AKU mengenal burung gagak sebagai burung pengabar kematian. Mungkin suara burung gagak yang terdengar di atas rumah seperti memanggil arwah seseorang untuk segera pulang. Saudara-saudara dan teman-temanku biasanya akan bergegas masuk kamar saat mendengar suara burung gagak, katanya mereka takut. Aku tak tahu apa yang ditakutkan. Tapi aku berusaha mengikuti arah suara burung itu. Aku ingin sekali melihat burung gagak hitam, tapi sampai dewasa aku tak pernah melihatnya secara langsung.
Di Pura Pangrebongan, Kesiman, saat ada upacara, palawatan (yang dipakai untuk membayangkan) Dewa berupa barong (berbentuk singa) dan rangda dihadirkan untuk berupacara. Sebelum prosesi acara dimulai, barong akan ditempatkan di sebuah balai di sebelah utara. Di bale itulah aku bisa dengan puas memandang barong dari Banjar Singgi Sanur yang bulu-bulunya terbuat dari bulu burung gagak hitam.
“Kalau barong dari Singgi sudah datang, barulah acara pengrebongan bisa dimulai, ” jelas seorang lelaki kepada perempuan disampingnya yang mengangguk pelan.
“Singgi itu kan tempat orang sakti-sakti kan?” bisik si perempuan.
Si lelaki mengganguk dan tersenyum. Aku tak mengerti apa yang di percakapan kedua orang itu. Yang aku kenal hanya satu barong di pengrebongan yang berwarna hitam yaitu barong dari Banjar Singgi, Sanur, yang katanya tempat orang-orang sakti.
Aku tak pernah tahu apa hubungan barong hitam, Singgi Sanur dan bulu gagak hitam, dan orang sakti.
Yang kutahu sampai saat ini aku suka warna hitam yang membuatku nyaman dan damai. Warna hitam yang sama dengan bulu bulu gagak hitam itu.
Saat mengantar Buda, seorang wartawan, aku berkesempatan mendengar cerita tentang asal muasal bulu barong hitam itu.
“Bulu-bulu burung gagak hitam untuk barong itu, didapat dengan memohon di sebuah pura dari sekitar Mengwi, Badung. Kami memohon bulu gagak hitam kepada Bhatara di sana. Entah dari mana datangnya gagak-gagak hitam itu, tiba-tiba bulu-bulu gagak hitam telah memenuhi halaman pura,” cerita seorang lelaki yang dipanggil Jro Klian itu.
“Wah, merinding bulu tenggkuk tiang, Jro, “kata Buda sambil sambil meraba-raba tenggkuknya dan menunjukkan bulu-bulu tangannya yang berdiri.
Wawancara terhenti, Jro Klian diam, kemudian mengambil dupa dan menyalakannya. Buda melirik ke arahku, “Apakah kau tak merasakan energi dingin yang halus menyusup,” bisiknya.
Aku menggeleng, karena memang tak merasakan apa-apa.
“Beliau hadir dan menyapa kalian,” kata Jro Kelian serius. Buda langsung mencakupkan tangan, menoleh padaku, memberi isyarat agar aku ikut mencakupkan tangan.
Buda melanjutkan wawancara, tetapi aku lebih tertarik melihat dari dekat Barong berbulu hitam yang tampak sangat dalam dan gagah itu.
Dalam perjalanan pulang Buda kembali memastikan kenapa aku tidak merasakan kehadiran “beliau” yang membuat bulu kuduk dan bulu tangannya berdiri.
“Mungkin karena tubuhku dominan air, sehingga kurang peka dengan energi dingin lainnya,” jawabku sekenanya.
Buda manggut-manggut, tapi tampaknya ia masih penasaran.
Di lain waktu, Buda kembali menggugatku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab sekenanya, yang akhirnya juga membuatku bertanya-tanya, dan terus bertanya.
Saat itu Buda mengajakku meliput acara upacara di sebuah pura dan mewancarai seorang pimpinan pemangku. Aku tak terlalu perhatian dengan pertanyaan Buda, mataku lebih tertuju pada adegan penari-penari tua yang menari gemulai, seperti daun dihembus angin.
Entah apa yang ditanya oleh Buda pada pimpinan pemangku, sehingga membuat Buda tegang seperti berusaha mengunci tubuhnya agar tidak kerasukan. Aku mendekatinya memeluk pinggangnya, berusaha menyentuh dan mengelus tulang belakang dan tengkuknya. Sentuhan dan belaianku, rupanya membuat Buda menjadi lebih tenang. Sementara para pemangku dan orang-orang mulai kerasukan, aku berhasil mengajak Buda keluar dari keriuhan orang-orang yang kerasukan.
Di luar pura, kami menenangkan diri, sebotol air dingin menyegarkan kembali ingatan Buda, sebelum aku mengantarnya pulang.
Keesokannya Buda ke rumahku kembali dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab.
“Waktu itu aku rasakan ada hawa panas yang berusaha masuk ke tulang belakang dan tengkuk, aku berusaha menahannya, saat kau memegangku, hawa panas itu mendingin. Kenapa kau tidak kena hawa panas itu, Bagaimana kau melakukannya, dan kenapa aku bisa hampir kerasukan?” tanya Buda panjang lebar.
“Mungkin karena aku sakti, ” jawabku sombong sambil tertawa terbahak.
Mendengar jawabanku Buda hanya nyengir kuda. Kemudian bertanya serius dan bagiku sangat serius.
“Katamu, mungkin tubuhmu dominan air, kenapa tubuhmu tidak peka pada api, lalu kenapa hanya aku yang bisa merasakan, dan bisa melihat hal-hal yang tak bisa kau lihat,” tanya Buda lebih pada dirinya sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab itu juga kutanyakan pada diriku sendiri.
Walaupun kami sama-sama belum mendapat jawabannya. Buda masih sering bercerita padaku tentang pengalaman-pengalaman serunya sebagai wartawan. Juga tentang penglihatan-penglihatannya. Aku percaya padanya, karena apa yang dia lihat kadang bisa juga kurasakan, dan bisa kutemukan logika-logikanya.
Sudah lama aku melihat bayangan-bayangan burung gagak hitam yang melintas-lintas di atas atap rumahku. Tak seperti pengalaman masa kecilku, aku tak mendengar suara gagak yang menjadi pengabar kematian.
Belakangan aku juga mendengar cicit anak burung-burung di atap rumahku. Bisa kurasakan suara dua cicit anak burung yang bersahutan.
Saat Buda ke rumahku, dia kaget dan ketakutan.
“Ada burung gagak hitam jahat bersarang di atap rumahmu, dengan dua anaknya,” kata Buda sambil cepat-cepat pergi dari rumahku. Anehnya walapun Buda mengatakan burung gagak dan dua anaknya adalah burung yang jahat, aku tak merasa takut. Mungkin karena kesukaanku pada warna hitam yang merupakan ciri khas bulu burung gagak.
Sejak itu Buda tak pernah mau lagi berkunjung ke rumahku. Buda memilih ketemu dan ngobrol bersamaku di warung atau di tempat-tempat umum, katanya biar obrolan kami tidak disadap.
Banyak hal yang terjadi sejak kehadiran dua anak burung itu, tapi kupahami semua itu adalah bagian dari pembelajaranku.
Kini tak kudengar lagi suara cicit dua anak burung.
Mungkin dia telah besar dan bisa terbang bebas.
Belakangan kudengar lagi suara burung gagak yang melintas-lintas di atas atap rumahku. Kali ini lengkingannya begitu keras, dan sangat keras, ia berputar- putar, seperti ada yang dicarinya. Aku penasaran, merusaha melihatnya dari sela rimbunan daun-daun kamboja.
Astaga, tubuh burung gagak hitam itu tinggi dan besar, menyerupai manusia hitam bersayap.
” Gaaak Gaaak Gaaak…..Di mana dia, di mana dia, ” suara paraunya melengking-lengking. Tumben aku merasa sedikit takut, sebelum hujan turun dengan deras dan suara petir menyambar-nyambar.
“Duaar!”
Terdengar ledakan, dan lengkingan parau suara gagak itu menghilang dan makin menghilang. [T]
Penulis: Mas Ruscitadewi
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: