DI tengah gemerlapnya pariwisata Ubud, generasi muda Desa Peliatan justru memanfaatkan momen tersebut untuk mempertahankan seni budaya yang ada di desanya. Salah satunya melestarikan kesenian Legong dan Tabuh Palegongan Gaya Peliatan yang sangat terkenal di tahun 1930-an. Warisan adiluhung itu dijaga keasriannya dengan menggelar diskusi panel disertai dengan pemilihan generasi legong gaya Peliatan.
Diskusi panel yang diinisiasi oleh Sekaa Teruna Teruni Kumara Çanti Gotraja, Banjar Tengah, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar itu berlangsung di Open Stage, Agung Rai Museum of Art (ARMA), Sabtu 8 Maret 2025. Diskusi digarap sangat kreatif. Sebab, acara tersebut tak hanya membicarakan tentang Legong khas Peliatan, tetapi juga dibarengi dengan pratek dengan menghadirkan para tokoh Legong gaya Peliatan.
Walau siang itu terik matahari seakan membakar tubuh, namun di area Open Stage itu justru terasa adem. Pohon-pohon besar mengubah suasana menjadi lebih adem, seakan mendukung semangat anak-anak muda dalam semangat menjaga warisan leluhur. Anak-anak setingkat SD, teruna-teruni serta orang tua sejak awal memenuhi halaman Open Stage yang memang sejuk itu. Mereka mengenakan busana adat, sementara anak-anak melengkapi diri dengan kipas.

Tari legong gaya Peliatan | Foto: Bud
Setelah siap, MC yang memandu acara menyerahkan waktu kepada moderator, Ni Made Citra Aryani yang juga seorang penari legong khas Peliatan.
Berbekal pengalaman sebagai penari legong, Citra Aryani selanjutnya memperkenalkan pembicara diskusi, yaitu Anak Agung Gede Oka Dalem merupakan putra tokoh Legong Peliatan, Alm. A. A. Gde Mandera yang selalu getol mempertahankan legong stail Peliatan.
Bermimpi Melihat Bidadari
Agung Gede Oka Dalem mengawali pemaparannya berawal munculnya Tari Legong itu. Legong diperkirakan muncul pada abad ke – 19, pada masa pemerintahan I Dewa Agung Made Karna dalam Babad Dalem Sukawati. I Dewa Agung Made Karna bermimpi melihat dedari (bidadari) menari di sorga yang begitu indah. Raja kemudian memerintahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang mencerminkan bidadari dari mimpi itu.
Menurut, Anak Agung Gede Oka Dalem, topeng itu masih ada, dan sekarang disimpan di Pura Payogan Agung Ketewel. Dalam waktu yang lama, I Gusti Ngurah Djelantik kemudian menggubah topeng bidadari itu menjadi tari Nandir yang dibawakan oleh laki-laki tanpa menggunakan topeng. Pada pemerintahan I Dewa Agung Manggis dari Raja Gianyar kemudian memerintahkan I Dewa Rai Perit untuk menata tari yang saat ini lumrah disebut Legong.
“Tari legong itu ditarikan oleh anak-anak perempuan mulai dari umur 10 tahun. Anak-anak yang masih belia itu memiliki kelenturan tubuh, sehingga dapat membentuk tubuh penari legong yang diharapkan,” katanya dalam diskusi yang mengundang peserta dari unsur pemerintah negeri, swasta, kelompok masyarakat, dan kalangan umum se-Desa Peliatan dan sekitarnya itu.

Peragaan tari legong gaya Peliatan | Foto: Bud
Anak Agung Gede Oka Dalem mengatakan, munculnya label Peliatan pada tari Legong yang berkembang adalah salah satu pengaruh dari sosok maestro Desa Peliatan, yaitu Alm. A. A. Gde Mandera dan Alm. Gusti Made Sengog. Berdasarkan cerita yang berkembang, nafas-nafas dan agem dari Tari Legong disesuaikan ulang oleh Alm. A. A. Gde Mandera dan Alm. Gusti Made Sengog, sehingga melahirkan ciri khas gerakan yang lambat laun menjadi Legong Keraton khas atau gaya Peliatan.
Legong Keraton Gaya Peliatan terus berkembang dan menjadi salah satu pertunjukkan yang dibawakan pada L’Exposition Coloniale Internationale De Paris (Paris Expo) tahun 1931.
“Peristiwa kebudayaan ini menjadi salah satu yang mempengaruhi popularitas Bali sebagai destinasi wisata dunia dikemudian hari. Setelah itu, banyak lagi serangkaian tour Internasional yang dilakukan oleh Alm. A.A. Gde Mandera dan para seniman tabuh Peliatan lainnya, seperti Alm. I Gusti Kompyang, Alm. I Made Lebah, dan Alm. I Luwus,” kata Oka Dalem.
Setelah tanya jawab, peserta diskusi menyaksikan Tari Legong gaya Peliatan yang mengalami masa jaya di tahun itu atau sesuai dengan jamannya. Sharing pengalaman dan demonstrasi daya tari oleh para tokoh seniman senior Tari Legong gaya Peliatan, seperti Anak Agung Arimas (1950), Desak Putu Widikencanawati (1960), Anak Agung Raka Astuti (1965), Jro Puspa Nurini (1965), Anak Agung Sri Utari dan Jro Sulasih serta Ni Wayan Sriati penari legong di tahun 1970
Para peserta diskusi, tak hanya menyaksikan persamaan dan perbedaan tari legong sesuai dengan penari di jamannya itu, namun dapat menikmati bentuk pelestarian yang dilakukan oleh generasi-generasi muda berbakat.
Dalam ajang seleksi ini ditampilkan para penari legong berbakat yang kemudian diseleksi untuk memilih tiga grup yang paling berbakat.
“Kemudian dibina, lalu mencari satu grup yang akan dipentaskan pada puncak HUT ST Kumara Çanti Gotraja,” kata Ketua panitia, I Gede Werdi Putra Kesumayasa.
Gema Kreasi Kumara Çanti Gotraja
Tak hanya diskusi seni tari, tetapi juga diskusi Tabuh Palegongan daua Peliatan yang menghadirkan pembicara Gusti Ngurah Sukra dan Cokorda Bagus Wiranata. Kegiatan ini yang bertautkan budaya ini merupakan bentuk penghormatan bagi para leluhur di generasi sebelumnya.
“Bukan dulu, bukan nanti, tetapi sekaranglah waktu yang tepat untuk kita berkontribusi bagi Desa, utamanya untuk para leluhur kita. Kalau bukan karena jasa leluhur terdahulu, tidak mungkin Peliatan akan harum namanya seperi sekarang ini,” kata Werdi Putra Kesumayasa.
Menurutnya, Program Gema Kreasi Kumara Çanti Gotraja ini sudah dimulai dari Januari diawali dengan sepak bola antar banjar di Desa Peliatan. Besok, digelar musik di Lapangan Garuda di Desa Peliatan, dan puncaknya HUT bertepatan dengan Hari Raya Ngembak Geni. Diskusi ini digelar karena Legong Peliatan sebagai pionir dalam memperkenalkan budaya Bali ke luar negeri.
“Tetua kami di Peliatan, sebelum kemerdekaan Indonesia sudah melakukan pementasan di luar negeri dimulai sejak tahun 1931. Maka, melalui diskusi ini kami berharap akan mempu membentuk penari-penari muda,” harapnya.

Pembukaan diskusi legong gaya Peliatan di ARMA Ubud | Foto: Bud
Perbekel Desa Peliatan I Made Dwi Sutaryanta mengatakan Peliatan memiliki banyak budaya, baik itu warisan budata tak benda ataupun yang sedang dikembangkan, dan ada bebarapa yang tak berlanjut. Sebut sajam pada saat melakukan upacara makalan-kalan, ada tradisi “meanyud-anyudan”. Tradisi ini dari sisi agama itu masih lestari, namun dilakukan di kamar mandi bukan di tukad (sungai). “Kalau 40 tahun lalu, tradisi ini dilakukan di sungai,” ucapnya.
Warga Desa Peliatan selalu memikirkan tentang budaya dan mempertahankan khasanah budaya, sehingga mereka mulai, dan terus, bergerak. “Me-anyud-anyudan” sudah kembali. Akses ke sungai yang dulu hilang, kini sudah ada, sungau juga sudag bersuh dari sampah plastik, sehingga meanyud-anyuda masih lestari hingga kini. Ini sebagai usaha mempertahankan budaya.
“Apalagi sekarang, palegongan diangkat kelompok anak muda yang mau berbicara tenatng budaya. Anak-anak setingkat SD juga dilibatkan, sehingga ini bagus sekalu dalam upata pelestarian budaya,” imbuhnya.
Cara untuk Berinteraksi
Pendiri dan owner ARMA Museum, Agung Rai mengatakan, diskusi budaya ini bagian dari misi ARMA untuk berinteraksi dengan lingkungannya. ARMA memfasilitasi masyarakat lingkungan, sehingga tak hanya turis yang berkunjung ke museum, tetapi juga masyarakat lokal. Karena itu, di ARMA Museum ada sanggar tari anak-anak dan remaja. “Ini cara untuk memasyarakatkan museum secara pelan-pelan,” paparnya.
Karena itu, sejak berdirinya ARMA sudah memfasilitasi berbagai kegiatan untuk dilakukan di Museum. Ini sebagai cara untuk berinteraksi, sehingga membuat orang senang.
“Sekarang ini balai banjar sudah mengalami pergeseran, sehingga kegiatan seni bisa dilakukan di museum. Ada yang melukis, menari, memainkan gamelan, membuat video dan kegiatan seni lainnya, sehinga pengunjung mendapat manfaat untuk pendidikan moral,” jelasnya.

Generasi penari legong gaya Peliatan | Foto: Bud
Program ini sebagai cara untuk membina Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal berkreasi. Diskusi Legong dan Tabuh Palegongan Gaya Peliatan ini, pertama melestarikan apa yang telah dicapai oleh orang orang desa, bahkan hingga ke mancanegara, seperti Paris.
Sementara guru-gurunya berkolaborasi dengan penari berbagai daerah, seperti ada dari Buleleng, Tabanan, Singapadu, Badung dan lainnya serta didukung oleh masyarakat. “Inilah wujud dari berkolaborasi itu,” paparnya. [T]
Penulis: Nyoman Budarsana
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: