30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

Emi SuybyEmi Suy
May 29, 2025
inUlas Rupa
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

Pameran Tunggal "Gering Agung" Putu Wirantawan di Bentara Budaya Jakarta

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak dari kita terjerembap dalam keheningan yang mencekam. Rasa sakit menjadi sunyi, tak terdengar, tak terbaca. Dalam suasana seperti itu, mudah bagi seseorang untuk tenggelam, hilang arah, bahkan menyerah pada kematian yang datang diam-diam.

Namun di tengah kesunyian itu, Putu Wirantawan justru memilih jalan sebaliknya. Ia mengolah luka—baik luka pribadi maupun luka kolektif umat manusia—menjadi bunyi, menjadi citra, menjadi warna. Dalam pengasingan, ia tidak larut dalam senyap, tapi justru berkarya tanpa henti. Pameran tunggal “Gering Agung” menjadi bukti nyata bahwa seni adalah daya tahan, bahkan daya hidup. Ia tidak hanya menyembuhkan, tapi juga membebaskan.

Acara pameran tunggal bertajuk “Gering Agung” oleh Putu Wirantawan ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting, di antaranya Putu Fajar Arcana yang yang menjadi kurator pada pameran itu, serta Jean Couteau dan Warih Wisatsana yang jadi penulis.

Pada pembukaan pameran itu Inaya Wahid menjadi aktor monolog “Ruang Isolasi” dengan penulis naskah dan sutradara Putu Fajar Arcana.

Ada juga Ni Made Ayu Marthini, Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf RI  yang meresmikan pameran.

Pameran diadakan di Bentara Budaya Jakarta, dibuka 29 Mei dan berlangsung hingga 5 Juni 2025.

Medium dari Kekuatan Besar

Sesungguhnya dalam menjalankan praktik seni rupanya, Wirantawan memosisikan dirinya sebagai medium dari kekuatan besar yang berada di luar dirinya. Dalam kosmologi lokal Bali, keyakinan itu disebut sebagai Bhuana Alit dan Bhuana Agung (mikrokosmos dan makrokosmos). Manusia disusun dari elemen-elemen dasar alam semesta seperti: apah (cairan), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara), dan pertiwi (padat). Elemen-elemen itu tidak hanya membentuk tubuh manusia, tetapi juga menjadi inti dari jagat raya. Penyatuan antara Bhuana Alit dengan Bhuana Agung inilah yang mengantar manusia menuju tahapan Moksa—sebuah kesadaran spiritual yang luhur.

Putu Wirantawan (nomor dua dari kiri) pada pembukaan pameran Gering Agung di Bentara Budaya Jakarta

Pameran ini bukan sekadar peristiwa estetik. Ia adalah perlawanan terhadap mati rasa, terhadap bisu dan lumpuhnya batin. Dalam keterbatasan medium—kertas, pensil, ballpoint, dan tinta cina—Wirantawan justru menemukan kelimpahan spiritual. Medium yang sederhana ini bukanlah kemunduran, melainkan bentuk penyederhanaan yang radikal dan jujur. Dalam sejarah kesenirupaan Bali, alat-alat ini adalah warisan para sangging (seniman tradisi), termasuk maestro I Gusti Nyoman Lempad yang seluruh karyanya diguratkan lewat kertas, pensil, dan tinta cina. Dalam konteks ini, Wirantawan memilih untuk meninggalkan kanvas dan cat minyak bukan sebagai sikap anti-teknik, melainkan sebagai bentuk pelepasan ego dan penemuan kembali akar penciptaan.

“Gering Agung” menjadi kesaksian hidup dari seorang seniman yang bertahan, bertumbuh, dan terus berbunyi di tengah badai. Ia adalah pameran tentang daya hidup manusia, tentang spiritualitas dalam kesendirian, dan tentang ketekunan dalam keterasingan. Dalam setiap guratnya, kita temukan suara jiwa yang tak bisa dibungkam.

Penulis (Emi Suy) di depan lukisan Putu Wirantawan

Putu Wirantawan bersama penulis (Emi Suy)

Terima kasih, Bli Putu, karena telah mengubah kehidupan sosial dan kenyataan mengisolasi perasaan dan batin menjadi ruang kontemplasi. Telah menenun sakit menjadi kemungkinan baru bagi pemulihan jiwa kita bersama. Pameran ini adalah bukti bahwa perlawanan bisa bersenyap, bahwa pembebasan bisa bergambar.

“Sunyi adalah inti”—begitu pernah saya simpulkan dalam perenungan panjang, dan hingga kini pernyataan itu tetap terasa merasuk. Sunyi, bagi saya, bukan sekadar keadaan diam. Ia adalah tempat asal, tempat kembali, dan sumber inspirasi yang membuka arah, jalan, pesan, dan tujuan.

Saya merasakan bahwa sunyi adalah tempat paling dalam dan paling jujur. Ia bukan kesepian, bukan kekosongan. Justru dalam sunyilah saya mampu meraba luka, menyentuh rapuh, dan sekaligus menemukan daya lenting untuk terus bertumbuh. Sunyi bukan kebekuan, melainkan ladang subur tempat kesadaran bertunas dan penciptaan menemukan bentuknya yang paling hakiki.

Dalam terang pemaknaan ini, saya menyandingkan pameran “Gering Agung” karya Putu Wirantawan dengan gagasan “bersunyi” sebagaimana saya pahami dan jalani dalam proses kreatif saya sebagai penyair. Bersunyi, bagi saya, bukan berarti diam. Ia adalah laku batin yang aktif—sebuah perjalanan masuk ke ruang dalam diri, yang justru membuka jalan bagi olah pikir dan olah rasa untuk bekerja lebih dalam dan jujur.

Dalam sunyi, saya kerap berjumpa dengan diri saya yang paling purba—yang luka, yang rapuh, tetapi juga yang lentur dan terus tumbuh. Maka ketika saya menyaksikan karya-karya dalam pameran ini, saya merasa seperti sedang membaca puisi—sunyi yang bersuara, luka yang bicara, dan hidup yang terus mencari jalannya pulih.

Menggambar yang Tak Terucap, Menyuarakan yang Tak Terlihat

Ada sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh bahasa sehari-hari ketika kita berhadapan dengan karya-karya Putu Wirantawan. Ia tidak sedang “menggambar” dalam pengertian teknis semata, melainkan tengah membuka lorong-lorong batin, tempat segala yang tak terucap menemukan wujud. Dalam tiap guratannya, kita tak hanya melihat bentuk, tapi juga merasakan beban—beban pengalaman manusia yang berusaha dipahami, dihadapi, dan pada akhirnya diterima sebagai bagian dari perjalanan hidup itu sendiri.

Inaya Wahid memainkan Monolog “Ruang Isolasi”

Yang istimewa dari Gering Agung adalah keberaniannya untuk tidak menyembunyikan luka. Sebaliknya, luka-luka itu dipertunjukkan dengan kesadaran penuh, namun bukan untuk mengeksploitasi penderitaan, melainkan untuk mengajak kita bersitatap dengannya. Di sinilah seni menjadi ruang pemurnian: bukan sekadar terapi, tetapi juga spiritualitas. Karya-karya Wirantawan tidak meminta kita untuk mengerti dengan logika, tapi untuk mendengar dengan jiwa.

Saya membayangkan proses menggambar ini seperti seseorang yang duduk hening di hadapan cermin, lalu dengan perlahan mulai menuliskan apa yang selama ini hanya berdesakan di dada. Setiap goresan adalah pengakuan, adalah doa, adalah kemungkinan baru untuk sembuh.

Karya-karya Putu Wirantawan

Dalam dunia yang makin riuh, karya-karya seperti ini mengajak kita kembali pada kebisuan yang menyembuhkan. Bahwa tidak semua harus dikejar, tidak semua harus dijelaskan. Beberapa hal cukup untuk disimak, dirasa, dan dihayati. Gering Agung mengingatkan kita bahwa barangkali yang paling manusiawi dari kita adalah kemampuan untuk tetap lembut, tetap lentur, di tengah gempuran kerasnya hidup.

Dan pada akhirnya, pameran ini bukan hanya tentang karya, tapi tentang kehadiran. Tentang keberanian untuk tetap hadir—di hadapan luka, di hadapan sunyi, dan di hadapan diri sendiri.

Menjaga Nyala di Tengah Gering

Catatan Putu Fajar Arcana:

Saya mengenal Putu Wirantawan bukan saja sebagai seniman visual, tetapi sebagai seorang penekun sunyi. Ia tidak banyak bicara dalam forum-forum ramai, tidak pula tergoda untuk mengejar popularitas dalam dunia seni rupa kontemporer yang kian terjebak pada parade wacana dan gaya. Namun dalam diamnya itu, ia terus menggurat, terus mengolah, terus menyaring pengalaman hidupnya menjadi bentuk-bentuk yang jernih dan mengganggu.

Putu Fajar Arcana, kurator pameran

Pameran Gering Agung memperlihatkan bukan hanya konsistensi teknis, tetapi juga integritas spiritual. Ia adalah catatan atas pergulatan seorang seniman Bali yang memilih jalan laku—bukan sekadar profesi. Dalam kebudayaan Bali, menjadi seniman bukan soal bakat atau karier, tapi bagian dari tapa, bagian dari swadharma. Dan karya-karya Wirantawan memancarkan aura itu: aura orang yang menggambar bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk menyucikan batin.

Yang menarik bagi saya, Wirantawan kembali pada media yang dianggap “sederhana”—kertas, tinta cina, bolpoin. Namun justru dari situ tampak jelas bahwa yang ia kedepankan bukan efek, bukan glamor visual, melainkan gagasan dan getaran batin. Ini mengingatkan saya pada ajaran para tetua Bali yang selalu berkata: “angga sarira prasida dados ulamang”—tubuh manusia itu sendiri bisa menjadi alat penciptaan, ketika bersatu dengan niat yang tulus dan pikiran yang terang.

Saya percaya, dalam karyanya, Wirantawan tidak hanya menampilkan gambar, tetapi menyampaikan karma. Ia menggurat bukan hanya untuk menciptakan bentuk, tetapi juga untuk meletakkan jejak kehidupan. Setiap goresan adalah pengakuan atas keberadaan, dan setiap ruang kosong adalah tempat di mana jiwa manusia bisa istirahat sejenak.

Pameran ini menjadi penting bukan hanya karena kualitas estetiknya, tetapi karena ia hadir sebagai taksu—roh yang hidup dalam karya. Dalam dunia seni yang makin banal dan sibuk mencari sensasi, Gering Agung menjadi oasis. Ia mengingatkan kita pada hal-hal yang esensial: pada keheningan, pada kesungguhan, pada keberanian untuk mengungkapkan luka secara utuh tanpa kamuflase.

Saya ingin menyampaikan hormat saya kepada Putu Wirantawan, yang dalam sunyinya, telah menjaga nyala. Ia menunjukkan bahwa dalam dunia yang sakit, seorang seniman tidak harus teriak, cukup menggurat dengan jujur. Dan dari kejujuran itulah, dunia mungkin bisa menemukan arah pulihnya.

Dari Sunyi, Kita Belajar Mendengar

Karya-karya dalam Gering Agung bukan sekadar untuk dilihat. Ia mengajak kita mendengarkan. Bukan dengan telinga, tapi dengan keheningan dalam diri. Dalam dunia yang cepat, gaduh, dan serba terburu, kehadiran seni seperti ini memberi jeda yang langka—membuka ruang batin agar kita kembali mengenali yang esensial: napas, rasa, jiwa.

Mungkin, inilah sumbangsih paling penting dari pameran ini: ia tidak menawarkan jawaban, tetapi menghadirkan ruang untuk bertanya. Ia tidak memamerkan kemegahan teknis, tetapi menyalakan kesadaran yang halus dan personal. Ia tidak menggurui, tetapi menyentuh. Diam-diam tapi dalam. Hening tapi menghujam.

Karya Putu Wirantawan

Luka yang diguratkan dengan kejujuran menjadi cermin bagi luka kita sendiri. Dan dari cermin itu, barangkali kita bisa mulai belajar memeluk diri kita yang telah lama diabaikan—yang takut, yang lelah, yang rindu sembuh. Seperti Wirantawan yang memilih untuk tetap menggambar dalam gelap, kita pun diajak untuk terus mencipta jalan pulang ke dalam diri.

Terima kasih, Bli Putu, telah menyulam nyeri menjadi narasi, dan menenun keheningan menjadi kemungkinan. Dalam sunyi yang engkau hadirkan, kami belajar mendengar kembali: pada diri, pada dunia, dan pada suara-suara yang lama kami bungkam.

Dan barangkali, dari sanalah kita mulai kembali menjadi manusia sepenuhnya. [T]

Penulis: Emi Suy
Editor: Adnyana Ole

Karya-karya ‘Eka Warna’ Dollar Astawa
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Menyalakan Kembali Api “Young Artist Style”: Pameran Murid-murid Arie Smit di Neka Art Museum
‘Narasi Naïve Visual’ Ni Komang Atmi Kristia Dewi
Tags: Bentara BudayaPameran Seni RupaSeni Rupa
Previous Post

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Next Post

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

Emi Suy

Emi Suy

Lahir di Magetan, Jawa Timur, dengan nama Emi Suyanti. Emi penyair perempuan Indonesia yang ikut mendirikan Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan saat ini aktif menjadi pengurus, serta menjabat sebagai sekretaris redaksi merangkap redaktur Sastramedia, sebuah jurnal sastra daring. Sampai saat ini Emi sudah menerbitkan lima buku kumpulan puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020) serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022), buku kumpulan esai sastra Interval (2023), serta satu buku kumpulan puisi duet bersama Riri Satria berjudul Algoritma Kesunyian (2023). Penulis Naskah Opera (Libretto) I’m Not For Sale tentang perjuangan tokoh perempuan Ny. Auw Tjoei Lan menantang kematian menyelamatkan kehidupan, oleh pianis dan komponis Ananda Sukarlan. Puisi Emi Suy dimuat di lebih dari 200 buku kumpulan puisi bersama, serta di berbagai media online, seperti Basabasi.co, Sastramedia.com, juga dimuat di media nasional, antara lain Malutpost, Lampung Post, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Media Indonesia, serta Kompas. Puisinya pernah dimuat di majalah internasional dalam bahasa Inggris; majalah Porch Litmag.

Next Post
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co