Cerpen IDK Raka Kusuma
I Dewa Manguri, dikawal empat orang prajurit berdiri di Pantai Kelingking. Keris terhunus di tangan kanannya. Sedepa di depannya, seorang lelaki tanpa senjata, berdiri dengan kaki mengangkang. Telapak kakinya keras terhujam pada pasir.
Angin sasih karo membuat rambut I Dewa Manguri melambai. Begitu pula rambut lelaki yang berdiri di depannya. Karena berada di tempat ketinggian, ombak samudera yang berlarian ke pantai Kelingking tak mencapai pasir tempat telapak kaki mereka berpijak.
Lama kebisuan membentang diantara mereka. Kebisuan pecah oleh pertanyaan yang diajukan oleh lelaki itu.
“Atas dasar apa titiang dibunuh?”
“Atas dasar perintah raja,” I Dewa Manguri menjawab.
“Perintah raja?”
“Ya”
“Tunjukkan pada titiang.”
I Dewa Manguri, dari balik kain di dadanya mengeluarkan selembar lontar pendek. Lontar itu diserahkan. Lelaki itu mengambil langsung membaca.
“Kesalahan titiang tidak ditulis dalam lontar ini,” kata lelaki itu sambil menyerahkan kepada I Dewa Manguri, “Mengapa tiiang dibunuh?”
“Tiang hanya menjalankan titah raja.”
“Walaupun titah itu titah yang salah?”
“Menurut Jero titah raja ini salah. Menurut saya tidak.”
“Tidak?”
“Ya”
“Mengapa?”
“Taat perintah kewajiban utama seorang kepala balawadwa.”
“Seorang kepala balawadwa kerajaan, seharusnya cerdas dan berani.”
“Maksud Jero?”
“Cerdas mendalami perintah raja. Terutama mendalami kebenaran perintah itu. Berani menentang perintah raja yang salah.”
“Jero tahu, akibat yang diterima seorang kepala balawadwa kerajaan yang berani menentang dan tidak melaksanakan perintah raja?”
Tanpa memberi kesempatan, I Dewa Manguri menjawab pertanyaan yang diucapkannya.
“Seluruh keluarga ditumpas habis. Seluruh harta kekayaan diambil kerajaan.”
“Baiklah,” lelaki itu berkata. “Sebelum dibunuh izinkan titiang mengucapkan sesuatu”.
“Baiklah. Asal jangan minta tiang membatalkan membunuh. Atau melepaskan Jero pergi dari sini.”
“Titiang tidak serendah itu Jero. Titiang tahu, bila raja mengetahui titiang masih hidup, selain keluarga Jero keluarga titiang juga akan ditumpas habis.”
“Silakan ucapkan kata-kata terakhir Jero.”
Lelaki itu, tiba-tiba menghadapkan dirinya ke arah laut yang gemuruh. Bersila. Mencakupkan tangannya di kepala. Berdiri. Menghadapkan dirinya ke arah I Dewa Manguri berada dengan suara keras melepaskan kata-kata. Saking keras sampai tubuhnya bergetar.
“Disaksikan Dewa Baruna, disaksikan Dewa Surya, inilah kutukanku. Semua keturunan Raja. Seluruh keturunan yang membunuh tiang hari ini. Bila datang kemari, ke Pantai Klingking diseret ombak ke dasar laut. Jenazahnya tak akan ditemukan sampai kapanpun. Demikian juga seluruh keluarga raja dan seluruh keluarga yang membunuh titiang hari ini. Bila berkunjung kemari nasibnya sama!”
Peristiwa eksekusi itu adalah cerita masa lalu. Cerita yang disampaikan mendiang ayah, seminggu sebelum meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Disampaikan kepadaku, adikku yang kedua, adikku yang ketiga dan adikku yang keempat.
I Dewa Manguri adalah leluhur yang menurunkan kami. Sampai kini sudah sembilan generasi. Karena itu, ayah memberiku amanat sebagai anak sulung menyampaikan pesan yang sudah disampaikan turun-temurun.
“Walaupun Pantai Kelingking berada di Nusa Penida. Walau jauh dari sini. Beritahu anak-anak dan keluarga yang satu Dadia dengan kita. Bila ke Nusa Penida agar tidak ke Pantai Kelingking. Kutukan tidak bisa dilawan tetapi bisa dihindari. Semoga tidak ada yang ditimpa kutukan. Semoga semua lepas dari kutukan. Semoga Betara Kawitan melindungi kita.”
Pesan agar dijauhkan dari kutukan ini harus kusampaikan kepada keponakanku. Putra sulung adikku yang kedua. Seorang doktor sejarah. Seorang dosen di Universitas Gajah Mada. Yang menelepon ayahnya, mengatakan lagi lima hari akan ke Nusa Penida sekaligus ke Pantai Kelingking.
Walaupun diberikan amanat oleh ayah, karena anaknya kuminta adikku yang kedua menyampaikan. Setelah lama tarik ulur dalam perdebatan, aku menyanggupi asal adikku yang kedua mau menyampaikan dengan jujur mengapa tidak mau memberi tahu pesan mendiang ayah langsung kepada anaknya.
Tanpa menutup-nutupi ia sampaikan latar belakang penyebab tak mau memberi tahu anaknya.
“Putu, anak tiang yang pertama ini, sejak SMA menentang nasihat atau apa saja yang tiang sampaikan yang menurutnya tidak masuk akal. Tidak realistis. Tidak bisa diterima nalar dan logika. Tidak punya data yang akurat. Sudah kedaluwarsa. Sudah kuno sudah ketinggalan zaman.
Usai mengusap wajah dengan tangan kanan dia menyampaikan alasan berikutnya, “Tidak enak bertengkar dengan anak di masa tua ini. Lagi pula, kemarin, hasil cek laboratorium di rumah sakit BaliMed menunjukkan istri tiang diserang penyakit jantung”.
Meskipun aku menyanggupi menyampaikan kepada keponakanku, aku harus mencari cara agar yang kusampaikan bisa diterima dan dilaksanakan . Ya, aku harus mencari cara. Sepengetahuanku, di luar pengetahuan adikku, keponakanku ini sangat berani mengkritisi tradisi di desa ini, di mana aku menjadi Bendesa Adat. Demikian juga sangat berani mengkritisi bhisama leluhur yang dipegang teguh sebagai pusaka yang harus dipatuhi.
Keponakanku masih kuliah, ketika ada warga desa ini melahirkan bayi kembar buncing. Bayi berjenis laki dan perempuan lahir satu rahim. Tradisi yang berlaku di desa ini, bagi yang punya bayi kembar buncing wajib mondok selama tiga bulan dilayani oleh warga desa. Ternyata, ketika diadakan sangkepan banyak yang tidak setuju, terutama warga desa yang terkategori generasi muda. Terjadilah debat sengit. Debat sengit ini menyebabkan keputusan sulit diambil.
Hal itu, menyebabkan aku sebagai Bendesa Adat pusing tujuh keliling. Sebab seluruh warga desa menyerahkan keputusan kepadaku. Merasa buntu kupanggil keponakanku. Kukatakan apa yang kualami.
“Menegakkkan tradisi menurut tiang baik sekali. Tetapi menegakkan tradisi mewajibkan yang punya anak kembar buncing ini mondok tiga b ulan di tepi desa sikap yang salah.”
“Salahnya dimana?” tanyaku
“Bila terjadi apa-apa kepada kedua bayi itu, siapa yang bertanggung jawab?” Bila, siapa tahu, kedua bayi itu meninggal tidakkah akan memperparah keadaan yang sudah pecah di dalam sangkep tadi?”
Kepada keponakanku aku minta solusi.
“Di Puri kita ini, ada satu Puri yang kosong karena penghuninya semua di Denpasar. Tempatkan saja di sana. Yang punya bayi dan bayinya akan terlindungi. Keluarga yang punya bayi tidak merasa waswas. Warga desa yang melayani tidak takut bila malam. Yang paling utama terhindari dari gangguan Leak. Bukankah Kakyang Putra sakti mandraguna? Lagi pula, bukankah Puri kita letaknya di tepi utara desa?”
Ketika jalan keluar yang diberikan keponakanku kusampaikan dalam sangkep desa, semua warga desa setuju.
Ketegangan keluarga besar di Puri di tempatku dibesarkan berlangsung cukup lama. Yang memicu, ketika beberapa kepala keluarga yang masih muda mengajukan dalam rapat keluarga besar agar menghapus bhisama. Termasuk keponakanku yang baru beberapa bulan menikah. Saat itu, keponakanku tengah kuliah di strata dua program pendidikan sejarah.
Bhisama yang diajukan dihapus isinya: mencabut hak kepemilikan atas harta kekayaan Puri bagi anak gadisnya yang dilarikan lelaki berkasta Sudra. Mewajibkan bagi yang melarikan melakukan upacara patiwangi saat hari pernikahan.
Kepala keluarga yang tua tidak ada yang setuju. Mereka beranggapan yang berani menghapus tidak berbakti kepada leluhur. Ada menyebut menghina leluhur. Ada pula menyebut yang ingin menghapus manusia murtad.
Mereka yang tidak setuju menghapus dibuat tidak berdaya oleh cecaran kata-kata keponakanku. Yang aku ingat dia menyakan kebenaran Bhisama itu sebagai Sabda Ida Betara. Ida Betara, sosok yang suci sudah lepas dari dunia kasta, katanya. Lalu dia menyerang dengan pertanyaan tahun berapa bhisama ditulis dan siapa yang menulis bila di Puri ditulis di Puri yang mana.
“Bhisama itu pesan, “katanya” pesan yang dibuat di masa lalu. Ketika sistem kasta masih berlaku ketat. Ketika kasta yang dianggap lebih rendah harus menghormati kasta di atasnya. Di zaman globalisasi ini, bila kita masih memberlakukan, kita akan ditetawai. Bahkan dipertanyakan, mengapa begitu banyak keluarga Puri berpendidikan tinggi, tetapi masih juga memberlakukan tradisi yang membuat keluarga sendiri hancur dan memberati orang lain?”
Soal patiwangi, keponakanku menjelaskan, bukan penghapusan kasta lewat upacara. Tetapi dilakukan dengan gadis yang diambil atau dilarikan. Dan menyembah sanggah kemulan si lelaki.
“Bukankah dengan menyembah dua hal itu, pihak yang berkasta dengan sendirinya turun derajat kastanya menjadi kasta yang disembah?”
Agar ketegangan tidak berlarut-larut, kupanggil keponakanku di ruang tamu aku minta solusi.
Solusi yang diberikan, sarankan lelaki sudra yang akan melahirkan gadis Puri ini meminang. Yang meminang orang tua dan keluarga besarnya. Saat meminang, pihak Puri memberi tahu tidak lagi melakukan patiwangi melalui upacara yang dilakukan pendeta. Tapi, dilakukan, mempelai putri saat pernikahan atau sebelum menikah menyembah kedua orang tua laki-laki dan Sanggah Kemulannya.
Ketika dua hal itu berlalu dari pikiranku. Ketika pesan agar lepas dari kutukan muncul, aku kembali ke rencana semula. Mencari cara untuk menyampaikan agar keponakanku mau menerima dan melaksanakan.
Dalam hati aku berkata, rencana apa yang akan kutempuh? Dibandingkan yang akan kusampaikan, dua hal itu berbeda. Dua hal itu masih bisa dicari jalan keluarnya. Yang memberi jalan keluar, keponakanku. Sedangkan yang akan kusampaikan ini kutunjukkan pada keponakanku. Bagaimana mungkin bisa minta jalan keluar dari orang yang disodori masalah yang membebani dirinya? Masalah? benar, masalah. Bulankah dengan minta jangan pergi ke Pantai Kelingking sudah berarti menyodorkan masalah. Masalah akan bertambah bila kukatakan yang melatar belakangi kutukan di Pantai Kelingking. Dan, bila keponakanku minta bukti berupa data, bukankah masalah itu menyeruduk diriku? Akhirnya, menjadi masalah kami berdua. Tidak menutup kemungkinan, pada akhirnya jadi masalah yang menimbulkan masalah baru lagi. Yakni, pertengkaran yang tidak berujung pada penyelesaian. Melainkan berujung pada debat kusir berlarut-larut.
Sampai di sini, timbul minatku untuk minta bantuan kepada sahabatku. Minta bantuan agar diberi masukan, bagaimana caranya menyampaikan pesan ayah kepada keponakanku. tetapi tidak kulakukan. Tidak kulakukan, karena ini masalah keluarga. Di Puri tempatku lahir dan dibesarkan sangat dilarang melibatkan orang di luar tembok bila ingin menyelesaikan masalah keluarga. dengan melibatkan orang lain, berarti mengumumkan sisi buruk Puri yang bisa dibenahi bersama-sama. Bisa diluruskan secara kekeluargaan.
Kupejamkan mata untuk menenangkan diri. Agar tidak terbawa arus pikiran. pesan yang akan disampaikan bukan masalah tetapi upaya penyelamatan. Upaya penyelamatan keponakanku agar tidak menjadi santapan kutukan. Juga agar tidak larut dalam kontradiksi yang berkecamuk di dalam diri. Sekaligus menyadarkan diri, tengah berusaha mencari dan menemukan cara menyampaikan pesan. Pesan yang menghindarkan keponakanku dari libasan kutukan.
Kubiarkan ketenangan, pelan-pelan, meliputi diriku. [T]
Amlapura, 27 Oktober 2019
Keterangan
- Betara Kawitan : Leluhur
- Bhisama : Pesan
- Dadia : Pura Keluarga Besar
- Jero : Anda
- Leak : Manusia yang berubah bentuk
- Puri : Rumah bangsawan di Bali
- Sasih karo : Bulan Juli
- Sangkepan : Rapat
- Titiang : hamba
- Tiang : saya