Di hadapan cermin besar di kamarnya, seusai mandi, Dayu Inten melepas handuk yang meliliti tubuhnya. Dan, ia seperti kagum sendiri, tiba-tiba sepasang payudara subur menguasai bayangan di cermin.
Memang banyak orang mengagumi ukuran payudaranya yang mencolok dengan bentuk sangat indah, dan menggugah siapa saja yang melihatnya. Bukan saja menggugah bagi para lelaki, bahkan ia sendiri mengakui keindahan miliknya itu.
Ia menatap sepasang payudara itu beberapa saat.
“Memang indah!” batinnya. “Tapi untuk siapa?” Hatinya resah.
Matanya menyusuri tubuhnya pada cermin, ke bawah, dan tampaklah perutnya yang tak berlemak. Keresahannya semakin menjadi-jadi saat memandangi organ bagian bawah perutnya. Bagian yang suci.
“Dayu, jangan lupa sarapan ya!” suara ibunya, Ratu Biang, terdengar nyaring dari ruang belakang. Meski sudah berusia hampir 35 tahun, Dayu Inten tetap diperlakukan seperti anak-anak. Penuh rasa sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya.
“Nggih, Biang,” jawabnya dingin.
Ia mulai memahami, perhatian yang lekat dari kedua orang tuanya telah memisahkan ia dari kebebasan. Padahal ia seorang guru sekolah dasar yang pernah kuliah di kota, dan telah mendapatkan banyak pelajaran dari begitu banyak pandangan-pandangan hidup modern dan egaliter yang diperolehnya dari pergaulan maupun buku-buku yang dibacanya.
Ia buru-buru membaluti tubuh indahnya dengan setelan endek lasem. Ia kemuidan memandangi wajah cantiknya dengan make up sekadarnya. Endek lasem merah marun yang terkesan berwarna suram justru menegaskan kulitnya yang halus kuning langsat. Sementara bedak dan gincu tak lebih dari sebuah formalitas. Wajah dan tubuhnya terlampau sempurna. Yang terjaga masih asli dibayangi gundah yang menggelantung kian berat.
Ia melahap sarapannya dengan terburu-buru, masakan ibunya yang selalu menggugah selera. Ia tak sabar bertemu Dayu Mirah, rekan sekerjanya sesama guru di sekolah.
“Biang, Dayu berangkat nggih!” Ia berlalu begitu saja tanpa merasa perlu beradu pandang dengan ibunya. Ratu Biang sedikit pun tak mereken sikap anaknya yang setiap hari seperti itu. Ia dan suaminya, Ratu Aji, tak hirau dengan sikap seperti itu,karena yang penting mereka sudah merasa bahagia dan terhormat dengan sepenuhnya menyayangi anak semata wayangnya dan tak nyerod diperistri orang biasa atau orang jaba. Namun sampai kapan, mereka akan bersabar?
***
“Mirah, kamu beruntung sekali mendapat suami semeton ida bagus!” kata Dayu Inten ketika ia bertemu Dayu Mirah. Ketimbang sebuah ucapan selamat, kata-katanya lebih terasa sebagai penyesalan.
Dayu Mirah memicingkan matanya dan tersenyum ke arah Dayu Inten. Mereka duduk berhadapan di kantin sekolah, sama-sama menyeruput kopi. Mereka sengaja tak ngopi di rumah, agar bisa ngobrol di kantin sekolah, sejak satu jam sebelum jam kelas dimulai. Satu jam bagi mereka seakan cuma 10 menit. Keduanya berteman sejak kanak-kanak, sama-sama kuliah pendidikan guru SD dan kini berjodoh mengajar di sekolah yang sama. Tidak seperti Dayu Inten yang cantik feminim, Dayu Mirah lebih tomboy dan cuek.
“Inten!” seru Dayu Mirah. “Kamu sudah pikun ya? Berapa kali aku sudah curhat sama kamu, pacarku yang orang jaba itu selingkuh sama perempuan lain!” kata Dayu Mirah dengan raut muka yang kini menjadi sedih.
Dayu Inten kini yang justru tersenyum nakal. Suskes mengusili si tomboy. Jika saja tak berkhianat, laki-laki itu pasti sudah menjadi suami Dayu Mirah. Tentu saja Dayu Mirah akan nyerod atau jatuh menjadi seorang jaba karena dipersunting oleh lelaki tak berkasta.
Meski bukan orang berkasta atau menak, keluarga Dayu Mirah menerima dengan baik hubungan mereka. Berbeda dengan keluarga Dayu Inten yang masih sangat fanatik terhadap silsilah keturunan, keluarga Dayu Mirah jauh lebih terbuka.
Ibu Dayu Mirah sendiri dipanggil Jro Biang, sebutan untuk wanita biasa yang diperistri oleh orang berkasta atau menak. Karena ia memang berasal dari keluarga tak berkasta.
“Tapi kamu tetap saja beruntung. Beruntung tunanganmu yang jaba itu berselingkuh, sekarang kamu dapat semeton!” Dayu Inten terus membahas kehidupan rekannya seakan ia sendiri tak punya kehidupan.
“Tapi aku mencintainya, Inten! Kalau saja ia tak berselingkuh,” bisik Dayu Mirah. Kopi latte kegemarannya sekarang terasa pahit saat disesap.
“Betul juga ya, setiap orang punya masalah.” Dayu Inten mengangguk pelan, kini keduanya sedih.
“Eh, cowok itu bagaimana? Yang kamu sering ceritakan itu?” Si tomboy diam-diam telah memindahkan peran.
“Segalanya sempurna. Ajik dan Biang juga bilang demikian. Masalahnya cuma satu, namun fatal. Ia orang jaba!” kalimatnya lirih.
“Kamu takut? Pilih saja jalanmu, mereka pasti mengerti pada akhirnya. Memangnya mereka mau jika mereka sudah meninggal, kamu menjadi da tua?” kata Dayu Mirah. Nadanya tajam memicu tekad.
Namun Dayu Inten tak membalas, tak berdaya, hanya ada desah nafas dan genangan air mata di kedua kelopak matanya.
Bel sekolah tiba-tiba berbunyi menyadarkan mereka dari pagi yang hangat namun kaku.
***
Ketegangan malam itu tak terelakkan. Dayu Inten dan kedua orang tuanya duduk kaku, melingkar mengelilingi meja makan yang terbuat dari kayu jati.
“Biang sama Ajik sudah sangat bersabar lho dengan sikapmu itu!” kata ibunya, Ratu Biang. Nada bicara ibunya tegas, khas konservatif, cenderung mengatur. Wajah ayahnya datar berwibawa. Sesungguhnya, kelebihan fisik Dayu Inten, tak bisa dipungkiri telah diwarisi dari kedua orang tuanya itu.
“Bukannya Biang dan Ajik sudah cukup senang dengan tiang tidak nyerod?” kata Dayu Inten. Ada perlawanan dari jawaban yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan itu. Sebuah retorik.
“Kamu kuliah tinggi-tinggi untuk apa? Agar kamu paham dan menjaga tradisi keluarga ini. Bukannya sok modern yang bikin keluarga kehilangan muka!” Ratu Biang tetap memimpin situasi. Ratu Aji sejauh ini merasa cukup mendukung istrinya dari dalam hatinya saja.
“Jika kamu mau lebih sabar, Dayu bisa dapat semeton seperti biang. Itu buktinya, Mirah dapat juga suami yang sesuai, sesama brahmana!” Kali ini nada bicara Ratu Biang lebih lembut, rasa sayangnya memang tak pernah bisa dipungkiri kepada anak satu-satunya itu.
“Biang, Mirah putus sama pacarnya yang jaba itu karena pacarnya itu selingkuh, bukan karena ajik biang-nya yang gak setuju!” kata Dayu Inten dengan suara agak keras.
Kali ini ajiknya memotong, “Nah itu, kamu tahu sendiri, kelakuan lelaki yang gak tahu diri. Sudah diterima oleh keluarga berkasta, malah kurang ajar!”
“Maaf ya, Ajik, Biang, harus diketahui Mirah itu bersaudara empat. Semuanya sudah menikah. Kakaknya yang kedua menikah dengan wanita biasa. Suami adiknya yang bungsu juga orang jaba. Bahkan ia sudah melepas nama ida ayu-nya. Mereka semua baik-baik saja kok!” Dayu Inten melawan, seakan menangkap maksud kata-kata ayahnya.
“Inten, kamu harus menjaga darah keturunanmu tetap terhormat. Itu demi nama baikmu sendiri dan keluarga kita!” Ratu Biang kembali memberi perintah.
“Biang tahu, berapa banyak dayu di desa kita yang menjadi da tua karena tradisi kolot seperti ini? Coba sekali-sekali biang hitung. Tak semua nasibnya seberuntung Biang, lho! Jika orang tuanya telah meninggal, di mana mereka bersandar?” pekik Dayu Inten kemudian meninggalkan kedua orang tuanya. Ia melenggang ke kamar, meratapi ironi kasih sayang orang tuanya yang telah mengekang kehidupannya.
***
Sebuah kejutan yang tak pernah ia bayangkan seumur hidupnya. Ratu Aji dan Ratu Biang menerima dengan baik kekasihnya yang memang baru pertama kali berkunjung ke griya. Lebih mengherankan lagi, karena Dayu Inten pun tak pernah diberitahu oleh pacarnya itu kalau pacarnya itu akan datang. Selama ini mereka hanya berhubungan melalui telepon atau sesekali bertemu di tempat umum dalam waktu yang sangat singkat. Semacam cinta platonik.
Benar-benar sulit percaya dengan apa yang telah ia saksikan. Apakah ini semua karena perdebatan malam itu? Apakah sejak kejadian itu, kedua orang tuanya kemudian berusaha memahami perasaan anaknya dan menerima cara pandang hidup yang lebih modern? Yang jelas, mereka bercakap-cakap hangat, menikmati teh dan kue-kue buatan ibunya yang sangat pintar memasak.
Lelaki pujaannya menyerahkan sebuah bingkisan untuk kedua orang tuanya sebagai bentuk rasa hormat dan setangkai bunga mawar merah muda, masih sangat segar dan wangi untuknya. Peristiwa hangat itu berlangsung begitu cair dan cepat.
Tiba-tiba sepasang kekasih yang dimabuk asmara itu telah berada di dalam kamar Dayu Inten yang temaram. Kini, telah ada yang memilikinya, memeluk tubuhnya yang indah, menciumi bibirnya yang merekah tanpa gincu. Terasa belaian lembut dan membangkitkan hasrat pada kedua payudara yang selama ini dikagumi orang namun tak ada yang memilikinya.
Lalu, usapan tangan kekasihnya terasa lama diatas rahimnya. Usapan yang sedemikian membuatnya tegang. Tiba-tiba, pikirannya melayang kepada rahim-rahim kelu dari begitu banyak wanita yang senasib dengannya, terhalang tradisi untuk memperoleh pasangan yang dicintai. Ia ingin berteriak bahagia, saat pintu kamarnya diketuk cukup keras dan membangunkan tidurnya dari mimpi yang dalam.
“Dayu, bangun! Sudah siang, nanti kamu terlambat ke sekolah. Sarapan sudah dari tadi biang siapkan.”
“Nggih, Biang!”Sekuat tenaga ia melompat ke kamar mandi.
***
Dayu Inten melepas handuk yang meliliti tubuhnya. Di depan cermin besar, sepasang payudaranya kian ranum mendamba.[T]
Keterangan:
- Dayu atau Ida Ayu: sebutan atau panggilan untuk gadis/perempuan dari kalangan Brahmana
- Ratu Biang: sebutan/panggilan untuk ibu dari kalangan Brahmana
- Ratu Aji: sebutan/panggilan untuk ayah dari kalangan Brahmana
- Biang: Ibu
- Ajik: Ayah
- Nyerod: istilah untuk perempuan Brahmana yang menikah dengan lelaki dari kalangan sudra
- Jaba: sudra
- Da tua: perawan tua
- menak : sebuatan untuk orang berkasta (di luar sudra/jaba)
_____