SORE menjelang malam di Pasar Senggol, di Pelabuhan Tua Buleleng, selalu tercium satu aroma khas yang menguar: adonan tipis berbahan tepung terigu yang dibalurkan mentega panas dan meleleh bersama cokelat, susu, atau keju. Di tengah gemerlap lampu-lampu tenda dan deru motor yang silih berganti, sebuah lapak sederhana bernama Crepes Lalapooh berdiri teguh.
Dijalankan oleh pasangan suami-istri, Jakaria dan Faridah, usaha ini tak sekadar tentang menjual makanan ringan, tetapi juga tentang bertahan hidup, membesarkan anak, dan menjaga mimpi tetap hidup meski dunia tak selalu ramah.

Plang masuk ke Pasar senggol, Pelabuhan Tua Buleleng | Foto: Gangga
Nama Lalapooh, sebagai ikon lapak itu, bukanlah sekadar tempelan. Ia lahir dari kenangan manis tentang anak-anak mereka yang dulu begitu gemar menonton Teletubbies—tokoh televisi anak-anak yang penuh warna dan tawa.
“Kami ingin nama yang dekat dengan anak-anak. Biar gampang diingat,” ujar Faridah sambil mengoleskan selai blueberry di atas adonan yang mulai mengering.
Usaha ini bukan datang secepat membalik telapak tangan. Mereka memulai perjalanan bisnis ini pada tahun 2010, dengan segala keterbatasan. Sebelum crepes, mereka sempat mencoba peruntungan dengan menjual rujak. Namun hidup berkata lain. Jalan membawa mereka pada sebuah restoran, tempat mereka bekerja selama beberapa tahun.

Lapak Crepes Lalapooh | Foto: Gangga
Di sana, di restoran itu, bukan hanya pengalaman yang mereka peroleh, melainkan juga warisan yang tak ternilai: sebuah resep crepes dari sang pemilik restoran, yang harus menutup usahanya karena berpindah profesi menjadi pegawai pemerintah. Resep inilah yang kini menjadi napas bagi Crepes Lalapooh.
Awal jualan? Jangan bayangkan gerobak permanen atau lapak beratap tenda. Mereka hanya bermodalkan sepeda motor dan semangat baja. Setiap pagi hingga sore, mereka menyusuri kota Singaraja, singgah dari satu sekolah ke sekolah lainnya: SMP Negeri 1 Singaraja, SD Negeri 1 Paket Agung, hingga SMP Negeri 2 Singaraja. Setiap anak yang pulang sekolah adalah potensi pembeli. Dan setiap sen yang terkumpul adalah langkah menuju cita-cita: menyekolahkan anak-anak mereka.
Kini, mereka berjualan di lokasi yang lebih tetap, Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng, setiap hari dari pukul 17.00 hingga 22.00 malam. Tak lagi berpindah-pindah, namun tak berarti perjuangan mereka berkurang. Dengan sabar, mereka melayani satu per satu pelanggan, membuat crepes pesanan dengan takaran yang presisi namun penuh kasih.

Jakaria sedang menyiapkan pesanan | Foto: Gangga
Menunya? Jangan remehkan warung kecil ini. Variannya nyaris seperti buku menu restoran.
Mulai dari Crepes Rp5.000 dengan rasa susu, cokelat, blueberry, stroberi, hingga nanas, hingga Crepes Rp7.000 yang lebih variatif dengan campuran seperti pisang cokelat, durian susu, hingga scallop dan sosis. Tak cukup sampai di sana, ada juga Crepes Rp10.000 dengan kombinasi “super” seperti Blueberry keju susu, Durian cokelat keju, Burger crepes, hingga Kacang cokelat susu. Dan kalau masih belum puas, mereka juga menawarkan varian Double Jumbo seharga Rp20.000, untuk penggemar berat crepes sejati.
Saat ditanya varian mana yang paling digemari, mereka serempak menjawab: “Cokelat Keju Susu”. Kombinasi yang seolah sudah jadi jodoh abadi dalam dunia kuliner kaki lima.
Namun hidup, seperti lapisan crepes yang dibakar panas, kadang juga terasa pahit dan renyah sekaligus. Mereka pernah dikejar Satpol PP karena berjualan di depan sekolah tanpa izin. Saat pandemi Covid-19 melanda, penjualan nyaris berhenti.
“Saat itu, tidak ada orang yang mau keluar rumah. Siapa juga yang mau jajan crepes?” kenang Jakaria.

Pelanggan sedang menunggu pesanan | Foto: Gangga
Namun mereka bertahan. Dengan tabungan seadanya, dengan doa yang tak henti, dan dengan keyakinan bahwa badai pasti berlalu.
Kini, mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di Jalan Pulau Menjangan, Banyuning, Singaraja. Dari tempat itulah mereka berangkat setiap sore ke pasar. Di rumah itu pula mereka menyaksikan buah dari jerih payah mereka: dua anak perempuan kini menjadi perawat berstatus PNS, dan satu anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMP.
Bagi Jakaria dan Faridah, Crepes Lalapooh bukan hanya tempat mencari nafkah. Ini adalah wujud nyata dari ketekunan, kesetiaan, dan cinta. Mereka menyebutnya sebagai jalan sunyi yang akhirnya mengantar mereka ke titik damai. Titik di mana mereka bisa melihat anak-anaknya tumbuh sukses, sembari tetap melayani pelanggan yang datang membeli camilan manis di ujung malam.
Ketika ditanya pelajaran apa yang bisa diambil dari perjalanan mereka, Faridah menjawab pelan namun penuh makna, “Sabar. Jangan pernah menyerah. Jatuh itu biasa, bangkit itu wajib.” Sebuah filosofi hidup yang mereka jalani sejak awal memutar roda motor dan menjajakan crepes dari pinggir jalan.

Faridah menyiapkan pesanan | Foto: Gangga
Dalam dunia yang bergerak cepat dan serba instan, kisah pasangan ini seperti rem yang mengingatkan kita bahwa keberhasilan sering kali tumbuh dari proses yang panjang. Dari ketekunan. Dari peluh. Dari ketulusan menyajikan makanan seenak mungkin meski dengan alat seadanya.
Di balik selembar crepes yang dibungkus kertas, tersimpan cerita tentang cinta dua insan, tentang harapan yang digulung rapat bersama susu dan cokelat, dan tentang semangat hidup yang tak pernah lelah meski diterpa hujan, panas, dan ujian.
Di tengah riuh pasar malam, Crepes Lalapooh berdiri sebagai pengingat: bahwa mimpi itu bisa diraih siapa saja, asalkan ada keberanian untuk memulai dan kesabaran untuk bertahan. [T]
Reporter/Penulis: Putu Gangga Pradipta
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: