DI era tahun 1990-an, siapa yang tak kenal keindahan alam Ubud? Walaupun saat itu di Bali sudah ada industri pariwisata, beberapa tempat di Ubud masih asri, misalnya seperti Desa Junjungan.
Sawah yang melintang begitu indah, menjadi salah satu daya tarik pariwisata untuk menikmati keindahan alam. Udara pun masih segar. Para petani masih terlihat melakukan aktivitas pertanian dengan penuh suka cita.
Ada yang menuntun ratusan bebek di sepanjang jalanan, ada yang membawa rumput untuk ternak, di beberapa gubuk sapi seniman ukir sedang membuat patung kayu, ada yang sedang melukis, serta anak kecil begitu gembira mencari belalang, belut dan capung.
Sepuluh tahun belakangan ini, Ubud nyaris tidak bisa menyelamatkan sawah dari gempuran pembangunan villa dan hotel, dampak dari jomplangnya hasil pertanian dan kebutuhan hidup. Namun apa daya, industri pariwisata berkembang begitu masif dan sekarang ini sangat jarang kita melihat bentangan sawah yang begitu luas di daerah Ubud.
Di beberapa bagian, sudah dibangun villa maupun hotel. Hanya ada beberapa petak sawah yang masih ada aktivitas pertaniannya.
Gede Suanda a.k.a. Sayur, lulusan Institut Seni Indonesia, begitu gelisah melihat fenomena ini. Sebagai seniman yang terlahir di kawasan agraris di Desa Jungjungan, ia mengabadikan fenomena ini mulai karya seni lukis.

“Not For Sale” , tulisan yang dibuat Suanda alias Sayur di tengah sawah | Foto: Istimewa
Tentu pembaca tidak asing lagi dengan sosok seniman ini. Dulu sawahnya pernah viral di tahun 2014. Ia pernah menancap sawahnya dengan tulisan yang begitu besar dengan kalimat “Not For Sale” kerja sama dengan seniman, yang juga merupakan lulusan ISI Jogjakarta jurusan seni lukis, I Wayan Sudarna Putra.
Kedua seniman ini adalah seniman asli Ubud, yang gigih menyuarakan perubahan yang ada dengan karya seni untuk Bali kedepanya.
Salah satu lukisan yang dibuat oleh Gede Suanda menggambarkan susana upacara Tumpek Landep. Tumpek Landep merupakan salah satu upacara yang lumrah dilakukan orang Bali, untuk memberikan persembahan upacara terhadap benda sakral berupa keris.
Lambat laun, dalam perkembanganya, upacara ini dilakukan juga kepada peralatan yang berbahan dasar besi yang menunjang kehidupan masyarakat Bali dalam mencari nafkah, seperti kendaraan berupa motor dan mobil, peralatan pertanian, peralatan bengkel, maupun peralatan lainya.
Dalam lukisannya yang berjudul Rahajeng Tumpek Landep ini, Sayur melukiskan seorang pemangku yang sedang melakukan upacara terhadap benda sakral berupa keris dan mobil. Ia melukis mobil bertumpuk tiga, seolah ingin menyuarakan lahan yang kini begitu sempit dan suasana kemacetan Ubud yang begitu parah akibat dari dan perkembangan pariwisata.

Rahajeng Tumpek Landep, karya Suanda alias Sayur | Foto: Istimewa
Fenomena sumpeknya Ubud, yang begitu berdesakan di antara orang melaksanakan kegiatan upacara dan hiruk pikuknya wisatawan, dilukiskan dengan jenaka dan satir dengan media akrilik di atas kanvas. Di beberapa bagian kanvas pada lukisan tersebut juga dilukisakan suasana melasti.
Sementara di bidang lain ada orang yang sedang bertani di sawah dengan suasana padi yang baru ditandur. Di atas tanaman padi tersebut, dilukiskan wisatawan yang sedang rebahan, berjemur di kursi panjang dan kasur terapung dengan memakai bikini. Suasana yang campur aduk sangat berbanding terbalik dengan suasana sakral keagamaan yang sedang berlangsung di Bali, yaitu sedang merayakan upacara Tumpek Landep.
Di bidang lain, terdapat dua orang lelaki yang sedang susah payah menggendong babi sebagai bahan upacara dan konsumsi umat Hindu dalam rangkaian kegiatan adat dan keagamaan.



Bidang-bidang dilihat secara detil dalam karya Rahajeng Tumpek Landep | Foto: Istimewa
Di pojok kanan bawah ada seorang pemangku yang sedang melakukan upacara Tumpek Landep dengan penuh konsentrasi melapalkan mantra dan membunyikan genta. Di depannya dilukiskan keris itu sampai berdiri.
Lukisannya seolah ingin mengungkapkan suasana kontradiktif Bali, yang mana masyarakat Bali begitu kentalnya mempertahankan tradisi yang sebagian adat dan budaya ini di bangun secara swadaya.
Namun para investor asing yang tidak bersentuhan secara langsung dengan adat tradisi Bali. Hanya berkonsentrasi mengambil keuntungan dari peluang pariwisata dan budaya ini.
Kegelisahan Sayur merespon situasi melalui lukisannya ini disbabkan karena ia merasa banyak yang hilang dari Pulau Bali ini. Kenangan masa kecilnya sirna. Dulu sawah baginya adalah tempat bermain bersama teman-temanya, entah mencari belut, menangkap capung, beternak itik, atau sesekali memperhatikan burung yang hinggap di sawah.
Di masa kecilnya, Sayur belajar mensketsa menggunakan daun pisang atau kulit kelapa muda yang di toreh dengan lidi yang runcing, maupun pisau. Sawah bagi Suanda, selain merupakan sumber ketahanan pangan masyarakat Bali, juga merupakan ruang belajar sambil bermain. [T]
Lovina, 21 Februari 2025
Penulis: I Gede Made Surya Darma
Editor: Adnyana Ole