ARSY ingat betul kata-kata Ratri, saat mereka masih kuliah manajemen. Kali ini, mereka sedang mengikuti seminar tentang manajemen. Mungkin bagi orang awam, hal ini hanya sia-sia dan kurang efektif. Namun bagi Arsy, ini sangat penting untuk jenjang karirnya. Memang sebetulnya, buku-buku tentang manajemen sangat banyak diperjual-belikan di toko buku. Namun Arsy memang bukan kutu buku, yang mampu menghabiskan berjam-jam waktunya, hanya demi membaca buku.
Seperti biasa, malam minggu bagi Arsy tidak ada yang istimewa, selain duduk di hadapan laptop dan bermain game. Terkadang ia menonton TV, hingga tak terasa sudah tertidur. Tapi malam ini, kenapa tiba-tiba perasaannya sedikit berbeda. Kenapa dia merasa gugup, dan sama sekali tidak tahu apa penyebabnya. Sejenak tiba-tiba ponselnya berdering.
“Keluar yuk.”
“Mau kemana?”
“Biasalah….kita cari angin. Aku lagi jenuh di rumah.”
“Memang suami kamu kemana?”
“Terus kita mau kemana?”
“Ah, sudahlah…tidak usah pakai banyak tanya. Pokoknya setengah jam lagi aku sampai di rumahmu.”
“Dasar Ratri!” umpat Arsy dalam hatinya.
Entah kenapa, Arsy juga merasa bahagia bisa melepaskan suntuknya. Bayangkan pekerjaan rutin yang dikerjakannya tiap hari. Sepertinya sudah tidak ada lagi waktu untuk membahagiakan atau menghibur dirinya. Tanpa disadarinya, usianya mulai beranjak makin tua. Ratri teman akrabnya sejak SMA, sudah berumah tangga. Lantas apa Arsy hanya berdiam diri dan menunggu jodoh datang sendiri. Rasanya tidak mungkin!?
Mobil Ratri meluncur meninggalkan rumah Arsy. Laju mobil itu seakan menembus pekat malam di antara kelap-kelip lampu jalanan. Angin pun menusuk lewat jendela mobil. Hembusan itu bagaikan aroma rindu, yang entah kemana berlari. Di antara angin liar itu, seperti ada nada gelisah yang mampir di telinga Arsy. “Kenapa engkau tutup hatimu? Bukankah engkau merindukan seorang kekasih?”
“Kamu, kok diam saja Arsy?”
“Tidak, kok.” Balas Arsy
Ratri yang dulu pernah mengalami hal seperti itu, seakan bisa membaca keresahan hati sahabatnya ini. Orang yang belum memiliki pacar, sering gelisah. Mimik Arsy kelihatan seperti memendam sebuah kerinduan asmara. Ratri sebetulnya kasihan, karena nasib sahabatnya ini sangat jauh berbeda dengan dirinya. Sejak kegagalan Arsy bersama kekasihnya, hati Arsy seperti tertutup untuk laki-laki.
“Kita nikmati saja hidup ini.” Akhirnya Ratri coba menghibur Arsy dengan mengalihkan pembicaraan.
Tak terasa mobil yang dikendarai Ratri masuk ke pelataran parkir sebuah rumah makan. Tak ingin kehilangan momen malam minggu, Arsy pun tak memikirkan persoalan masa lalu. Ia harus menikmati hidup ini, sudah lama ia tidak keluar rumah untuk menikmati malam minggu. Meski malam minggu ini hanya sekedar mencari makan. Hidup memang bagaikan irama musik, akhirnya akan tersudahi.
“Jadi aku ajak kamu makan, habis itu kita pulang dan kamu nginap di rumahku.”
“Iih… biasa kamu, pasti ada maunya.”
Mereka betul-betul menikmati malam minggu ini. Arsy yang tadinya kelihatan galau, berubah seratus delapan puluh derajat. Senyumnya mengalir bagai bunga mawar yang merekah. Keindahan bunga mawar ketika dipetik dan dicium aromanya. Arsy bagaikan terlepas dari segala beban dan rutinitas setiap hari. Pagi berangkat kerja, lalu pulang sampai sore, kadang malam, tak pernah memikirkan bagaimana tubuhnya juga sudah terlalu penat.
Sambil mengobrol di kamar, Ratri memutar sinetron religi kesukaannya, sangat pas dengan kehidupan mereka. Dari film ini, Ratri banyak belajar untuk menjadi istri yang baik. Meski sangat tidak mudah menjadi istri seperti dalam sinetron religi. Berbanding terbalik dengan Arsy yang sangat disiplin dalam beribadah. Memang, hanya nasib mereka saja yang berbeda.
“Arsy, aku bisa melakukan tugas-tugas perusahaan, karena aku banyak belajar dari film ini. Arsy, kamu lihat di film itu, bagaimana sang sekretaris mengatur jadwal kerja pengusaha besar, tetapi begitu taat dengan suaminya. Itu super banget dan keren. Wanita karir, kebanyakan mendambakan jabatan sebagai sekretaris. Dan aku pikir kamu juga mampu melakukannya.”
Dalam benak Arsy, ada betulnya omongan sahabatnya ini. Apa yang membedakan bagi mereka. Itu cuma soal nasib saja. Orang harus berani mengubah nasibnya. Ratri dan Arsy sejak dulu bersama. Sama-sama juga bertitel sarjana, dan bekerja satu kantor. Tetapi apakah mungkin Arsy bisa menduduki jabatan yang kini dipegang Ratri sebagai sekretaris direksi? Pikiran Arsy mulai dipenuhi oleh sebuah ambisi. Semua orang pasti mampu, jika ingin berusaha dan banyak belajar.
“Eh, Arsy…kamu luar biasa banget. Aku tidak menyangka penampilan kamu kayak seorang bidadari, meski dengan pakaian berhijab.” Tanpa sengaja, suatu ketika Ratri dan Arsy bertemu di lobi kantor. Arsy hanya tersenyum, ia menyadari ternyata penampilan juga bisa membuat orang lain jadi kagum. Bahkan karena penampilannya itu, Arsy sempat digoda temannya.
Arsy memang tidak bergeming, masih begitu sulit ia melupakan Reza, lelaki yang dicintainya. Dan sebagai seorang karyawan memang harus lebih profesional, menyingkirkan hal-hal yang sifatnya pribadi.
Beberapa minggu kemudian, Ratri menghubungi Arsy. Sepertinya ada yang penting dan sangat serius.
“Arsy, nanti kamu gantikan aku sebagai sekretaris direksi. Aku ditugaskan untuk menggantikan direktur perusahaan yang ada di Singapura.” Bagai disambar petir, Arsy seakan tidak percaya dengan berita ini. Tapi, dari nada bicara Ratri kelihatan sangat serius. Arsy sebetulnya ingin membantah, kenapa harus dirinya. Tetapi seketika itu juga batinnya membantah. Bukankah Arsy juga punya cita-cita untuk menduduki jabatan sekretaris?
“Direktur di Singapura, Liem Wiraguna, tiga hari lalu meninggal, karena kecelakaan pesawat. Perusahaan tidak mau membiarkan jabatan itu kosong cukup lama. Aku tadi dihubungi pemilik perusahaan untuk mengisi posisi itu. Dan aku merekomendasikan kamu, untuk mengganti posisiku disini.” Arsy hanya mampu mendengarkan, tak mampu berkata-kata atau membantah ucapan Ratri. Akhirnya, setelah agak tenang, Arsy berkata singkat ke Ratri.
“Oh, iya Ratri….. selamat ya, kamu memang perempuan hebat. Kamu pantas jadi direktur.”
Sejak saat itu, Arsy mulai berkonsentrasi untuk mempersiapkan diri sebagai sekretaris direksi. Baginya, ia dan Ratri sama. Arsy juga sarjana, lulusan kampus yang sama dengan Ratri. Lantas, apa yang menghalangi dirinya untuk membuktikan bahwa ia juga mampu.
Seminggu sejak keberangkatan Ratri ke Singapura, Arsy belum berani memasuki ruangan kerja yang ditinggalkan Ratri. Hingga akhirnya, Ratri menghubungi Arsy.
“Kamu kok tidak masuk kerja. Tadi aku ditelpon presiden direktur, posisiku belum ada yang isi. Kamu kan sudah aku rekomendasikan.”
“eee…. Iya.” Arsy tergagap dan entah mau ngomong bagaimana. Mulutnya terkatup, seakan tanpa keberanian.
Tanpa pikir panjang, keesokan harinya, Arsy mulai memasuki ruangan kerja sekretaris direksi. Arsy begitu kaget, karena ternyata di ruangan itu sudah ada seseorang perempuan, yang duduk di kursi kerja. Perempuan itu tak lain, Nikita. Perempuan yang sering memantik keributan di kantor, tetapi dia selalu berlindung di balik Manajer Personalia. Mungkin saja mereka ada hubungan khusus..
Arsy akhirnya memilih kembali pada posisi semula. Ada rasa curiga, jangan-jangan Ratri hanya berbasa-basi padanya. Sejak saat itu Arsy tidak berusaha menghubungi Ratri. Begitu pula sebaliknya, Ratri tidak pernah menghubungi Arsy. tetapi ini bisa dimaklumi, karena jabatan baru yang dipegang Ratri, begitu penting. Mungkin tidak ada lagi waktu untuk sekedar santai. Apalagi Ratri juga sudah berada di Singapura.
Arsy tidak mau larut dalam kesedihannya, ia tetap bekerja sesuai dengan tanggung-jawabnya. Ia begitu yakin, jika suatu saat itu menjadi miliknya, pasti akan kembali. Lagi-lagi batinnya seakan membantah. Kodrat sebagai perempuan lemah tidak lepas dari dirinya, saat salat, Arsy sering menangis. Tetapi apakah bukan sebuah nafsu, jika ia tetap menginginkan menjadi seorang sekretaris. Siang-malam perang batin terus bergolak di dadanya. Tetapi saat ia sadar, mulutnya bergumam: “astaghfirullah.”
Sejak sekretaris direksi diduduki oleh Nikita, ada banyak masalah yang muncul. Beberapa tender besar perusahaan gagal. Nikita tidak mampu bekerja seperti Ratri.
Tidak ada ampun bagi Nikita, ia dipecat dari perusahaan dan segera digantikan oleh Arsy. Betapa gembiranya Arsy, apa yang ada di benaknya selama ini ternyata salah. Ia telah memvonis sahabatnya sendiri, Ratri, dengan prasangka yang salah.
Kini Arsy bukan lagi perempuan lemah yang hanya bisa berpasrah menerima kodratnya sebagai perempuan. Arsy telah menjadi perempuan tegar, kokoh, kuat dan enerjik. Arsy tidak mau mengkhianati perasaan sahabatnya, Ratri. Ia bisa menduduki jabatan ini, semua berkat pertolongan Ratri. Bagaimana jika seandainya, Ratri kembali lagi ke Jakarta dan kembali menempati jabatan yang kini diisi Arsy?
“Aku tidak mau mengkhianati persahabatanku dengan Ratri.” Itu yang melintas dalam benaknya.
“Apakah ini sebuah ambisi? Entah..” Hati Arsy seakan penuh pertentangan. [T]