DI AKHIR jaman banyak sekali dewa-dewi yang turun menitis ke bumi mayapada. Selain Mahadewa yang menitis menjadi gajah yang simbolik, yang tak pernah sepenuh seluruh bisa digambarkan oleh orang-orang yang buta, dewa-dewi itu menitis tidak saja menjadi orang hebat, dan terpandang, juga menjadi bintang, tumbuh-tumbuhan atau gunung, hutan bahkan batu dan debu.
Mahadewa menitis menjadi gajah? Dewa-dewi di sorga itu masih tak paham kenapa Mahadewa, junjungan para Dewa itu memilih menjadi gajah. Kenapa juga putra Mahadewa disimbolkan berkepala gajah? Sosok bertubuh manusia dan berkepala gajah bernama Ganesha itu bahkan dianggap sebagai manisfestasi Tuhan atau Mahadewa itu sendiri.
Berbagai pertanyaan menjadi teka-teki tak terjawab bagi penghuni sorga, Para apsara dan apsari hanya bisa bergosip dengan berbisik- bisik, sambil membidik-bidik jawaban yang mungkin tersimpan dalam lirik lagu yang dinyanyikan Naradha.
“Gajah adalah binatang besar, dengan kekuatan besar, yang memiliki ketenangan juga kebijaksanaan.”
Dewa Indra mencoba memberi gambaran untuk memancing logika berpikir para Apsara-Apsari itu. Tapi tampaknya tak berhasil.
Apsara-Apsari itu, laki maupun perempuan tetap dengan kebiasaannya, ribet dengan penampilan, dari jenis warna kain, bentuk dan gaya busana, perhiasan, rias wajah, memutihkan kulit yang hitam dan menghitamkan kulit yang terlalu putihlah, memancungkan hidung menyulam alis, memakai rambut palsu, bulu mata palsu, kuku palsu, bahkan sampai payudara dan pantat palsu.
“Bagaimana mereka bisa membantuku berperang di mayapada duhhh,” keluh Dewa Indra sambil membuang nafas panjang. Senjata petir di tangannya berkilat-kilat, memberi warna dan cahaya indah di sorgaloka.
Bukannya takut, Apsara-Apsari itu malah sibuk berswafoto dengan gaya dan foto menantang.
Seorang Apsari malah mendekat dan berusaha menyentuh kilatan petir yang berpendar dari tangan kiri Dewa Indra. Apsara-Apasari yang lain bersorak riuh, seolah menyambut seorang pahlawan hebat dan mereka baru tersentak kaget saat tubuh temannya terbakar hangus. Yang tersisa akhirnya hanya tangis, dan kata-kata penyesalan yang mubazir, karena esoknya dan esoknya lagi mereka akan tetap mengulangi lagi kesalahan yang sama,, walau dalam bentuk dan jenis yang berbeda.
“Gajah tetaplah seekor bintang yang seberapapun besar dan tingginya tetaplah mahluk yang terbatas, ada ujung dan pangkalnya, prilaku, energi dan kekuatannya bisa, dipelajari, dianalisa untuk kemudian dapat diperkirakan kesimpulannya,” nyanyian riang Naradha seperti memberi kisi-kisi kepada pendengarnya.
Para Apsara-Apsari, Bidadari dan Bidadara, terpaku, memandang Rsi Naradha dengan lugu. Ingat kembali pada yang ingin mereka tahu.
Mereka kembali mencari-cari, kesana-sini untuk dapatkan refrensi. Mengumpulkan tulisan dan data tentang gajah, mengklipingnya, membingkainya, membagikannya di media sosial, dan setiap saat mengecek komentar dan menghitung tanda like untuk unggahannya sambil senyum-senyum sendiri.
“Mahadewa memang aneh. Coba kalau di alam manusia ada yang lahir dengan kepala gajah, bertelinga lebar dan berbelalai, pasti dianggap cacat, dan mencemari lingkungan sehingga para suci yang merasa punya hubungan pribadi dengan para dewa akan meminta dibuatkan upacara besar, sebesar-besarnya karena dinilai mencemari bumi,, semesta, tidak hanya memberi vibrasi buruk pada manusia, tapi juga mencemari tanah yang menyangga tubuhnya, air, api, udara dan ruang kosong yang menjadi satu kesatuan dengan jagat besar, makrokosmos, jasmani dan rohani. Anehnya Mahadewa tidak menegur para suci yang telah mencatut namanya untuk memperdaya orang-orang polos dan tak berdaya, ” kata seorang Apsara berapi-api.
“Sstt… Mahadewa menyukai gajah mungkin karena bertelinga besar dan lebar, sehingga daya dan jangkauan pendengarannya juga kuat dan peka, jangan-jangan…. “
Apsara itu tak melanjutkan kata-katanya, wajahnya terlihat khawatir. Apsara-Apsari lain penasaran. Salah satu Apsari tersenyum manja sambil menggoda Dewa-Dewa.
“Jangan-jangan apa? Jangan-jangan Gajah Mahadewa yang sudah turun ke bumi mendengar gosip kita yang makin digosok makin sip hihihi. Jangan khawatir, yang bisa dan bertahan menjadi Dewa karena telah teruji kesucian dan kebijaksanaannya. Kalau cepat tersinggung yahhh namanya tinggal disisipi na aja, jadi denawa deh,” kata Apsari yang paling cantik itu sambil melirik ke sana-sini seperti penari joged yang hendak mencari pengibing.
Naradha tersenyum, Apsari cantik tinggi semampai berkulit putih bersih bak susu itu memang paling cerdik diantara yang lain.
Dewa Indra semakin tak tahan melihat prilaku Apsara-Apsari pembantunya. Naradha mengerling jenaka, pancaran sinar matanya mengurai petir yang muncul dari tangan kiri Dewa Indra yang kesal. Petir itu pecah menjadi material padat kecil yang jatuh menyatu ke tansh, menjadi air jernih yang turun dan mengalir mengisi kerendahan, menjadi api yang membumbung ke atas, dan menjadi angin yang meruang.
Para Dewa terkesima, menyadari daya penetralisir Dewa Rsi sepuh itu.
“Kuncinya adalah ganesha, gana isa, kekuatan esha kekuatan yang satukan.” Naradha bernyanyi riang dan jenaka, irama lagunya lucu ditimpa gelincing gelang kaki dan tangannya. Ia berjoged dengan Apsari cantik sembari masuk di sela-sela kerumunan Apsara-Apsari dan Dewa-Dewi.
Dewa-Dewi jadi ikut berdiskusi semangat, merasa ingat. Dewa Brahma mengumpulkan pembantu-pembantunya, membisikan sesuatu. Merasa menemukan cara yang jitu.
“Ayo kita ciptakan sesuatu, kuncinya satu, keyakinan itu,” perintah Dewa Brahma pelan, matanya awas, seperti takut pengetahuannya dicuri Dewa yang lain. Apsara-Apsari pembantunya mamggut-manggut.
Terdengar gumam, makin lama makin besar gaungnya. Dewa Brahma mengajak para pembantunya membuat mantra-mantra pemujaan untuk Ganesha. Dewa Agni tak mau kalah, dengan pande-pande sorgaloka ia ciptakan berbagai senjata.
Dewa Wisnu tersenyum manis, dengan kehalusan perasaannya ia membuat patung dan lukisan Ganesha yang indah, berjiwa. Dewa-dewa yang lain tak mau kalah,, mereka membuat berbagai bentuk persembahan untuk memuja Ganesha, para apsara-apsari juga ikut sibuk, menari, membuat kalungan bunga, menyiapkan susu dan berbagai hidangan.
Sorgloka jadi meriah, seperti sedang ada festival besar. Dewa-dewi, Apsara-Apsari tampak sibuk, dan bersemangat.
Apsari cantik tersenyum, mengerling genit pada Rsi Naradha, matanya yang bulat berputar-putar, merasa ada yang aneh dan lucu. Rsi Naradha tersenyum puas.
Tiba-tiba terdengar bunyi Sangkakala, huu huuu…..
“Ada kekuatan jahat yang maha besar sedang menyerang sorgaloka., ” lapor para penjaga.
Sorga tiba-tiba gelap. Dewa-Dewi, Apsara-Apsari diam, suasana hening, sepi Semuanya kusyuk, perlahan tubuh Dewa Dewi Apsara-Apsari memendar cahaya terang, makin lama makin terang, memenuhi sorga juga teepancar ke mayapada.
“Dengan menyatukan kekuatan kita bisa lakukan apa saja, dengan kekuatan Tuhan kita bisa hadapi segalanya,” suara hati Dewa Dewi menyebar ke hati Apsara-Apsari, meresap dan memenuhi relung-relung jiwa yang murni.[T]