IA dikenal berkat kisah-kisah pewayangan yang dimainkan dalang. Hingga petang datang, penonton masih juga tak beranjak dari duduknya. Kisah itu demikian memikat, semua terbius dan terbawa oleh arus kata-kata. Kali ini, gawai seolah tak mampu mencuri perhatian.
Ia hadir di cerita ini untuk menemani sosok raja yang turun dari singgasananya. Seorang raja telah memutuskan untuk menepi dari hiruk pikuk politik, memilih menenangkan diri ke dalam hutan. Kerajaan yang gemerlapan itu tak lagi mampu memberi penghiburan. Rencana-rencana yang telah disusun untuk kerajaan, ditinggalkannya.
Tentu saja, banyak yang menyesali keputusan sang raja. Apalagi sang raja dikenal bijaksana bagi para pengikutnya. Bahkan sempat muncul usulan dari para menteri, para pendukung, dan seluruh kalangan rohaniawan agar beliau memerintah seumur hidup. Akan tetapi, sang raja menolak. Sang raja lebih memilih memberikan kesempatan kepada anaknya untuk naik takhta. Kepemimpinan tidak boleh mandeg, harus berlanjut, generasi muda saatnya unjuk kebolehan. Demikian kilahnya.
Di sana, di dalam hutan, dalam masa-masa menenangkan diri inilah, sang raja berjumpa dengan ia, si anjing. Anjing hitam. Kurus, tetapi tubuhnya tetap tegap. Seolah menandakan bahwa pengalaman hidupnya sebagai anjing tak dapat diragukan.
Anjing ini sangat setia menemani sang raja. Ke mana pun raja melangkah, si anjing akan mengikutinya. Sampai suatu ketika, raja hendak mendaki sebuah gunung.
Gunung yang tak berujung, sebab tak seorang pun mampu mencapai puncaknya. Raja tergoda untuk mendakinya, selain karena rasa penasaran, ada bersit di benaknya akan sesuatu yang tak ternilai ada di puncaknya. Sesuatu yang melampaui segala yang duniawi.
Barangkali, itu merupakan tujuan yang dicari manusia tanpa seorang pun dapat meraihnya. Sang raja pun kian bertekad untuk tiba di puncak. Tergiur oleh sesuatu yang tak tercerap oleh pikirannya, sesuatu yang melampaui sesuatu.
Semua perbekalan disiapkan, doa dipanjatkan, semangatnya yang meluap-luap mendorong langkahnya setapak demi setapak. Namun, puncak gunung itu sesungguhnya tak pernah terjangkau dalam pandangan sang raja.
Suatu hari, setelah melewati sekian malam, perbekalan pun menipis, kakinya melemah, semangatnya tiba-tiba menyurut-redup. Sang raja mendadak ragu, tak tahu kapan akan sampai ke puncak. Gunung yang semula akan mudah digapai oleh pikirannya, kini seolah menolak untuk ditaklukkan.
Berbeda dengan si anjing yang menemani sang raja. Ia melangkah, tanpa beban, hanya mengikuti tanpa pernah menunjukkan keluh, tanpa pernah mendahului tuannya. Ia setia sebagai bayang-bayang sang raja di belakang. Ia pun hanya makan dari sisa-sisa pemberian tuannya. Atau, ia mengikuti sang raja karena instingnya dapat memahami bahwa sumber makanan satu-satunya di tempat itu hanya bersumber dari sang raja.
Ketika semua bekal akhirnya tandas dan tak ada lagi yang dapat disantap, sang raja paham bahwa tujuannya menjadi benar-benar mustahil. Hanya dirinya dan anjing hitam yang ada di gunung itu, serta kesunyian hutan yang melingkupi.
Jika turun, kembali ke titik awal, maka perjalanan yang telah ditempuh akan sia-sia belaka. Bahkan sang raja tak tahu, apakah akan mampu sampai ke bawah dalam situasi seperti ini? Jika melanjutkan ke atas, entah sejauh mana lagi akan sanggup melangkah. Jika diam di sini, dipastikan hanya akan menghabiskan waktu dengan merenung dan berakhir dalam kemurungan.
Sang raja terjebak oleh pikiran. Sampai lupa, seharian tidak ada sesuap pun makanan masuk ke mulutnya. Si anjing tetap saja setia, meski tak lagi mendapatkan remah makanan dari sang raja. Mereka seperti tubuh dan jiwa, melengkapi dan tetap bersama-sama sampai tak bersama lagi.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Dalang sepertinya tak ingin menyelesaikan cerita. Para penonton dibiarkan menafsir kelanjutannya, dibiarkan berpikir tentang kehidupan yang sedang dilakoninya. Hidup yang lebih misteri daripada fiksi.
Selama waktu tak surut, hari demi hari masih diputar matahari, cerita sang raja dan teman seperjalanannya akan tetap setia berjalan menemani manusia. Tersulam rapi sebagai ingatan kolektif. Tergurat abadi dalam epos. Diceritakan dari mulut ke mulut.
Hingga kini, dengan caranya tersendiri, tersebar dari gawai ke gawai. Merebut dan mengalihkan seluruh perhatian. Kitalah dalang selanjutnya. [T]
Dps-Mgw, Oktober 2024
Penulis: Putu Gede Pradipta
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: