DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak dari kita terjerembap dalam keheningan yang mencekam. Rasa sakit menjadi sunyi, tak terdengar, tak terbaca. Dalam suasana seperti itu, mudah bagi seseorang untuk tenggelam, hilang arah, bahkan menyerah pada kematian yang datang diam-diam.
Namun di tengah kesunyian itu, Putu Wirantawan justru memilih jalan sebaliknya. Ia mengolah luka—baik luka pribadi maupun luka kolektif umat manusia—menjadi bunyi, menjadi citra, menjadi warna. Dalam pengasingan, ia tidak larut dalam senyap, tapi justru berkarya tanpa henti. Pameran tunggal “Gering Agung” menjadi bukti nyata bahwa seni adalah daya tahan, bahkan daya hidup. Ia tidak hanya menyembuhkan, tapi juga membebaskan.

Acara pameran tunggal bertajuk “Gering Agung” oleh Putu Wirantawan ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting, di antaranya Putu Fajar Arcana yang yang menjadi kurator pada pameran itu, serta Jean Couteau dan Warih Wisatsana yang jadi penulis.
Pada pembukaan pameran itu Inaya Wahid menjadi aktor monolog “Ruang Isolasi” dengan penulis naskah dan sutradara Putu Fajar Arcana.
Ada juga Ni Made Ayu Marthini, Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf RI yang meresmikan pameran.
Pameran diadakan di Bentara Budaya Jakarta, dibuka 29 Mei dan berlangsung hingga 5 Juni 2025.
Medium dari Kekuatan Besar
Sesungguhnya dalam menjalankan praktik seni rupanya, Wirantawan memosisikan dirinya sebagai medium dari kekuatan besar yang berada di luar dirinya. Dalam kosmologi lokal Bali, keyakinan itu disebut sebagai Bhuana Alit dan Bhuana Agung (mikrokosmos dan makrokosmos). Manusia disusun dari elemen-elemen dasar alam semesta seperti: apah (cairan), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara), dan pertiwi (padat). Elemen-elemen itu tidak hanya membentuk tubuh manusia, tetapi juga menjadi inti dari jagat raya. Penyatuan antara Bhuana Alit dengan Bhuana Agung inilah yang mengantar manusia menuju tahapan Moksa—sebuah kesadaran spiritual yang luhur.

Putu Wirantawan (nomor dua dari kiri) pada pembukaan pameran Gering Agung di Bentara Budaya Jakarta
Pameran ini bukan sekadar peristiwa estetik. Ia adalah perlawanan terhadap mati rasa, terhadap bisu dan lumpuhnya batin. Dalam keterbatasan medium—kertas, pensil, ballpoint, dan tinta cina—Wirantawan justru menemukan kelimpahan spiritual. Medium yang sederhana ini bukanlah kemunduran, melainkan bentuk penyederhanaan yang radikal dan jujur. Dalam sejarah kesenirupaan Bali, alat-alat ini adalah warisan para sangging (seniman tradisi), termasuk maestro I Gusti Nyoman Lempad yang seluruh karyanya diguratkan lewat kertas, pensil, dan tinta cina. Dalam konteks ini, Wirantawan memilih untuk meninggalkan kanvas dan cat minyak bukan sebagai sikap anti-teknik, melainkan sebagai bentuk pelepasan ego dan penemuan kembali akar penciptaan.
“Gering Agung” menjadi kesaksian hidup dari seorang seniman yang bertahan, bertumbuh, dan terus berbunyi di tengah badai. Ia adalah pameran tentang daya hidup manusia, tentang spiritualitas dalam kesendirian, dan tentang ketekunan dalam keterasingan. Dalam setiap guratnya, kita temukan suara jiwa yang tak bisa dibungkam.

Penulis (Emi Suy) di depan lukisan Putu Wirantawan

Putu Wirantawan bersama penulis (Emi Suy)
Terima kasih, Bli Putu, karena telah mengubah kehidupan sosial dan kenyataan mengisolasi perasaan dan batin menjadi ruang kontemplasi. Telah menenun sakit menjadi kemungkinan baru bagi pemulihan jiwa kita bersama. Pameran ini adalah bukti bahwa perlawanan bisa bersenyap, bahwa pembebasan bisa bergambar.
“Sunyi adalah inti”—begitu pernah saya simpulkan dalam perenungan panjang, dan hingga kini pernyataan itu tetap terasa merasuk. Sunyi, bagi saya, bukan sekadar keadaan diam. Ia adalah tempat asal, tempat kembali, dan sumber inspirasi yang membuka arah, jalan, pesan, dan tujuan.
Saya merasakan bahwa sunyi adalah tempat paling dalam dan paling jujur. Ia bukan kesepian, bukan kekosongan. Justru dalam sunyilah saya mampu meraba luka, menyentuh rapuh, dan sekaligus menemukan daya lenting untuk terus bertumbuh. Sunyi bukan kebekuan, melainkan ladang subur tempat kesadaran bertunas dan penciptaan menemukan bentuknya yang paling hakiki.
Dalam terang pemaknaan ini, saya menyandingkan pameran “Gering Agung” karya Putu Wirantawan dengan gagasan “bersunyi” sebagaimana saya pahami dan jalani dalam proses kreatif saya sebagai penyair. Bersunyi, bagi saya, bukan berarti diam. Ia adalah laku batin yang aktif—sebuah perjalanan masuk ke ruang dalam diri, yang justru membuka jalan bagi olah pikir dan olah rasa untuk bekerja lebih dalam dan jujur.
Dalam sunyi, saya kerap berjumpa dengan diri saya yang paling purba—yang luka, yang rapuh, tetapi juga yang lentur dan terus tumbuh. Maka ketika saya menyaksikan karya-karya dalam pameran ini, saya merasa seperti sedang membaca puisi—sunyi yang bersuara, luka yang bicara, dan hidup yang terus mencari jalannya pulih.
Menggambar yang Tak Terucap, Menyuarakan yang Tak Terlihat
Ada sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh bahasa sehari-hari ketika kita berhadapan dengan karya-karya Putu Wirantawan. Ia tidak sedang “menggambar” dalam pengertian teknis semata, melainkan tengah membuka lorong-lorong batin, tempat segala yang tak terucap menemukan wujud. Dalam tiap guratannya, kita tak hanya melihat bentuk, tapi juga merasakan beban—beban pengalaman manusia yang berusaha dipahami, dihadapi, dan pada akhirnya diterima sebagai bagian dari perjalanan hidup itu sendiri.

Inaya Wahid memainkan Monolog “Ruang Isolasi”
Yang istimewa dari Gering Agung adalah keberaniannya untuk tidak menyembunyikan luka. Sebaliknya, luka-luka itu dipertunjukkan dengan kesadaran penuh, namun bukan untuk mengeksploitasi penderitaan, melainkan untuk mengajak kita bersitatap dengannya. Di sinilah seni menjadi ruang pemurnian: bukan sekadar terapi, tetapi juga spiritualitas. Karya-karya Wirantawan tidak meminta kita untuk mengerti dengan logika, tapi untuk mendengar dengan jiwa.
Saya membayangkan proses menggambar ini seperti seseorang yang duduk hening di hadapan cermin, lalu dengan perlahan mulai menuliskan apa yang selama ini hanya berdesakan di dada. Setiap goresan adalah pengakuan, adalah doa, adalah kemungkinan baru untuk sembuh.


Karya-karya Putu Wirantawan
Dalam dunia yang makin riuh, karya-karya seperti ini mengajak kita kembali pada kebisuan yang menyembuhkan. Bahwa tidak semua harus dikejar, tidak semua harus dijelaskan. Beberapa hal cukup untuk disimak, dirasa, dan dihayati. Gering Agung mengingatkan kita bahwa barangkali yang paling manusiawi dari kita adalah kemampuan untuk tetap lembut, tetap lentur, di tengah gempuran kerasnya hidup.
Dan pada akhirnya, pameran ini bukan hanya tentang karya, tapi tentang kehadiran. Tentang keberanian untuk tetap hadir—di hadapan luka, di hadapan sunyi, dan di hadapan diri sendiri.
Menjaga Nyala di Tengah Gering
Catatan Putu Fajar Arcana:
Saya mengenal Putu Wirantawan bukan saja sebagai seniman visual, tetapi sebagai seorang penekun sunyi. Ia tidak banyak bicara dalam forum-forum ramai, tidak pula tergoda untuk mengejar popularitas dalam dunia seni rupa kontemporer yang kian terjebak pada parade wacana dan gaya. Namun dalam diamnya itu, ia terus menggurat, terus mengolah, terus menyaring pengalaman hidupnya menjadi bentuk-bentuk yang jernih dan mengganggu.

Putu Fajar Arcana, kurator pameran
Pameran Gering Agung memperlihatkan bukan hanya konsistensi teknis, tetapi juga integritas spiritual. Ia adalah catatan atas pergulatan seorang seniman Bali yang memilih jalan laku—bukan sekadar profesi. Dalam kebudayaan Bali, menjadi seniman bukan soal bakat atau karier, tapi bagian dari tapa, bagian dari swadharma. Dan karya-karya Wirantawan memancarkan aura itu: aura orang yang menggambar bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk menyucikan batin.
Yang menarik bagi saya, Wirantawan kembali pada media yang dianggap “sederhana”—kertas, tinta cina, bolpoin. Namun justru dari situ tampak jelas bahwa yang ia kedepankan bukan efek, bukan glamor visual, melainkan gagasan dan getaran batin. Ini mengingatkan saya pada ajaran para tetua Bali yang selalu berkata: “angga sarira prasida dados ulamang”—tubuh manusia itu sendiri bisa menjadi alat penciptaan, ketika bersatu dengan niat yang tulus dan pikiran yang terang.
Saya percaya, dalam karyanya, Wirantawan tidak hanya menampilkan gambar, tetapi menyampaikan karma. Ia menggurat bukan hanya untuk menciptakan bentuk, tetapi juga untuk meletakkan jejak kehidupan. Setiap goresan adalah pengakuan atas keberadaan, dan setiap ruang kosong adalah tempat di mana jiwa manusia bisa istirahat sejenak.
Pameran ini menjadi penting bukan hanya karena kualitas estetiknya, tetapi karena ia hadir sebagai taksu—roh yang hidup dalam karya. Dalam dunia seni yang makin banal dan sibuk mencari sensasi, Gering Agung menjadi oasis. Ia mengingatkan kita pada hal-hal yang esensial: pada keheningan, pada kesungguhan, pada keberanian untuk mengungkapkan luka secara utuh tanpa kamuflase.
Saya ingin menyampaikan hormat saya kepada Putu Wirantawan, yang dalam sunyinya, telah menjaga nyala. Ia menunjukkan bahwa dalam dunia yang sakit, seorang seniman tidak harus teriak, cukup menggurat dengan jujur. Dan dari kejujuran itulah, dunia mungkin bisa menemukan arah pulihnya.
Dari Sunyi, Kita Belajar Mendengar
Karya-karya dalam Gering Agung bukan sekadar untuk dilihat. Ia mengajak kita mendengarkan. Bukan dengan telinga, tapi dengan keheningan dalam diri. Dalam dunia yang cepat, gaduh, dan serba terburu, kehadiran seni seperti ini memberi jeda yang langka—membuka ruang batin agar kita kembali mengenali yang esensial: napas, rasa, jiwa.
Mungkin, inilah sumbangsih paling penting dari pameran ini: ia tidak menawarkan jawaban, tetapi menghadirkan ruang untuk bertanya. Ia tidak memamerkan kemegahan teknis, tetapi menyalakan kesadaran yang halus dan personal. Ia tidak menggurui, tetapi menyentuh. Diam-diam tapi dalam. Hening tapi menghujam.

Karya Putu Wirantawan
Luka yang diguratkan dengan kejujuran menjadi cermin bagi luka kita sendiri. Dan dari cermin itu, barangkali kita bisa mulai belajar memeluk diri kita yang telah lama diabaikan—yang takut, yang lelah, yang rindu sembuh. Seperti Wirantawan yang memilih untuk tetap menggambar dalam gelap, kita pun diajak untuk terus mencipta jalan pulang ke dalam diri.
Terima kasih, Bli Putu, telah menyulam nyeri menjadi narasi, dan menenun keheningan menjadi kemungkinan. Dalam sunyi yang engkau hadirkan, kami belajar mendengar kembali: pada diri, pada dunia, dan pada suara-suara yang lama kami bungkam.
Dan barangkali, dari sanalah kita mulai kembali menjadi manusia sepenuhnya. [T]
Penulis: Emi Suy
Editor: Adnyana Ole