BERBAGAI macam bentuk dan jenis karya seni dipamerkan pada acara “Bebas Desain” oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Seni dan Desain, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha.
Acara itu dilakukan di ruang Galeri Paduraksa FBS, dan telah berlangsung sejak tanggal 12 Oktober dan akan berakhir 26 Oktober 2024. Pameran itu dibuka setiap jam 09.00 pagi, dan tutup jam 09.00 malam.
Ada banyak karya seni lukis memenuhi dinding ruangan pameran itu. Sedari realis hingga abstrak, dan mulai dari tema sosial-politik, budaya, hingga tokoh bengis dunia seperti Hitler—wajahnya juga ikut terpampang di tembok paling belakang dengan judul “Seniman Yang Gagal” karya Komang Wawan Sumerta.
Tak hanya itu, patung, baju punk—juga dipajang di sana, dan menjadikan pameran lebih banyak pilihan untuk dilihat. Pameran itu diberi tema “Mozaik Asik”.
Pengunjung pameran di Galeri Paduraksa FBS Undiksha Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Menurut Ketut Sastrawan, Mozaik Asik diambil dari dua suku kata yaitu Mozaik dan Asik. Mozaik sendiri merupakan suatu karya yang diciptakan dari potongan atau serpihan media yang kemudian dirangkai menjadi satu keutuhan karya.
“Partisipan pameran berasal dari prodi seni rupa, DKP, serta alumni, selain itu terdiri dari keberagaman karya di dalamnya dengan makna yang berbeda juga, sedangkan Asik, merupakan akronim dari Aspirasi Kreasi,” lanjut Ketut Sastrawan, ketua panitia pameran.
Kemudian ia juga menjelaskan setiap karya yang diciptakan dan dipamerkan adalah bentuk aspirasi, dan tujuan atau harapan dari pencipta karyanya—yang dikreasikan sesuai dengan berbagai media bahkan tekniknya.
Untuk melihat itu, sepulang dari kuliah sore di kampus tengah, Widya Ambari (19) bersama teman-temannya bergerombol datang ke acara pameran di hari ketiga.
Sesekali mereka bersamaan mengitari ruangan melihat lukisan dari tembok satu ke tembok lainnya, dan kemudian berpencar melihat karya-karya yang menarik sendiri-sendiri.
Terakhir, Ambari (19) menghampiri satu lukisan berjudul “Walunateng Dirah” dengan teknik arsir yang halus, gelap terang yang halus berukuran 30 X 42 CM dari drawing on paper, karya Ayu Astina Dewi.
Secara cerita, Walunateng Dirah merupakan sesosok utama dalam acara pencalonarangan yang jika dipentaskan memadukan tari Topeng, Gambuh, Arja dan Palegongan.
Konon, di suatu daerah di jaman baheula, Walanetang Dirah atau juga disebut Rangda Ing Dirah adalah seorang janda yang memiliki kekuatan magis dan ditakuti oleh banyak orang.
Karya-karya yang dipemaerkan pada acara “Bebas Desain” oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Seni dan Desain, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha. | Foto: tatkala.co/Son
Secara cerita, agak seram memang. Tapi sebab itulah Ambari datang untuk melihat. Apalagi karena ia belum pernah sama sekali melihat pementasan calonarang yang begitu sakralnya di setra.
Tetapi melalui lukisan itu juga, lanjut Ambari, setidaknya hasrat untuk tahu terpenuhi walaupun tidak tahu rasanya bagaimana jika menonton secara langsung.
“Pertama, pasti seram karena melihat lidahnya menjulur. Terus itu, buletan-buletan itu, ada rasa-rasa gak nyaman—ketika melihatnya. Dan memang, saya belum pernah juga nonton pementasan calonarang,” kata Widya Ambari, semester 3 Akuntasi, di pameran.
Tetapi bukan saja karena tampilan lukisan yang memiliki dorongan magis—sehingga Ambari menghampiri lukisan itu. Tetapi bagaimana banyak detail yang terperhatikan oleh pelukisnya juga menjadi minatnya.
Ada banyak pernak-pernik, atau barangkali simbol-simbol—yang menjadikan lukisan itu menjadi ramai dan asik untuk dilihat. Tidak hambar walaupun lukisan itu mudah dijumpai dimana-mana, di Bali.
Pameran Seni, dan Sesuatu yang Hendak Disampaikan
Di sini, Ayu Astina Dewi, pelukis muda semester 3 Prodi Seni Rupa—asal Tabanan itu barangkali berhasil mengeksplor teknik arsirnya. Dan memang, ia sengaja menampilkan lukisan Walunateng Dirah dengan teknik gelap terang itu.
Karena pada lukisan sebelumnya ia telah memajang lukisan Ratna Manggalih—anak dari Walunateng Dirah dengan teknik berwarna, pada pameran satu tahun yang lalu.
Lukisan “Hiruk Pikuk” di kanvas ukuran 80 X 100 cm, karya Putu Krisna | Foto: tatkala.co/Son
Melalui pameran “Bebas Desain: Mozaik Asyik 2024” ini, Ayu Astina Dewi sangat kuat ingin menyampaikan sesuatu tentang dirinya sebagai pelukis muda perempuan Bali.
Hal itu juga tercitrakan melalui gambar dan corak beberapa rerajahan yang ia buat dan dipamerkan di laman instagramnya @astinadw.
Kemudian lukisan realis tentang alam—yang juga ditampilkannya di media sosial sama, sedikitnya menjelaskan tentang kemampuannya sebagai seniman. Dan memang, ia adalah seniman—yang berbakat.
Tengoklah laman media sosialnya. Sesekali ia juga membuka jasa melukis wajah dengan teknik arsir, atau membubuhkan warna jika Anda berminat memesan, DM-lah.
Sementara di tembok yang tak jauh dari pintu masuk ruang pameran, lukisan “Hiruk Pikuk” di kanvas ukuran 80 X 100 cm, karya Putu Krisna itu juga tak kalah menyedot perhatian.
Berbeda dengan Astina, lukisan Hiruk Pikuk memiliki pewarnaan yang kuat, dengan beberapa simbol di dalamnya juga terlihat menonjol, kalau boleh dikatakan, barangkali menyenggol suasana pesta pilkada sekarang.
Dari banyaknya janji-janji yang berterbangan akhir-akhir ini di kota atau pelosok desa, Putu Krisna barangkali telah menyapunya dengan kuas.
“Tujuan utama—terciptanya lukisan ini, adalah (suasana) Pilkada ini. Saya ingin visualkan makna dari, apa yang sebenarnya terjadi pada pilkada Bali ini, gitu. Kalo dilihat, sih, semakin ke belakang pesta demokrasi di Bali ini, kan, para tokoh maupun para calon-calon itu semakin gila menyuarakkan janjinya itu,” jelas Putu Krisna.
Karya instalasi dan patung | Foto: tatkala.co/Son
Pada Pilkada tahun ini, Putu Krisna merasakan kebimbangan—sangat kuat, dan kuasnya mengeluarkan kebimbangan itu melalui kanvas dengan pewarnaan yang kontras melalui teknik impres. Tidak terlalu realis, tidak terlalu abstrak.
Ada beberapa simbol menohok yang ia tuangkan di dalam lukisannya. Seperti dua calon sedang orasi—janji, dengan bayangan hitam kursi kekuasaan. Kemudian pesawat (mempresentasikan bandara), lalu lintas, sampah, dan seorang penari yang sedang tutup telinga.
“Kekhawatiran pertama—tentang janji-janji itu, apakah yang dijanjikan terkait budaya dan seni, misalnya, terus kenyamanan Bali melalui pembangunan, terus perihal macet dan sampah-sampah, itu akan terwujud betulan kearah yang lebih nyata baiknya?” kata Ketut Krisna, mempertanyakan itu melalui lukisannya, dan saya tak mampu menjawab. Semoga ada jawaban yang baik yah Krisna…[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole