Agus juga belum lahir kala itu. Atau entah sudah hidup di koloni mana.

Yang saya ketahui (dengan kemampuan terbatas), berdasarkan penemuan para ahli tentang penemuan alat-alat paleolitikum, mereka merupakan manusia gua. Mereka bertahan hidup dari berburu untuk mengumpulkan makanan (tidak mengkorupsi). Hewan yang mereka buru pada masa itu antara lain : kerbau, banteng, rusa, dan lain-lain.

Mereka juga menangkap ikan di sungai dan mengumpulkan umbi-umbian, buah-buahan untuk kebutuhan makanan. Patokan penting yang menandai kebudayaan Paleo (di Jawa) adalah ditemukannya peninggalan kapak batu di Desa Pacitan, dan juga di Desa Ngandong dengan ditemukannya peralatan dari flakes (alat dari batu chalcedon) dan dari tulang-tulang binatang.

BACA JUGA:

  • Curangologi: Filsafat Curang Seri 1 – Gambar Umbul
  • Curangologi: Filsafat Curang Seri 2 – Sekuni Milenial

Di dunia modern sekarang ini, ada saja gaya hidup yang (konon) primitif itu, yang digali lagi oleh manusia modern. Salah satunya adalah diet paleo. Yakni diet yang mengikuti pola makan nenek moyang purba di masa lalu. Suatu pola diet yang mengadopsi pola makan manusia gua jaman pra sejarah.

Diet ini prinsipnya mengurangi karbohidrat dan kadar gula. Makan daging dan ikan, diperkenankan. Lebih banyak direbus daripada digoreng. Mengkonsumsi sayur-sayur pun lebih condong mentah tapi bersih. Bahan-bahan sayur maupun buah yang dikonsumsi diutamakan yang organik.

Pokoknya mengikuti gaya hidup masa lalu, yang natural dan sehat. Tanpa bahan pengawet. Menghindari makanan yang serba instan, produk manusia modern. Lalu, mengapa manusia modern menjadikan pola makan manusia gua sebagai model untuk melakukan diet? Sebab, mereka dianggap memiliki pola makan yang berguna untuk kesehatan. Oleh karena itu, sumber makanan dalam diet paleo itu dibuat semirip mungkin dengan yang dikonsumsi manusia gua.

Lebih lanjut, saya ingin melihat leluhur lampau ini dari sisi positif. Evolusi manusia (mengacu teori Darwin), tentu berkait dengan ‘evolusi’ ilmu pengetahuan dan kemajuan jaman. Nilai-nilai dan norma-norma pun ikut tumbuh seiring dengan pertumbuhan evolusi manusia. Paleokultur, kebudayaan masa lampau yang penuh kesederhanaan, pasti juga mengalami pertumbuhan secara sederhana. Barangkali, karena kesederhanaanya, justru tindak laku mereka tak se-‘biadab’ budaya jaman kekinian. Meski kultur moyang masa lampau itu dikategorikan primitif.

Pertumbuhan peradaban manusia di bumi ini, memang banyak membantu dalam mengatasi kehidupan manusia itu sendiri. Namun, percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti meninggalkan pertumbuhan mentalitas manusia penggunanya. Di sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah sesuatu hal yang bebas nilai. Ada nilai-nilai etis yang mesti dipertimbangkan manusia penggunannya.

Selain itu, ada pula nilai sosial. Ini terbentuk bila orientasi (arah) penilaian tertuju pada hubungan antar manusia yang menekankan pada segi-segi kemanusian yang luhur. Dan masih ada beberapa nilai lagi dalam dinamika kehidupan manusia.

Tapi semua itu relatif sifatnya. Tidak ada hukum-hukum, aturan-aturan, atau norma-norma yang bisa membatasi interpretasi manusia atas nilai-nilai etik itu. Karena hal-hal relatif itulah, saya pribadi ingin merefleksikan kearifan paleokultur yang penuh kesederhanaan, jika hendak kita serap intisarinya .

Saya pribadi masih (berkeberatan) bahwa kebudayaan moyang masa lalu, adalah identik dengan primitif dan biadab. Meski penilaian primitif dan biadab adalah ‘racun’ yang menginfeksi daya nalar otak saya, ketika mendengar cerita-cerita manusia purba.

Lho, kok kerangka berpikir saya mundur jutaan tahun ya? Ah…dari pada saya bingung, sebaiknya saya petik sajak Soebagio Sastrowardoyo yang berjudul ‘Manusia Pertama di Angkasa Luar’.

….

Beri aku satu kata puisi,

Daripada seribu ilmu yang penuh janji.

Yang membuat aku terlempar dari bumi yang kukasih.

……. (T)

Curangologi: Filsafat Curang Seri 2 – Sekuni Milenial

 

Tags: KorupsiPendidikanpurba
Gde Hariwangsa

Gde Hariwangsa

Pengamat seni, tinggal di mana-mana

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti...

by Irina Savu-Cristea
December 24, 2020

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Performance Art by Komunitas Puntung Rokok Undiksha (Foto Mursal Buyung)
Cerpen

Tut… Tut… Tut… Tuhan

Cerpen Kim Al Ghozali “Halo... Halo... Siapa ini?”             “Ini saya.”             “Saya siapa?”             “Ya saya. Apakah ini Tuhan?” ...

November 2, 2019
Peserta Puu.I.See di Canasta Creative Space
Khas

Black Out Poetry: Menemu Puisi dalam Berita Koran –Catatan Puu.I.See di Canasta

Puu.I.See adalah satu program di Canasta Creative Space, Jalang Tukad Sanghyang  No.2, Panjer, Denpasar, beranggotakan kawan-kawan muda yang gemar sastra, ...

May 30, 2019
Foto-foto: Istimewa
Kilas

Belajar Jujur Melalui Permainan dan Lagu “Meong-meong”

//Meong meong alih ja bikule/ Bikul gede gede / Buin mokoh mokoh /Kereng pesan ngerusuhin/Juk meng… Juk kul..// BEGITU lagu ...

February 2, 2018
Ilustrasi: IB Pandit Parastu
Cerpen

Keberanian untuk Memulai Ketidakselesaian

SUARA mesin grinder biji kopi, aroma biji kopi yang telah menjadi bubuk, lagu pop barat yang membosankan. Dan orang-orang yang ...

February 22, 2018
Sanggar Ceraken, Batubulan di Festival Tepi Sawah. (Foto: Istimewa)
Khas

“Macan Ngerem” Sebelum “Tribute to Chrisye” di Festival Tepi Sawah 2018

SAYA datang ke Festival Tepi Sawah di Omah Apik, Pejeng, Gianyar, sudah agak telat. Di hari pertama, Sabtu 8 September ...

September 11, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jukut paku di rumah Pan Rista di Desa Manikyang, Selemadeg, Tabanan
Khas

Jukut Paku, Dari Tepi Sungai ke Pasar Kota | Kisah Tengkulak Budiman dari Manikyang

by Made Nurbawa
January 16, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Made Adnyana Ole [Ilustrasi Nana Partha]
Esai

Dilarang Meniru Petani

by Made Adnyana Ole
January 18, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1349) Essay (6) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (308) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (327)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In