12 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Foto: Pementasan teater Komunitas Mahima

Foto: Pementasan teater Komunitas Mahima

Kata Agus Suradnyana: “Pura-pura Terzolimi itu Lagu Lama,” – Benarkah?

Made Adnyana Ole by Made Adnyana Ole
February 2, 2018
in Opini
56
SHARES

DALAM sebuah wawancara dengan wartawan, Putu Agus Suradnyana, calon bupati incumbent dalam Pilkada Buleleng 2017 berucap, ”Pura-pura terzolimi itu lagu lama (untuk menarik simpati dalam Pilkada). Yang harus dilakukan adalah bekerja, tunjukkan program.”

Kenapa Agus Suradnyana mengatakan hal seperti itu? Menurut dia, sebagai calon incumbent yang masih berkuasa, ada yang menganggap seakan-akan semua orang akan membela dirinya. Dengan kedudukannya yang masih menjadi Bupati, seakan-akan ia bisa melakukan apa saja dengan mudah, seperti melakukan intimidasi dan pemaksaan.

Dalam hal ini, Agus Suradnyana sadar dirinya sedang berada dalam posisi berkuasa. Ia ketua DPC PDI Perjuangan dan masih menjadi Bupati setidaknya sampai ia cuti akhir Oktober ini. Dengan “kekuasaan” seperti itu, dengan mudah bagi siapa pun untuk mendudukkannya sebagai tokoh antagonis dalam satu cerita, lalu di sisi lain menciptakan tokoh protagonis yang teraniaya oleh kekuasaan.

Seperti dalam dongeng sebelum tidur, banyak raja digambarkan bengis dan menzolimi seorang pemuda dusun, yang pada akhirnya pemuda itu berhasil mendapat simpati, lalu berhasil mengalahkan si raja, lalu menjadi raja. Dongeng semacam ini masih hidup di hati masyarakat Indonesia, dan kini hidup dalam dunia politik modern.

Dongeng semacam itulah yang mungkin sedang diwaspadai Agus Suradnyana. Dan, ingat, dalam dunia politik di Indonesia, dongeng semacam itu sudah banyak menuai sukses, meski ada juga yang gagal.

Mirip Film India

Kosa kata terzolimi atau terzalimi, atau bisa dipadankan dengan “teraniaya” disadari atau tidak memang sudah masuk dan menguasai wacana-wacana politik dalam setiap Pilkada Bupati, Pilkada Gubernur, dan Pilpres. Sejumlah calon kepala daerah, secara langsung maupun lewat tim suksesnya, mengadopsi kata terzolimi untuk disandangkan pada dirinya demi menarik simpati pemilih.

Dengan demikin, seakan-akan ada anggapan jika Anda mau terpilih jadi bupati, gubernur atau presiden, maka Anda harus “dizolimi” dulu. Atau jika tak ada yang “menzolimi” maka sebaiknya buatlah cerita sedih yang mengharu biru, lalu curhat ke sana-sini, seolah-olah Anda sedang “dizolimi”.

Ceritanya jadi mirip film India, tokoh utama harus menderita dulu, nangis-nangis dulu, benyah-latig dulu, berdarah-darah dulu, agar penonton jatuh simpati, tersulut emosi, teraduk perasaannya dan menunggu-nunggu kapan si tokoh balas dendam. Penonton seakan-akan siap berdiri untuk membantu si tokoh utama dan menghujat habis-habisan si penganiaya.

Menjelang film tamat, si tokoh berhasil balas dendam dan menang secara gilang-gemilang.  Penonton bersorak-sorai di dalam gedung bioskop atau di depan TV, seakan-akan mereka ikut andil dalam membasmi seluruh kejahatan di dunia.

Kata terzolimi kini masuk dengan tenar dalam ranah politik dan sepertinya sudah menjadi semacam teori strategi dalam setiap hajatan pilkada di Indonesia.

Nama Megawati dalam percaturan politik di Indonesia meroket ketika ia dianggap dizolimi oleh rezim Orde Baru. Begitu Orde Baru tumbang, nama Megawati otomatis naik dan banyak yang berharap ia menjadi presiden. Dan, melalui jalan politik yang agak rumit, ia akhirnya sempat menjadi presiden.

Pada Pilpres langsung tahun 2004, kata terzolimi seperti kembali menemukan eksistensinya. Saat itu, status terzolimi justru jatuh pada SBY. Ia berhasil menempatkan dirinya sebagai orang yang “teraniaya” setelah mundur dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia.

Saat SBY mundur, Presiden Megawati mengungkapkan rasa kecewanya.  Tapi ungkapan rasa kecewa (yang mungkin dilontarkan secara agak berlebihan) itu menyebabkan Megawati danggap sebagai pihak yang menggunakan kekuasaannya untuk menzolimi SBY.

Apakah saat itu SBY benar teraniaya atau hanya strategi politik semata, kita tak pernah tahu. Namun di sisi lain, secara logika, tentu saja Megawati kecewa karena saat itu ia sedang mempersiapkan diri sebagai calon Presiden incumbent pada Pilpres 2004. SBY yang diharapkan akan membantunya justru mundur dan bersiap mencalonkan diri untuk melawan Megawati.

Oleh pihak Megawati, SBY bisa dituding telah berkhianat, tapi kata “khianat” tak berhasil diolah menjadi senjata untuk mendongkrak nama Megawati agar bisa menang dalam Pilpres. Justru SBY – dengan dibantu kepiawiannya mencitrakan diri – berhasil menempatkan diri sebagai orang terzolimi dan mendapatkan simpati.

SBY pun sukses mengalahkan Megawati. Bahkan setelah itu, pamor PDI Perjuangan sebagai partai berkuasa pun mulai redup.

Gaya SBY ini kemudian banyak ditiru oleh calon-calon kepala daerah atau calon presiden bahkan dijadikan semacam strategi politik untuk mengalahkan lawan kuat dalam Pilkada atau Pilpres. Gaduh dalam Pilkada DKI saat ini misalnya, bisa dianggap sebagai peperangan awal untuk memperebutkan “status teraniaya”, bukan status benar atau salah.

Saat Pilgub Bali 2013, banyak yang percaya kemenangan Made Mangku Pastika antara lain disebabkan oleh keberhasilannya menempatkan diri sebagai “orang yang dibuang” oleh PDI Perjuangan. Padahal, kebenaran tentang hal itu tak pernah diketahui secara pasti.

Benar-salah dalam peperangan di dunia politik bukan ditentukan oleh keputusan apa yang terjadi dalam konferensi partai secara resmi, tapi ditentukan oleh wacana apa yang keluar setelah konferensi itu di media massa dan wacana apa yang berkembang kemudian di ruang-ruang obrolan warung kopi.

Lagu Lama

Lalu apakah benar politik zolim-menzolimi itu sudah menjadi lagu lama sebagaimana dikatakan Putu Agus Suradnyana? Bisa saja benar. Karena gaya itu tak lebih dari dongeng sebelum tidur dengan menempatkan pihak yang kuat sebagai antagonis dan ada pihak yang menempatkan diri sebagai protagonis.

Memang hampir dalam semua dongeng, tokoh protagonis adalah pemenang. Tapi politik tentu saja bukan dongeng. Politik memberi kemungkinan alur, plot, dan ending, yang tak terduga dan berubah-ubah sesuai zaman.

Setiap strategi dalam politik tak bisa diterapkan terus-menerus sepanjang zaman. Masyarakat (baca:pemilih) dalam Pilkada akan terus berubah sikap, memperbaiki pengertian politiknya, dan tentu saja makin pintar. Seluruh peristiwa politik yang pernah mereka lalui akan dijadikan pelajaran untuk menentukan pilihan politik pada masa-masa berikutnya.

Atau, jangan salahkan masyarakat pemilih juga, jika strategi pura-pura terzolimi tetap bisa sukses. Namanya juga politik. Dalam politik, kepura-puraan bisa tampak lebih nyata dari kenyataan. (T)

Tags: bulelengPilkadaPolitik
Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi tatkala.co | Satia Guna
Cerpen

Utang | Cerpen Rastiti Era

by Rastiti Era
April 10, 2021
Ulasan

Aud Kelor: “Anak Kedua” Carma Citrawati yang Komikal, Satir dan Menggemaskan

Bila dalam bumbu masakan Bali ada yang namanya basa genep maka dalam kumpulan cerpen berbahasa Bali, Aud Kelor, Carma Citrawati ...

August 11, 2020
Salah stu karya pada pamaeran Tugas Akhir mahasiswa seni rupa Undiksha Singaraja,  2018
Puisi

Puisi-puisi Kiki Sulistyo || Hantu Rima, Pigmen Bunyi, Martiria

Malam Penjagalan wahai, pemapar ikhbar --berkatilah hewan ini dengan hamun dan sifat dayus, sebelum dunia membuatnya kudus. di kandang ia ...

January 2, 2021
Pementasan Barongsai di Vihara Amurva Bhumi Blahbatuh tahun 2019. Sumber foto : Rony Kurniawan
Khas

Galungan Ngelawang Barong Bangkung, Imlek Ngelawang Barongsai

Menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali, di jalan-jalan, baik jalan besar atau jalan kecil, baik di pedesaan atau ...

January 23, 2020
Kredit foto; Sugi Lanus
Opini

Memicu “Erupsi Literasi” Gunung Agung, Lebih Cepat Lebih Baik

  SANGAT menarik membaca tulisan “Gempa Literasi” karya Gol A Gong dan M. Irkam. Dalam bagian “Jambi Membaca” disebutkan: ”Gempa ...

February 2, 2018
Novel “Tresna Tuara Teked” Ida Bagus Pawanasuta Raih Hadiah Rancage  2020
Kilas

Novel “Tresna Tuara Teked” Ida Bagus Pawanasuta Raih Hadiah Rancage 2020

Keputusan HADIAH SASTERA “RANCAGÉ” TAHUN 2020 Alhamdulillahirobbilalamin, atas rahmat Allah SWT serta bantuan berbagai pihak yang menaruh perhatian terhadap perkembangan ...

January 31, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Suasana upacara ngusaba kadasa di Desa Kedisan, kintamani, Bangli
Khas

“Ngusaba Kadasa” ala Desa Kedisan | Dimulai Yang Muda, Diselesaikan Yang Muda

by IG Mardi Yasa
April 10, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gde Suardana
Opini

Tatkala Pandemi, (Bali) Jangan Berhenti Menggelar Ritual Seni dan Budaya

by Gde Suardana
April 10, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (163) Dongeng (13) Esai (1455) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (352) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (342)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In